Tak perlu menunggu jadi menteri atau selebriti untuk mulai melakukan perubahan
demi menyelamatkan lingkungan. Alam hanya butuh cinta dan kepedulian kita.
Sebuah perubahan yang cukup mengejutkan terjadi di kantor Kementerian Kelautan
dan Perikanan sejak Maret 2018 lalu. Menteri Susi Pudjiastuti menerapkan aturan
yang melarang semua pegawai yang bekerja di kementrian yang dipimpinnya itu
membawa air minum kemasan ke lingkungan kantor. Siapa saja yang ketahuan
membawa air minum dalam kemasan, dikenai denda sebesar 500 ribu rupiah.
Tentulah itu jumlah yang cukup besar untuk ditukar dengan sebotol air mineral.
Bahkan dalam acara yang diselenggarakan di luar kantor pun, peraturan itu tetap
diterapkan, seperti ketika sang menteri mensosialisasikan kampanye kesadaran
masyarakat untuk menjaga laut yang diadakan oleh Komunitas Pandu Laut
Nusantara di Hari Bebas Kendaraan Bermotor pada pertengahan Juli 2018.
Namun, tentu saja kita tak perlu menunggu sampai jadi seperti Menteri Susi yang
bisa punya otoritas menerapkan peraturan setegas itu untuk dapat merawat
lingkungan. Kita juga tidak harus hanya bermimpi jadi seperti Giselle Bundchen yang
menjadi duta dari Program Lingkungan PBB atau jadi aktor semapan Brad Pitt
hingga bisa membuat yayasan yang membantu berbagai komunitas memiliki hunian
ramah lingkungan. Menjaga dan merawat lingkungan bisa kita mulai setiap saat,
bahkan di detik pertama setelah kamu selesai membaca tulisan ini.
Ada banyak cara menjaga lingkungan dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan
sehari-hari yang bisa kita lakukan. Kita bisa memulainya dari langkah yang sangat
kecil, sesederhana berhenti menggunakan sedotan plastik dan rela repot-repot
membawa sedotan stainless steel ke mana pun pergi seperti yang dilakukan Inggita,
seorang teman saya. Atau seperti Astrid, teman saya yang lain, yang sejak setahun
lalu berusaha menerapkan pola hidup zero waste di rumahnya. Ia berupaya
menekan produksi sampah plastik di rumahnya dengan memaksimalkan wadah-
wadah kaca yang ia koleksi, membawa kantung-kantung kain untuk mengemas
sayur dan buah tiap berbelanja ke pasar atau supermarket, hingga membuat sendiri
berbagai cairan pembersih dari bahan-bahan alami yang tak akan jadi limbah
beracun. Kebiasaan personal dan terlihat sederhana seperti yang dilakukan oleh
Inggita dan Astrid, bukan tak mungkin menjadi inspirasi bagi lingkungan di sekitar
mereka.
Tak sedikit komunitas peduli lingkungan hidup yang terinspirasi dari kebiasaan baik
seseorang yang menarik bagi orang di sekitarnya. Komunitas Kota Tanpa Sampah
salah satunya. Wilma Chrisanty, seorang arsitek yang tinggal di kawasan Bintaro
merasa sangat terganggu melihat berita dan kenyataan di sekitarnya tentang
penanganan sampah yang menurutnya seperti tidak pernah mendapat solusi. “Bila
membicarakan sampah, selalu saja masih berkutat pada bagaimana membersihkan
sampah yang telanjur kita hasilkan, sampah yang tercecer di jalan, di sungai, dan
sampah yang menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir. Masih berkonsentrasi soal
bagaimana menangani sampah di hilir atau setelah proses produksi dan konsumsi,”
katanya. Persoalan sampah menurutnya harus didekati sejak di hulunya.
Kesadaran itu membuat Wilma lantas mulai mengamati sampah yang ia hasilkan
setiap hari. “Saya menemukan fakta bahwa tiap hari kita menghasilkan cukup banyak sampah dan sejumlah sampah itu tidak menghilang, hanya berpindah,
menumpuk di suatu tempat. Ini terus berulang setiap hari,” Wilma mengisahkan. Ia
lalu mulai mencari cara agar setelah ia memproduksi atau mengonsumsi sesuatu,
tidak ada sampah yang dihasilkannya.
Setelah beberapa bulan melakukan eksperimen pribadi yang ia mulai pada 2014 itu,
Wilma merasa bahwa ia akan menemukan lebih banyak pengetahuan dan alternatif
cara bila dilakukan bersama-sama dengan orang lain. “Kebetulan di biro konsultan
yang saya jalankan terdapat unit riset dan eksperimen, LabTanya, yang mengggunakan eksperimen sosial sebagai alat kolektif untuk produksi pengetahuan.
Saya kemudian mengajak rekan-rekan tim di biro untuk merespon persoalan
sampah sebagai salah satu eksperimen social. Proyek riset dan eksperimen ini
adalah “KOTA TANPA SAMPAH, Mungkinkah?” kisahnya.
Dalam proyek riset dan eksperimen kami tersebut, Wilma dan Lab Tanya bekerja
bersama komunitas warga untuk melakukan eksperimen sekaligus menjawab
pertanyaan tentang bagaimana jika mereka hidup tanpa tempat sampah. “Yang
menarik, selama eksperimen yang berlangsung antara 1-2 minggu, kami dan warga
yang terlibat berhasil menemukan petunjuk penting. Tanpa bergantung pada tempat
sampah, sampah di rumah mampu dikurangi hingga 95%!” katanya tanpa bisa
menyembunyikan rasa takjub. Hal tersebut mendorongnya untuk mulai melakukan
eksperimen-eksperimen membangkitkan gairah produksi terutama terkait konsumsi
harian. Ia mencoba berbagai hal yang mungkin membantu, mulai dari belajar
bercocok tanam tanaman yang bisa dikonsumsi hingga memproduksi aneka
pembersih baik untuk tubuh, pakaian, lantai, atau juga perlengkapan masak-makan.
“Lewat kegiatan produksi ini, kami mengenal lebih jauh tentang asal-usul (sebelum
konsumsi) dan dampak (paska-konsumsi). Muncul pemahaman dan kesadaran lebih
lengkap dan jelas tentang merawat lingkungan mulai dari hulu hingga hilir,” katanya.
Agar tak merasa risau sendiri, Wilma dan Adi suaminya kemudian coba
mengembangkan model eksperimen sosial yang mampu libatkan banyak orang dan
komunitas warga. Ekosistem ini yang diharapkan turut mengembangkan banyak
pengetahuan dan praktik yang memungkinan terwujudnya masa depan yang lestari.
Saat ini, upaya Wilma mulai membuahkan hasil. Ia telah berhasil megembangkan
sebuah komunitas yang memiliki kesadaran yang baik untuk meminimalisir jumlah
sampah. Beberapa anggota komunitas yang memiliki usaha makanan kerap
meminta pembelinya membawa wadah dari rumah karena tak menyediakan
kemasan plastik. Komunitas lain yang terdiri dari ibu-ibu di sekitar rumah Wilma, aktif
melakukan berbagai aktivitas kerajinan tangan berbahan limbah plastik. Tak hanya
berhasil mencari teman untuk mengatasi kerisauannya, Wilma dan Komunitas Kota
Tanpa Sampah telah pula berhasil menjadi serupa pusat sebuah riak di sebuah
kolam yang terus membesar lingkarannya. Kalau mereka bisa, kita tentu juga bisa.
Sebab alam hanya butuh cinta dan kepedulian kita.