Saat memiliki anak keempat para netizen seringkali menanyakan, “Kenapa anaknya empat?”, “Kenapa sudah umur segitu melahirkan lagi?”. Terus terang aku menyadari punya anak empat memang terlalu banyakan. Tiga anak saja sebenarnya sudah cukup banyak. Beberapa kali kalau ditanyakan langsung aku juga suka jawab malu-malu bahwa anak yang baru lahir ini adalah anak keempat. Tapi terkadang aku cukup heran kenapa pertanyaan-pertanyaan itu bisa hadir. Menurutku pertanyaan itu tidak ada jawabannya. Jujur, kehadiran anak keempat ini memang diluar prediksi dan rencana. Terkadang kita baru bisa merasakan apa yang orang lain rasakan kalau sudah mengalaminya sendiri. Bahwa ketika sudah berkeluarga dan memutuskan punya anak ada saja yang terjadi diluar keinginan. Jadi yang bisa aku lakukan hanyalah mensyukuri apa yang aku miliki. Meski awalnya sempat bingung menjalani realita di luar rencana, tapi aku akhirnya paham bahwa ternyata ada pesan di balik setiap kejadian. Pengalaman, perasaan dan pemikiran yang sebelumnya belum pernah ada.
Meski awalnya sempat bingung menjalani realita di luar rencana, tapi aku akhirnya paham bahwa ternyata ada pesan di balik setiap kejadian. Pengalaman, perasaan dan pemikiran yang sebelumnya belum pernah ada.
Beragam kekhawatiran tentu saja muncul di benak selama masa kehamilan. Salah satunya kondisi fisik. Sebenarnya bukan karena usiaku yang sudah tidak muda lagi tapi karena kata dokter ibarat kuliah kehamilan keempat seperti sedang ambil jenjang profesor. Stamina sudah tidak sama. Apalagi aku pernah mengalami cedera lutut. Harusnya aku menurunkan berat badan setelahnya agar tidak menumpu terlalu berat. Lalu hamil dan harus gendong bayi sudah pasti lutut jadi harus menumpu lebih berat. Terpikir juga soal tempat tinggal. Kebetulan saat memutuskan rumah untuk direnovasi kami pindah ke apartemen dan anak-anak betah. Tapi kemudian dengan adanya bayi pasti ruangan apartemen jadi lebih sempit. “Masak harus pindah rumah lagi?”, pikirku. Lalu mulai hitung-hitungan usia juga. Kalau yang paling kecil masuk SD umurku sudah semakin tua. Belum lagi soal biaya. Pikiran-pikiran ini ternyata buat aku tambah capek karena ternyata otaknya terus berpikir banyak dan tidak baik selama kehamilan. Jadilah aku mulai menerima keadaan saja .
Kalau dipikirkan semua dalam satu waktu pasti akan pusing sendiri yang terpenting kita mencoba perlahan mencari solusinya. Misalnya soal biaya. Pengalamanku anak-anak punya rezekinya masing-masing. Dan sebenarnya punya anak tidak cuma soal biaya. Lalu soal perencanaan juga penting. Seperti dulu aku menjaga jarak antar anak agar pola asuhnya baik. Orang tua bisa membagi waktu. Juga soal pengaruh ke lingkungan. Aku menyadari pasti ada dampaknya ke lingkungan dengan banyaknya popok yang dibuang dan berbagai produk bayi serta konsumsi. Terkadang rasanya serba salah. Antara pertimbangan merusak lingkungan atau kualitas tidur ibu agar tetap waras. Sehingga aku masih memakaikan popok kalau di malam hari sedangkan di siang pakai popok yang bisa dicuci. Selain itu aku berupaya mengurangi sampah sebisa mungkin.
Kalau dipikirkan semua dalam satu waktu pasti akan pusing sendiri yang terpenting kita mencoba perlahan mencari solusinya.
Yang jelas kita manusia hanya bisa rencana tapi bagaimana takdir yang harus dijalani yang menentukan bukan kita. Dari dulu aku memang suka anak-anak walaupun tidak punya adik tapi sering mengasuh anak saudara. Namun tidak pernah menyangka ternyata rencana Tuhan memberikanku empat orang anak. Sempat aku berpikir sambil bercanda sendiri, “Apa kehadiran anak keempat ini supaya aku ada materi untuk menulis lagi ya? Karena anak-anak sudah besar dan sudah hampir selesai dipelajari pola asuhnya. Paling yang masih bisa dieksplor adalah pola asuh anak remaja jadi sesuatu yang baru.” Setelah melahirkan pun ternyata memang sebuah pengalaman baru untuk kami sekeluarga. Tidak hanya aku saja. Semua anggota keluarga senang sekali. Bahkan suamiku yang biasanya tidak pernah menangis ketika aku melahirkan, dia menangis saat Numa, anakku yang keempat ini lahir. Begitu juga ketiga kakaknya yang sudah besar dan sudah mengerti konsep kakak-adik. Mereka bisa merasakan betapa lucunya adik bayi sampai minta menggendong adik dan ikut bantu merawat. Sungguh situasi yang berbeda.
