Saya tidak bisa bohong jika Mei 2006 adalah pengalaman yang membuat saya takut mati. Pukul 05.45 wib. saya lari tunggang-langgang, berusaha berlari lurus namun terbentur dinding di kiri dan kanan saya. Dinding itu seolah menyatu dan menghantam saya berkali-kali. Saya sudah mau mati—pikir saya.
Adalah gempa bumi yang melanda Yogyakarta tahun 2006. Momen ketika ribuan orang meninggal dunia. Bagaimana bisa kota sedamai Yogyakarta ditimpa bencana sedahsyat itu? Itulah momen yang membuat saya menyaksikan sendiri betapa manusia takut mati. Manusia akan melakukan apapun untuk tetap hidup, termasuk menjarah motor dan menabrak apapun di depannya agar ia bisa melaju sampai tempat yang aman.
Mau lari ke arah utara? Gunung Merapi sedang erupsi. Warga utara pun mengungsi ke pusat. Mau ke selatan? Isu tsunami akibat gempa pun membuat kota tenang ini menjadi huru-hara. Jangankan update status di internet, jaringan telepon ke orangtua saya saja terputus. Apakah orangtua saya menjadi korban gempa? Bagaimana nasib mereka? Perasaan saya campur aduk saat itu.
Manusia akan melakukan apapun untuk tetap hidup
Momen itulah yang membuat saya yang masih duduk di bangku SMA harus melanjutkan proses ‘belajar’ di beberapa tempat yang ditentukan. SMA Johanes de Britto tempat saya bersekolah, memutuskan untuk mengganti mata pelajaran kami selama dua minggu menjadi praktek sosial. Para siswa ditugaskan untuk membantu evakuasi korban di Bantul, membersihkan puing bangunan, bahkan menjadi tenaga medis di sejumlah rumah sakit—itu yang saya lakukan selama dua minggu.
Rutinitas saya adalah membaca komik dan bermain PlayStation setiap hari. Namun rutinitas saya berubah menjadi mengantar pasien patah tulang untuk dioperasi di Rumah Sakit Panti Rapih. Menyaksikan ruangan pasien penuh, sehingga korban gempa harus dirawat di lorong rumah sakit. Biara rumah sakit berubah menjadi ICU berjamaah—banyak pasien yang dirawat tampak hanya menunggu ajalnya tiba. Alat pemompa jantung bertebaran, tubuh mungil simbah-simbah yang tergeletak ditutupi besarnya alat untuk menjaganya agar tetap hidup. Itulah pemandangan tiap hari saya.
Minggu kedua, rutinitas itu menjelma menjadi sang pengantar jenazah. Saya menyaksikan sendiri satu persatu pasien di biara ditutupi kain putih dan dibawa ke kamar jenazah. Tangisan keluarga yang meraung adalah suara yang saya dengar tiap hari. Rasa takut, jijik, dan trauma itulah yang membayangi saya saat pertama mengantar jenazah. Namun perasaan itu hancur ketika salah seorang ibu menghampiri saya dan berkata, “Matur nuwun cah bagus, matur nuwun.” Sambil tangan saya dicium. Entah apa yang membuat mata saya perih dan menitikkan air mata tanpa sadar. Seorang remaja yang takut mengantar jenazah itu mendapatkan ungkapan terima kasih karena mengangkut jenazah ibunda seseorang, nenek seseorang, menuju peristirahatan terakhirnya. Apalah arti perbuatan saya ini sehingga membuat sang ibu berterima kasih? Sepertinya Tuhan menyentil sifat manja saya saat itu.
Seminggu kemudian, sekolah di Yogyakarta kembali beroperasi menjelang ujian kenaikan kelas. Tidak biasanya kelas sekolah khusus laki-laki ini tenang. Namun baru kali itu begitu kelas perdana digelar dan guru menanyakan bagaimana hasil praktek sosial kalian? Semua hening. Saya ingat, semua terdiam dan tak terdengar riuh. Kami menyaksikan sendiri betapa hidup dan mati itu nyata. Rasa kehilangan segala harta benda serta tangisan sedih seseorang itu nyata—tidak hanya di film.
Jiwa sosial kami terpahat di momen itu, dan pribadi saya baru merasakan bahwa tindakan kita benar bisa berarti jika kita melakukan segala sesuatu dengan ikhlas. Mulut kami pun tidak mampu menceritakan betapa teraduknya jiwa sosial kami. Ada kawan yang menyaksikan sendiri anggota keluarganya tertimbun di balik reruntuhan gempa, ada pula kawan yang ‘hanya’ membantu memasak mie instan di dapur umum tapi mampu memberikan energi bagi tim yang bertugas, dan pengungsi yang berjuang dengan rasa dingin dan kehilangan.
Tindakan kita benar bisa berarti jika kita melakukan segala sesuatu dengan ikhlas.
Jiwa sosial itu pun yang kembali diuji ketika saya meniti karir sebagai jurnalis televisi dihadapkan dengan tugas program yang berfokus pada hal sosial. Sehingga interaksi narasumber saya bukanlah pengamat politik, hukum, atau bahkan politisi itu sendiri—melainkan masyarakat inspiratif, sampai korban akibat ketimpangan sistem sosial.
Tahun 2018 pula adalah momen yang menghantam kredibilitas pribadi saya sebagai jurnalis. Seorang anak perempuan dibakar ibunya sendiri karena kesal sang anak terus bermain. Secara live, Jam satu siang saat saya mewawancarai orangtua asuhnya, saya diberi kabar kalau sang anak telah meninggal akibat luka bakar mencapai 80%, dan saya dihantam perasaan bersalah.
“Saya bisa mengangkat berita itu lebih cepat!” Atau “Saya terlambat. Seandainya saya bisa lebih cepat.”
Perasaan bersalah itu yang menghantam saya selama beberapa hari. Sebagai makhluk sosial saya merasa tidak berdaya dan tidak berguna.
Namun, usia hanya Tuhan yang tahu. Percuma menyalahkan diri saya, karena penyesalan tidak akan mengembalikan waktu atau nyawa. Namun saya yakin, bahwa kita sudah melakukan yang paling baik, maksimal yang kita bisa.
Hal itulah yang membuat saya yakin bahwa talk show jurnalistik tidak melulu berupa debat kusir untuk rating ataupun suatu hal yang kontroversial. Namun ketika dialog yang saya bawakan betul berdampak pada penghiburan seseorang, pengumpulan dana darurat bagi korban bencana, bahkan menyatukan donatur untuk membantu sesama yang tidak beruntung, itulah keberhasilan saya sebagai jurnalis dan manusia.
Saya yakin dunia ini masih banyak orang baik. Mungkin karena malu, banyak yang memilih urung berbuat baik. Namun percayalah, menjadi berbeda tidak berarti kehilangan hak untuk berbuat baik.
Percayalah, menjadi berbeda tidak berarti kehilangan hak untuk berbuat baik.