Tidak ada orangtua yang tidak menyayangi anaknya. Semua orangtua pasti ingin anaknya bertumbuh dengan baik dan bahagia. Hanya saja setiap orangtua punya caranya sendiri-sendiri untuk mendidik dan membantu anaknya berkembang. Tidak bisa disamakan satu sama lain karena mengasuh anak itu pada dasarnya tidak ada patokan yang bisa diukur 100% salah atau benar. Latar belakang setiap orangtua saja berbeda. Masalah yang dihadapi dengan anaknya juga berbeda. Seperti ketika Sabai, istri saya melahirkan dengan operasi caesar yang mana orang-orang berkomentar akan lebih baik kalau melahirkan normal. Begitu juga ketika ada yang mempertanyakan mengapa saya mengunggah foto-foto Bjorka anak saya di media sosial. Padahal alasan saya tidak lain karena keinginan untuk merekam jejak perjalanan hidupnya saja.
Ketika saya kecil orangtua saya tidak menyadari betapa memori lewat dokumentasi itu bisa amat berkesan. Waktu Sabai melahirkan Bjorka, ibunya membawa banyak sekali foto-foto Sabai saat kecil dan disandingkan dengan wajah Bjorka. Sedangkan saya hampir tidak punya foto-foto masa kecil. Itulah mengapa saya ingin sekali menyimpan kenangan-kenangan dia dari kecil agar suatu saat bisa menjadi “warisan” di saat dia besar kelak. Saya cukup percaya bahwa bertumbuhnya anak dengan baik tergantung pada orangtuanya memberikan pelajaran berharga dalam hidupnya. Belum tentu sebab paparan wajahnya banyak di media sosial sejak kecil bisa menjadikannya anak dengan sifat kurang baik. Setiap masalah yang dihadapi satu anak pasti akan berbeda dengan yang lain dan bagaimana cara orangtuanya menangani juga berbeda. Sehingga hasilnya pun akan berbeda pula.
Bertumbuhnya anak dengan baik tergantung pada orangtuanya memberikan pelajaran berharga dalam hidupnya.
Jujur saya dan Sabai juga masih belajar banyak menjadi orangtua. Kami belum pernah punya anak sebelumnya dan Bjorka adalah anak pertama. Sejauh ini kami merasa Bjorka adalah anak yang baik dan bahagia. Belakangan dia justru sedang manis-manisnya. Kalau dia tidak sengaja menyakiti orang lain misalnya tidak sengaja mendorong anak lain dia pasti akan menangis karena merasa bersalah. Setiap hari saya dan dia pasti main berantem-beranteman. Saya memperbolehkan dia main pukul-pukulan sama saya tapi saya pastikan bahwa hanya saya saja yang boleh dia pukul tidak orang lain. Sedangkan dia dengan Sabai juga punya cara sendiri untuk bersenang-senang. Seakan punya dunia dan bahasa sendiri, mereka bisa seru berdua yang saya tidak mengerti. Sebisa mungkin kami ingin setiap harinya hidup kami bertiga penuh dengan gelak tawa.
Sebisa mungkin kami ingin setiap harinya hidup kami penuh dengan gelak tawa.
Kami sebagai orangtua sebenarnya memang cukup membebaskan dia tapi bukan berarti tidak menetapkan aturan tertentu. Sudah pasti kami tidak mau dia jadi besar kepala sampai tidak tahu batasan dan tidak sopan pada orang lain. Hanya saja aturan-aturan yang kami terapkan juga bukan yang layakan aturan militer yang kaku dan tak beralasan. Misalnya saja saat bermain kami meminta dia untuk merapikan sendiri. Tidak bisa dia bilang tidak mau atau tidak bisa padahal sebenarnya bisa. Kecuali kalau ada yang benar-benar dia tidak bisa baru kami bantu. Lalu aturan bersalaman dan menyebutkan nama. Kami berpikir dengan bersalaman dengan orang baru dan menyebutkan namanya Bjorka dapat lebih memahami kesopanan dibandingkan dengan budaya salim. Sebab terkadang budaya salim itu seperti keharusan saja. Cium tangan lalu langsung pergi. Selain itu juga soal janji. Kami menerapkan bahwa kami orangtua pasti menepati janji jika sudah mengucapkan padanya. Jadi dia tidak meremehkan ucapan-ucapan kami kalau kami sudah menjanjikan sesuatu tapi tidak ditepati.
Begitu juga dengan komunikasi. Kami juga berusaha menyampaikan komunikasi yang bisa menumbuhkan kepribadian baik dalam dirinya. Contohnya dengan konsep rumah. Saya selalu bilang pada Bjorka bahwa rumah kami jelek dan kecil tapi kami betah, kerasan, dan suka tinggal di sana. Kami ingin menanamkan padanya bahwa pemikiran atau perasaan menjadi superior itu tidak penting. Kami ingin dia menjadi anak yang bisa berbaur sama semua orang tanpa memandang latar belakangnya. Sehingga kami tidak mempersiapkan dia dengan pemikiran sukses dengan menjadi kaya raya atau hidup enak tapi lebih mempersiapkannya untuk bertahan hidup.
Menurut saya hidup itu mengenai struggling dan surviving. Kalau orangtua lain mungkin ingin anaknya peringkat satu di sekolah saya justru merasa baiknya Bjorka di tengah-tengah saja. Saya tidak mau dia merasa besar kepala karena merasa paling pintar. Saya ingin dia tidak terpaku pada standar tertentu di masyarakat. Seperti bekerja itu tidak melulu kantoran. Dia bisa jadi apapun yang diinginkan dan tidak hanya bisa bersain dengan orang Indonesia melainkan dengan semua orang di dunia. Saya ingin dia bisa melihat dunia yang amat luas ini sehingga dia bisa menggunakan kesempatan yang terbuka untuknya pergi sejauh apapun. Apapun itu yang penting dia bahagia.
Hidup itu mengenai struggling dan surviving.