Seperti mata uang, jumlah followers dan like di media sosial membuat seorang influencer mendapatkan begitu banyak privilese. Namun semua tentu ada batasnya.
Revolusi teknologi informasi – kalau boleh dibilang demikian, yang terjadi begitu gegas dengan hadirnya beraneka jenis media sosial satu dekade belakangan ini, memunculkan perubahan sangat signifikan bagi pola penyebaran berita, termasuk sumber-sumbernya. Berita tentang berbagai hal yang lazimnya diperoleh dari media-media konvensional seperti surat kabar, majalah, televisi, dan radio, mulai beralih ke berbagai portal berita, juga berbagai media sosial seperti YouTube, Twitter, Facebook yang digerakkan oleh komunitas juga perorangan yang dikenal dengan sebutan influencer.
Bila biasanya berita datang ke hadapan kita secara berkala, harian, atau setiap jam, selama sepuluh tahun terakhir, kita jadi terbiasa menerima berita apa pun setiap detik tanpa jeda. Kita, mau tidak mau, suka tidak suka, terpaksa menampung dan memamah berita apa pun yang singgah ke linimasa aneka media sosial dari berbagai akun yang kita ikuti. Mungkin bukan cuma kita, tapu semua orang yang memiliki media sosial mengalami hal dan perasaan yang sama: tahu terlalu banyak untuk hal-hal yang adakalanya tak ingin kita ketahui, terutama soal hal-hal terlalu personal yang kerap tanpa sadar – atau dengan sadar, dibagikan oleh mereka yang kita ikuti media sosialnya.
Saat menekan tombol follow untuk mengikuti akun media sosial seseorang, kita memang jadi tak punya hak memprotes apa yang ingin mereka bagikan. Kita sendiri yang dengan sadar menjadi pengikutnya. Tapi setiap pengikut, sama seperti setiap mereka yang diikuti, memiliki hak untuk setiap saat berhenti mengikuti atau diikuti bilamana merasa terganggu. Pengikut memiliki hak meng-unfollow akun yang dirasa tak lagi berguna, sementara yang diikuti memiliki hak mem-block pengikutnya yang dirasa mengganggu.
Mata Uang Dunia Maya
Tak ada perjanjian tertulis yang mengharuskan following dan followers saling terikat satu sama lain. Namun, seperti yang saat ini makin kita sadari, jumlah pengikut yang dimiliki dan jumlah like yang diperoleh seseorang dari setiap post yang diunggah di media sosialnya, menjadi indikasi tentang seberapa penting dan berpengaruh orang tersebut bagi lingkungan, atau setidaknya, bagi pengikutnya di dunia maya.
Jumlah pengikut dan like ini kemudian menjadi sebuah mata uang baru dalam dunia maya yang juga memunculkan sosok yang kita kenal sebagai Key Opinion Leader (KOL) atau Influencer. Sebuah profesi yang satu atau dua dekade lalu sulit dibayangkan jenis pekerjaannya, yang kesuksesannya diukur dari seberapa besar feedback dari pengaruh yang ia berikan pada para pengikutnya. Semakin tinggi dan intensif feedback serta jumlah like yang diperoleh oleh sebuah posting, akan semakin tinggi pula posisi tawar seorang influencer. Like dan feedback seperti sebuah mata uang baru yang amat digdaya di jagat maya dan menjadi tiket bagi para influencer untuk masuk ke kelas tertentu.
Di setiap kelas, para influencer umumnya mendapat banyak privilese sesuai dengan jumlah followers dan like yang mereka miliki. Bagi para influencer dengan jumlah followers mencapai ratusan ribu atau jutaan orang dengan like yang juga mencapai jumlah yang signifikan, privilese itu menjadi sangat tinggi. Hal itu masih pula ditambah dengan catatan nominal fee yang sangat fantastis untuk setiap kali post yang mereka unggah. Beberapa tahun lalu, media konvensional merupakan saluran utama belanja iklan berbagai brand, mulai dari consumer goods seperti sabun, shampoo, deterjen hingga luxury goods seperti busana, aksesoris hingga kendaraan dan sebagainya. Tapi kehadiran influencer membuat para produsen mulai membagi belanja mereka pada media-media konvensional dengan gaya promosi yang lebih cair, personal dan dari segi biaya jauh lebih kecil ketimbang jumlah yang mereka keluarkan untuk memproduksi iklan konvensional. Hal yang menarik dari pola promosi menggunakan influencer bagi para produsen adalah feedback yang relatif lebih cepat dan lebih terukur. Dalam hitungan detik, sebuah pesan sampai pada ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang yang akan dengan segera memberi komentar dan tanggapan mengenai produk yang diunggah. Efektif dan efisien.
Namun tak jarang, berlimpahnya privilese yang diperoleh oleh influencer menciptakan kondisi yang merepotkan manakala seorang influencer merasa memiliki hak untuk mendapatkan segala yang diinginkannya secara gratis dengan mengandalkan jumlah followers dan besarnya pengaruh yang bisa dihasilkan oleh kekuatannya sebagai seorang KOL sementara pihak yang mereka ajak kerjasama tak sepenuhnya merasa bahwa kehadiran seorang influencer akan berguna bagi bisnis mereka. Perselisihan paham yang menyebar secara viral antara Elle Darby, seorang vlogger asal Inggris dengan Paul Stanson, pemilik Charleville Lodge Hotel di Dublin pada awal tahun 2018 ini. Darby mengirimkan ajakan kerjasama promosi dengan imbalan menginap gratis di hotel tersebut melalui surat elektronik yang dijawab secara terbuka oleh Stenson di akun Facebook restoran miliknya, White Moose Cafe. Meski jawaban yang diberikan Stenson tanpa menyebutkan nama influencer yang mengajukan permintaan tersebut, Darby merasa dipermalukan dan membuat jawaban melalui sebuah video. Kasus ini diakhiri dengan pernyataan Stenson di akun yang sama bahwa ia dan segala bisnisnya menolak bekerjasama dengan influencer. Semoga saja, hal semacam ini tak terjadi pada para influencer Indonesia.