We are what we think. Semuanya berasal dari pikiran kita. Saya ingin cerita sedikit, dulu waktu di awal masa pandemi, saya sempat merasa tidak produktif karena berlindung di balik keadaan. “Ah, ntar aja , ah, berkaryanya pas keadaan ini membaik,” pikir saya waktu itu. Pikiran saya mengatakan untuk saya menunggu hingga keadaan membaik, sehingga saya pun tidak melakukan sesuatu pada saat itu. Akan tetapi, lama-lama saya berpikir juga, akan sampai kapan saya tidak produktif begini. Kita tidak tahu kapan keadaan yang lebih baik akan datang. Saat ini, kita punya keadaan yang disebut normal yang baru. Jadi, saya pun lantas mengubah mindset saya jadi bukan lagi menunggu keadaan menjadi normal seperti sedia kala, tapi melihat bahwa saat ini merupakan keadaan normal yang ada sekarang. Kesimpulannya, kita perlu memiliki pola pikir yang positif untuk hidup lebih sejahtera.
Dengan memikirkan hal negatif, kita berkutat dengan skenario terburuk akan suatu hal yang sebenarnya belum tentu benar atau akan terjadi.
Negativity itu menguras tenaga. Dengan memikirkan hal negatif, kita berkutat dengan skenario terburuk akan suatu hal yang sebenarnya belum tentu benar atau akan terjadi. Sangat menyita tenaga yang sebenarnya bisa digunakan untuk melakukan hal lain yang lebih berguna. Untuk menghindari hal ini, menurut saya kita harus belajar untuk fokus akan apa yang bisa kita kontrol atau kendalikan. Misalnya sedang nganggur lalu membuka media sosial dan melihat banyak teman kita yang berlibur, sementara kita tidak. Daripada muncul pikiran negatif seperti membanding-bandingkan yang membuat kita stres sendiri, lebih baik kita misalnya mute dahulu teman kita tersebut atau tidak membuka media sosial untuk sementara waktu agar kita terhindar dari hal-hal yang memicu pikiran negatif. Untuk bahagia atas kebahagiaan orang lain tidak mudah. Kalau malah membuat jengkel, ya lebih baik tidak usah melihat atau mencari tahu. Di sini, “teman kita pergi berlibur” adalah hal yang tidak bisa kita kontrol, sementara membuka media sosial adalah hal yang bisa kita kontrol karena kita sendiri yang melakukannya.
Kita harus belajar untuk fokus akan apa yang bisa kita kontrol atau kendalikan.
Begitu pun soal keuangan. Contohnya pendapatan di masa pandemi yang berkurang adalah hal yang tidak bisa kita kontrol. Tapi, apa yang bisa kita kontrol adalah bagaimana kita mengatur keuangan kita saat ini dan untuk masa depan. Misalnya sewaktu kemarin saya mengulik aplikasi PermataMobile X dari PermataBank, lalu melihat fitur tabungan dan investasi yang bisa digunakan dengan mudah. Adanya layanan semacam ini membantu sekali dalam hal kita bisa mengatur dan menyiapkan keuangan kita untuk menghadapi masa normal yang baru ini. Dengan banyak menghabiskan waktu di rumah saat ini, kalau untuk saya, ada beberapa pos pengeluaran yang bisa ditabung atau diinvestasikan. Misalnya pos liburan yang belum terpakai, atau alokasi pengeluaran untuk jajan saat pergi ke mall, yang akhirnya saya tabung dan investasikan aplikasi PermataMobile X dari PermataBank ini.
Nah, pembentukan pola pikir positif dan karakter itu sendiri dimulai dari keluarga. I am a fanatic believer kalau anak adalah produk dari keluarga. Jadi, bila misalnya anak saya disakiti oleh temannya yang nakal, percaya atau tidak, saya akan berkata ke anak saya kalau ia tidak boleh langsung marah atau benci dengan temannya tersebut. Belum tentu itu murni salah dia. Bisa jadi, itu cara anak tersebut dibesarkan, atau dia tidak dididik dengan benar sehingga ia tidak menyadari kalau perbuatannya tidak benar di mata orang lain. Oleh karenanya, peran orangtua atau keluarga bagi anak sangat vital. Mereka akan menurunkan pola pikir, sudut pandang, karakter, serta nilai-nilai yang pada akhirnya akan membentuk sikap anak akan banyak hal, termasuk bagaimana caranya ia melihat perbedaan, keragaman, dan stereotype yang ada.
I am a fanatic believer kalau anak adalah produk dari keluarga.
