Namanya naniura. Di kampung halaman, di Tano Batak, hanya orang-orang tua yang masih membuat masakan khas Batak Toba ini. Ikan air tawar, jenis ihan (ikan jurung) yang sudah langka atau ikan mas yang direndam lama dalam air asam jungga (jeruk sundai). Selain untuk menghilangkan bau amis, tentu juga untuk melembutkan dagingnya hingga durinya bisa dicabuti dan seterusnya dibumbui khas Batak yang menggunakan andaliman (yang dikenal juga sebagai lada Batak), kunyit, cabe keriting, bawang merah, lengkuas, sereh dan kemiri. Ikan yang “dimasak“ tanpa menggunakan api ini bisa membutuhkan proses pengasaman yang cukup lama. Bisa sampai tiga atau empat jam. Jenis masakan ini mulai jarang ditemukan karena ada anggapan mengonsumsi daging yang dianggap mentah ini tidak sesuai lagi dengan jaman. Namun sebaliknya, masyarakat urban di kota-kota besar di Indonesia kini mulai akrab dengan sashimi dan ceviche. Masakan dari Jepang dan Peru yang juga menggunakan ikan mentah dan perasan air jeruk sebagai bahannya.
Saya merasa perlu untuk kembali mempopulerkan naniura dan membuat beberapa inovasi sehingga saya tidak perlu lagi mengolah naniura selama berjam-jam. Jika kita menggunakan ikan laut segar, misalnya daging tuna atau salmon, mengolahnya tidak membutuhkan waktu lebih dari satu jam.
Makanan adalah produk budaya yang terus berkembang dan berinovasi. Beberapa tahun yang akan datang, bisa saja rendang yang akan dikonsumsi rasanya lebih tipis. Tidak lagi “nendang“ seperti saat ini. Ratusan tahun yang lalu pun, saya yakin rendang ada pergeseran dengan rendang yang kini kita nikmati. Dahulu rendang dimasak untuk dikonsumsi dalam waktu yang lama, sebagai bekal. Mungkin juga penggunaan cabai tidak sama seperti sekarang. Jika boleh saya menginterupsi, cabai yang menyumbang rasa pedas pada mayoritas masakan Minangkabau ini sebenarnya bukanlah asli Indonesia. Ditemukan Colombus di benua Amerika Selatan dan dikenalkan ke Eropa tahun 1520, serta masuk ke Nusantara melalui pelaut-pelaut Portugis sekitar tahun 1520-an. Saat itu pasar Eropa membutuhkan lada, pala, dan cengkeh karenanya, harga lada dibuat rusak agar masyarakat lokal tidak menggunakannya, dan beralih ke cabai yang dibawa dari Amerika Selatan untuk menggantikan lada. Cabai bukan asli Indonesia.
Jadi makanan itu merupakan percampuran ragam budaya dan tak usahlah kita terlalu chauvinist dan berang terhadap Malaysia jika mereka juga menganggap rendang sebagai makanan nasional mereka.
Tidak ada yang perlu diributkan. Makanan itu seharusnya sebagai pemersatu. Semua orang butuh makan, bukan? Kita makan bersama-sama dalam satu meja, untuk saling berinteraksi, berbagi dan bernegosiasi. Dengan menyatakan rendang hanya boleh diakui oleh Indonesia, artinya saudara Minang kita di Malaysia tidak berhak mengakui rendang sebagai makanan mereka kah? Konsep Malaysia itu sendiri sudah multietnis. Ada etnis Melayu yang berarti bisa juga Jawa, Minangkabau, Bugis, Mandailing, lalu juga ada etnis Cina dan India. Lagipula, jenis rendang yang terdapat di Malaysia dan di Indonesia pun berbeda. Rendang mereka berkuah karena secara tradisi berkembang dan ketika dimasak untuk langsung dikonsumsi. Bila orang Minang melihatnya akan menganggapnya bukan rendang, namun kalio. Rendang kita cenderung lebih kering karena untuk keperluan disimpan lama, baik untuk bekal di ladang, ataupun pergi merantau. Ambil saja positifnya bahwa dengan demikian pandangan masyarakat dunia mengenai rendang akan makin luas, dan saat mereka mengetahui tentang rendang, mereka akan dengan sendirinya mencari tahu darimana sebenarnya rendang berasal – yaitu tanah Minangkabau, Sumatera bagian barat, Indonesia.