Setelah melahirkan pun ternyata memang sebuah pengalaman baru untuk kami sekeluarga. Tidak hanya aku saja. Semua anggota keluarga senang sekali.
Pertama kali tahu hamil lagi, aku berpikir keras bagaimana cara menyampaikan kepada ketiga anakku. Ini suatu bahasan yang tidak pernah dibicarakan karena memang tidak pernah merencanakan. Ada kekhawatiran anak-anak merespon negatif. Mengingat anakku yang pertama adiknya sudah dua sedangkan dia sedang ada di masa yang butuh banyak privasi. Dua adik saja sudah cukup berisik apalagi tambah satu adik bayi. Ternyata setelah bicara dari hati ke hati, dia senang sekali punya adik. Begitu juga dengan yang ketiga karena memang dia sudah pengen punya adik dari dulu. Sayangnya anak yang kedua -mungkin karena anak laki-laki, dia bilang “Oh no.” Sepertinya dia takut berisik. Lucunya ketika adiknya lahir yang kedua justru yang sayang sekali sama adiknya.
Selama mengurus anak keempat aku memang jadi harus ekstra membagi waktu dengan ketiga anak lainnya. Terutama urusan kebutuhan psikologis mereka. Ternyata anak remaja walaupun sudah bisa dilepas sendiri tapi butuh perhatian khusus. Secara mental dia ingin kami orang tuanya jadi tempat curhat. Apalagi di masa pandemi di mana dia tidak bisa ke mana-mana. Pasti ada rasa stres dan kesal. Aku tahu dia berharap kami orang tuanya punya waktu untuk mendengarkan, interaksi, bahkan mungkin buat kegiatan yang seru, movie time misalnya. Sayangnya kami sulit mencari waktu itu karena mengurus adiknya yang masih bayi. Berbeda dengan anak kami yang laki-laki. Dia lebih suka main sendiri. Sementara anak perempuan yang ketiga masih butuh aktivitas fisik. Sering dia ajak aku main kartu atau dance. Sebenarnya jadi kasihan sekali karena kami berdua kekurangan waktu untuk banyak berinteraksi dengan mereka bertiga. Cuma kami berusaha sekali walaupun sebentar, meladeni mereka agar mereka tidak merasa kami pilih kasih.
Untuk membesarkan hati mereka aku suka bilang bahwa bagaimana kami mengurus adik bayinya sama seperti saat kami mengurus mereka dulu. Aku bilang, “Kalau kalian lihat adik digendong, dipeluk, dicium, kalian waktu bayi juga gitu. Kalau mau lihat waktu bayi seperti apa inilah yang Bunda lakukan sama kalian dulu.” Terkadang juga aku melibatkan mereka untuk bantu merawat adiknya. Meskipun aku sadar penuh kalau kita minta bantuan tidak bisa memaksakan. Aku tahu orang tidak selamanya bisa memberikan bantuan dan sebagai orang tua aku paham mereka juga pasti mau main sendiri atau ada juga yang sedang belajar online. Tujuanku meminta bantuan juga tidak lain agar bisa menumbuhkan rasa peduli pada adiknya. Supaya mereka bisa menyadari bahwa adiknya masih kecil dan perlu dibantu. Bahkan mungkin sampai besar juga tetap masih perlu dibantu. Memang kita orang tua harus mengenal betul karakter masing-masing anak seperti apa. Baru setelahnya mengetahui apa kebutuhan mereka. Selebihnya orang tua sebenarnya hanya bisa trial and error. Pasti banyak momen harus main tembak-tembakan karena mereka sulit bilang tapi berharap orang tuanya mengerti. Jadi kalau tidak dekat dan kenal dengan anak-anak bisa saja salah menanggapi dan mengatasi.
Untuk membesarkan hati mereka aku suka bilang bahwa bagaimana kami mengurus adik bayinya sama seperti saat kami mengurus mereka dulu. Aku bilang, “Kalau kalian lihat adik digendong, dipeluk, dicium, kalian waktu bayi juga gitu. Kalau mau lihat waktu bayi seperti apa inilah yang Bunda lakukan sama kalian dulu.”