Negara kita sangat beragam dalam hal suku, budaya, adat istiadat, agama dan kepercayaan, dan lain sebagainnya. Tidak dipungkiri, keragaman ini membuat ada sejumlah stereotype terbentuk sebagai hasil dari bagaimana suatu kelompok memandang kelompok lainnya yang mungkin memliki perbedaan. Misalnya, pandangan stereotype yang beranggapan biasanya orang Cina punya toko, atau, dalam persepektif negatif misalnya, orang Cina pelit. Nah, apakah hal ini selalu benar? Tidak juga, karena antara satu orang dengan orang lainnya belum tentu sama, walau mungkin memiliki kesamaan etnis. Akan tetapi, bila kita langsung berkata “orang Cina tidak pelit”, mungkin belum tentu semua orang langsung menerima, karena pemahaman stereotype semacam ini bagaikan sekat yang membuat kita susah menyebarkan sikap toleransi, sebab orang sudah berprasangka terlebih dahulu.
Kalau stereotype ini bisa kira kikis, kita tidak akan memiliki prasangka berlebihan dalam menilai orang. Sikap kita akan menjadi netral, dan membuka diri ke orang lain yang berbeda etnis, suku, agama, atau golongan lainnya menjadi lebih mudah. Untuk itu, saya sering menyampaikan pesan tentang keragaman, toleransi, dan stereotype ini dalam karya film saya, karena agenda saya adalah ingin mengikis stereotype ini. Saya akan memotret secara garis besar stereotype ini sebagai entry point, lalu akan membuat orang meneropong ke dalam untuk menemukan banyaknya dimensi yang ada.
Misalnya saat membuat film tentang orang Cina yang memiliki toko. Di saat awal, sebagai entry point, orang akan melihat hal yang relate atau familiar di mata mereka, yaitu seorang etnis Tionghoa memiliki toko. Lalu, kemudian saya akan bawa orang melihat kalau ternyata sosok pemilik toko ini baik dengan pelanggan dan karyawannya. Saya angkat dari sisi humanis, bahwa he’s just a guy. Dengan potret sisi humanisnya, saya berharap orang akan menjadi tahu atau mengenal lebih dekat suatu hal mengenai subjek, yang pelan-pelan dapat mengubah cara pandang mereka akan perbedaan dan stereotype yang ada.
Stereotype juga tidak hanya mengenai suku atau ras saja. Dalam nilai-nilai keseharian, hal ini pun terjadi. Misalnya, adat Timur yang mengajarkan anak harus menurut dan tidak boleh membantah orangtua. Di satu sisi, kita memang harus menghormati orangtua. Namun, di sisi lain, sebenarnya hal ini membuat kita membatasi critical thinking dan negotiation skill yang dimiliki anak. Pada saat dewasa, softskill berpikir kritis serta negosiasi tentu amat sangat dibutuhkan dalam pekerjaan dan hidup. Tapi, bagaimana bisa keahlian ini tumbuh dengan sendirinya bila tidak dididik sedari kecil? Di sini, saya mengajarkan ke anak saya, kalau saya membuat aturan, keputusan, nasihat, atau apapun yang anak saya tidak setuju, maka ia boleh mengutarakan ketidaksetujuannya, dan kita pun akan berdiskusi untuk mencari titik tengah. Begitu pun anggapan yang berkata laki-laki tidak boleh menangis. Menurut saya, pandangan ini sudah tidak relevan lagi karena penelitian sendiri berkata, hal ini kurang baik untuk kesehatan mental anak. Oleh karenanya, bila anak laki-laki saya sedang sebal atau sedih, saya katakan padanya tidak apa-apa bila ingin menangis, tapi setelah itu ia harus bangkit lagi.
Sikap postif, toleransi, dan terbuka akan keberagaman, bibit-bibitnya dari keluarga. Mungkin kita tidak bisa mengubah cara pikir orangtua atau mereka yang lebih senior karena pola pikir mereka umumnya sudah “jadi”. Tapi, kita bisa mengubah cara berpikir kita dan anak kita. Cara supaya menjadi lebih toleran itu mudah, yaitu banyak ngobrol dengan orang yang berbeda dengan kita. Entah berbeda suku, agama, golongan, kelas sosial, dan lain sebagainya. Dengan cara ini, kita akan membuat cakrawala berpikir kita menjadi lebih luas. Sebab, apa yang kita lihat menjadi tidak sekedar dari mana kita berasal saja, tetapi juga, pola pikir orang lain yang berbeda dengan kita, yang membuat buah pikir kita lebih kaya, dan hidup kita lebih makmur tentunya.
Cara supaya menjadi lebih toleran itu mudah, yaitu banyak ngobrol dengan orang yang berbeda dengan kita.