Makanan sudah seharusnya menjadi perangkat diplomasi yang menyatukan. Dalam rangka diplomasi itu sendiri, sudah sejatinya tiap negara atau daerah memiliki suatu makanan yang dapat dijadikan identitas Nasional. Bagaimana dapat kita mengenalkan kekayaan dan keragaman budaya kita tanpa menyertakan makanan yang dapat ditemui di sana? Siapapun yang datang ke suatu daerah pastinya tidak luput dari ingin mencoba makanan lokal. Memiliki makanan khas membuat suatu tempat berada lebih lama dalam ingatan orang. Bila ke Thailand contohnya, kita pasti akan teringat tom yam. Ke Italia? Teringat spaghetti. Ke Indonesia? Sudah sepatutnya terdapat banyak sekali makanan yang tertanam di benak orang, mengingat adanya 600 suku bangsa yang dimiliki kita miliki. Coba sebutkan satu persatu; pinadar, soto, saksang, lawar, rawon, seuraboh, betutu, lawa... wah banyak sekali.
Pertanyaannya, saat disebut kata Indonesia, makanan apa saja yang terlintas di benak banyak orang? Soto, rendang, dan sate. Kurang lebih itu-itu saja yang selalu yang disebutkan. Berbanding terbalik dengan keragaman budaya kuliner yang dimiliki, hanya sejumlah kecil yang diingat di benak dan terucap di lidah. Jadi makanan Indonesia sebagai identitas nasional itu itu belum eksis bagi saya. Yang saat ini ada ialah sebatas makanan daerah. Jika kita mengatakan makanan Indonesia eksis, maka bagi saya hanya dua jenis yang layak mendapat predikat tersebut; makanan Padang dan Warteg, karena keduanya diketahui dan dimakan mayoritas besar orang Indonesia. Oleh karenanya (warung Tegal), berkaca dari sini, tugas kita lah untuk mengenai makanan khas Indonesia dahulu, sambil mengenalkannya pada dunia.
Berbicara mengenai makanan daerah, tentu saja makanan yang berangkat dari tradisi suatu daerah, yang pada dasarnya tidak berdiri sendiri dengan produk budaya lainnya seperti kepercayaan leluhur, seni tradisi dan ritus hidup masyarakat setempat. Konon, paella tercipta saat bangsa Spanyol bersinggungan dengan bangsa Asia yang memiliki budaya memasak nasi. Sementara spaghetti tercipta saat orang Italia berinteraksi dengan bangsa Asia, dimana mereka menemukan teknik membuat mie dalam tradisi Cina, kemudian diperkenalkan ke Eropa oleh Marco Polo.
Kembali lagi karena makanan adalah produk budaya, dimana budaya itu sendiri bukanlah suatu benda mati. Budaya itu sebuah kata kerja, hidup, sejalannya waktu, dan akan berkembang, bertransformasi dan menemukan bentuk dan nilai yang baru.
Di era globalisasi ini memungkinkan kita semakin dekat dengan mudahnya akses informasi dan komunikasi, serta kesempatan bepergian yang semakin luas. Dengan makin luasnya kesempatan melihat dunia, pengalaman rasa seseorang akan makanan dari berbagai sudut dunia pun akan makin beragam. Bila kita mendapati lidah orangtua atau kakek nenek kita memiliki preferensi rasa yang terbatas pada suatu jenis rasa yang dimiliki makanan khas daerahnya, lidah kita dan generasi di bawah kita adalah kebalikannya. Lambat laun, lidah kita memiliki pengalaman rasa yang makin luas sehingga semakin tidak terikat untuk hanya dapat menikmati rasa makanan khas daerah kita sendiri.
Bisa jadi kari Sumatera yang sekian ratus tahun lalu dipengaruhi oleh kari India, suatu saat nanti mungkin akan makin susah dibedakan. Tidak menutup kemungkinan bukan bila pada akhirnya kari yang kamu beli di Aceh dan India Selatan menjadi terasa mirip satu sama lain?
Dan suatu saat nanti, tidak menutup kemungkinan juga bila sejumlah makanan akan hilang. Ya, hilang. Tapi itulah hidup bukan? Tidak terkecuali pada makanan, apapun dalam dunia ini pun akan mengalami pergerakan yang serupa. Ada yang tetap, berkembang, bertahan, atau hilang. Lihat, betapa dinamisnya produk budaya satu ini, dan betapa menyatukannya aspek satu ini seharusnya. Karena bagaimana pun juga, salah satu cara paling mudah untuk memahami keragaman dan kekayaan budaya yang dunia miliki, serta bersikap menghargai terhadapnya, adalah dengan terlebih dahulu mengenalinya melalui makanan. Coba kini perhatikan piring makanan kamu: ada berapa banyak tradisi budaya yang berpadu di atasnya?