Teman adalah seseorang yang bisa melihat sisi terlemah kita. Ia bisa menerima kita apa adanya tanpa perlu melihat atribut kita. Entah itu profesi, atau apa yang dimiliki.
Dalam berteman, sebaiknya kita jangan memilih teman berdasarkan dari paradigma yang artifisial. Misalnya, memilih hanya mau berteman dengan mereka yang berasal dari kelas sosial atas saja, atau orang-orang yang memang dia anggap layak dijadikan teman. Jika kita mendasari pemilihan teman seperti itu, motif berteman pun jadi sangat dipertanyakan. Bisa jadi kita tidak benar-benar suka dengan mereka. Berteman seharusnya bukan berdasarkan asas mencari keuntungan dalam soal karier. Pertemanan sejati justru berasal dari orang-orang yang mungkin tidak menguntungkan kita dalam karier. Sebaliknya, kita mendapatkan keuntungan dari pertemanan yang asli. Tanpa pura-pura.
Pertemanan sejati justru berasal dari orang-orang yang mungkin tidak menguntungkan kita dalam karier.
Oleh karena itu, di waktu yang sama kita harus memilih teman. Memilih mana teman yang bisa menampilkan pertemanan yang nyata. Kalau tidak memilih, bisa jadi kita dimanfaatkan oleh orang-orang yang melihat atribut luar saja. Orang-orang yang tidak benar-benar tulus peduli. Semakin beranjak dewasa, kita bisa lebih sensitif untuk tahu mana orang-orang yang berada dalam satu frekuensi. Pada akhirnya terjadilah seleksi alam. Kita akan didekatkan dengan orang-orang dalam vibrasi yang sama sebab semakin tua, waktu kita akan semakin sedikit untuk bersosialisasi. Apalagi kalau bekerja dan berkeluarga. Nantinya, akan terbentuk susunan prioritas. Mana teman-teman yang memang satu frekuensi untuk bekerja dan mana yang benar untuk berteman saja.
Konflik pasti akan ada. Ia hadir bukan sebagai penghalang melainkan sebagai ujian. Kalau ada konflik di pertemanan, biasanya saya akan jadi orang yang duluan untuk mencari solusi. Meski mungkin dalam jaringan pertemanan tersebut tidak melibatkan saya dalam masalah. Seringnya sayalah orang yang pertama kali menanyakan solusi apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik. Saya juga yang akan jadi orang pertama yang mencairkan suasana seperti mengajak bercanda atau membuat suasana tidak lagi intens. Tanpa mengabaikan keberadaan masalah. Kita harus bisa jujur dengan apa yang tidak disukai sehingga bisa memunculkan konflik. Ini supaya antar teman bisa saling belajar apa yang tidak bisa diterima dari masing-masing pihak. Jadi, bisa sama-sama mengerti perspektif satu sama lain. Menurut saya kemampuan kita menyelesaikan masalah dapat dinilai dari bagaimana kita bisa menaruh perspektif kita di sudut pemikiran orang lain. Maka, kita tidak melihat konflik dari sudut pandang sendiri saja.
Menurut saya kemampuan kita menyelesaikan masalah dapat dinilai dari bagaimana kita bisa menaruh perspektif kita di sudut pemikiran orang lain.
Teman bisa jadi layaknya keluarga. Ia juga bisa menjadi seseorang yang membuat kita sakit hati. Contohnya ketika ia memberitahu kebenaran yang menyakitkan untuk kita. Terkadang kita tidak siap mendengar kejujuran seseorang. Hingga akhirnya bisa merasa sakit hati karena kejujuran tersebut. Tapi menurut saya, teman yang baik adalah teman yang bisa berbicara jujur, apa adanya pada kita. Kejujuran merupakan hal yang amat mahal. Teman-teman yang bisa setia menjadi teman saya adalah orang-orang yang pernah bicara jujur dan pernah berselisih. Saat dewasa, saya baru memahami bahwa mereka adalah orang yang pendapatnya sangat berharga untuk saya. Mereka yang berani menyampaikan kesalahan saya. Menurut saya, orang yang membenarkan kesalahan kita hanya untuk menyenangkan hati kita, ia bukanlah teman yang sebenarnya. Teman yang sayang pada kita adalah teman yang tahu bahwa kita pantas mendapatkan kejujuran sebab ia tahu kejujuran bermanfaat untuk kita. Sedangkan orang-orang yang tidak berani jujur pada kita, mereka bisa dibilang teman diplomatis saja. Jelas, pertemanan yang sesungguhnya bukan sekadar diplomasi.
Pertemanan yang sesungguhnya bukan sekadar diplomasi.
Kompetisi di pertemanan juga pasti akan hadir. Namun teman sejati adalah teman yang akan tetap mendukung kita sebesar apapun rasa kompetitifnya. Pada akhirnya, teman yang sebenarnya akan tetap punya perasaan bangga pada kita dan kompetisi terjadi bukan untuk saling menjatuhkan. Kalau seseorang tulus berteman dengan kita, ia pasti mau melihat kita maju, ingin melihat keberhasilan kita. Itulah teman-teman yang positif dan harus dipertahankan. Susah sekali mendapatkan teman-teman seperti ini. Tapi sekali kita sudah dapat, ia pasti tidak akan ke mana-mana selama kita juga tidak beranjak pergi. Teman yang baik akan mendukung perjuangan dan percaya dengan apa yang kita perjuangkan.
Kalau seseorang tulus berteman dengan kita, ia pasti mau melihat kita maju, ingin melihat keberhasilan kita
Saya sendiri adalah tipe teman yang akan sangat jujur apa adanya dalam menyampaikan ketidaksetujuan terhadap sesuatu yang teman saya lakukan. Sayangnya, banyak teman yang tidak kuat dan biasanya mereka akan menjauh. Niat saya menyampaikan kejujuran tersebut bukanlah karena saya tidak suka dan ingin menyakitinya. Sebaliknya, saya merasa sebagai teman yang baik dia layak mendapatkan kejujuran. Pernah suatu kali ada teman yang bertengkar dengan pacarnya. Menurut saya, reaksi dia berlebihan. Kemudian saya berkata jujur akan pendapat saya tersebut. Ternyata dia tidak terima lalu menjauh karena merasa sakit hati. Padahal sebenarnya maksud saya bukan untuk menyakiti hatinya. Sebagai teman yang peduli padanya, saya merasa perlu memberitahu sistem nilai yang saya miliki bahwa di berhak mendapat kejujuran saat melakukan kesalahan. Pada saat itu, saya merasa ia bisa bereaksi lebih baik dari itu sehingga apa yang saya sampaikan bukan berdasarkan ketidaksukaan saya padanya. Tapi untuk membantunya menyadari apa yang keliru.
Manusia adalah makhluk sosial. Dari zaman purba, manusia yang bisa berjuang lebih lama melalui kerasnya perubahan alam adalah manusia yang berkelompok dengan manusia lainnya. Kita diberikan anugerah akal budi oleh Tuhan dengan kemampuan untuk berempati tinggi. Berarti kemampuan untuk bersosialisasi sudah ada dalam diri sejak kita dilahirkan. Kita diberikan perangkat untuk bisa memahami perspektif orang lain, ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Jadi sebenarnya kita bisa menggunakan perangkat tersebut untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.
Kita diberikan anugerah akal budi oleh Tuhan dengan kemampuan untuk berempati tinggi.