Memang, kalau bicara hiburan film, internet sangat memudahkan kita menikmati film dari seluruh dunia tanpa harus angkat bokong dari sofa empuk rumah. Meski begitu, saya rasa, satu hal tidak tergantikan dari nonton film di banyak situs OTT (over-the-top media services) adalah a sense of community – menikmati sebuah film dalam rasa kebersamaan komunitas.
Ketika datang ke pusat kebudayaan Prancis di Jakarta untuk menyaksikan dua film Eropa The Happy Prince dan Sink or Swim pada suatu akhir pekan, saya senyum-senyum sendiri melihat begitu banyak orang mengantri tiket dan kemudian memenuhi ruang siar Institut Francais d'Indonesie. Festival film seperti ini hadir untuk mengisi kerinduan kita terhadap rasa kebersamaan dalam sebuah komunitas itu.
Mari bicara festival film Eropa, Europe on Screen 2019.
Film pembuka festival film ini The Guilty mampu membuat para penontonnya tegang dan di saat yang sama tersentuh sepanjang film. Dalam film ini, kita mengikuti kecamuk batin seorang polisi yang turun jabatan menjadi polisi operator darurat karena sebuah kesalahan fatal. Kemelut mental Asger Holm semuanya tergambar dari balik meja kerjanya. Setiap menit, Holm menerima telepon dari warga Kopenhagen yang memohon bantuan untuk keluar dari situasi aneh atau sulit. Tidak jarang si penelepon adalah mereka yang iseng atau mabuk. Namun humor ini hilang dan situasi menjadi tegang ketika ia menerima telepon dari seorang perempuan yang nyawanya terancam. Setiap detik pembicaraan di telepon ini menjadi titik tegang dan keseruan film ini.
Film arahan sutradara Denmark Gustav Moller ini masuk sebagai nomine Best Foreign Language Film ajang Piala Oscar 2019 - bentuk apresiasi yang sangat pantas. The Guilty adalah salah satu dari 101 film kontemporer dari 27 negara di Eropa yang tersaji khusus bagi pecinta film-film Eropa di Indonesia.
Selain The Guilty, ada ratusan film fiksi, dokumenter, animasi dan film pendek yang terkurasi apik dan dipetik dari daftar tayang festival film Internasional dan ajang penghargaan ternama di antaranya seperti Festival de Cannes (Prancis), Berlinale (Jerman), Toronto International Film Festival (Kanada), Tribeca Film Festival (Amerika Serikat), Academy Awards, dan Cesar Award.
Berikut sejumlah film dengan sinopsis yang menarik dan menggelitik perhatian saya:
Becoming Astrid (Swedia)
Film ini bercerita tentang masa muda Astrid Lindgren, penulis buku terkenal Pippi Longstocking. Kehidupan remaja Astrid berubah total ketika ia berselingkuh dengan editor surat kabar lokal tempat ia bekerja. Perselingkuhan yang berujung kehamilan dan kelahiran putra pertamanya (EoS, 2019).
Cold War (Polandia)
Film ini menyajikan kisah cinta penuh gairah antara Wiktor dan Zula pasca perang di Polandia. Mereka berdua memiliki latar belakang dan temperamen yang sangat bertolak belakang, namun ditakdirkan untuk satu sama lain. Berlatar belakang perang dingin pada 1950-an, Berlin, Yugoslavia dan Paris, Cold War mengisahkan sepasang kekasih dipisahkan oleh politik dan cacatnya karakter manusia - sebuah kisah cinta yang mustahil di masa sulit (Metacritic, n.d.)
Diamantino (Portugal)
Diamantino, bintang sepak bola yang kehilangan sentuhan magisnya dan mengakhiri karirnya dengan tercela. Untuk mencari tujuan hidup baru, ikon internasional ini mengembara. Dalam perjalanan sureal ini, ia berhadapan dengan neo-fasisme, krisis pengungsi, dan modifikasi genetik (Metacritic, n.d.)
Euthanizer (Finlandia)
Ketika Petri meminta Veijo, seorang montir merangkap pembunuh hewan peliharaan yang sakit, untuk membunuh seekor anjing sehat, Veijo malah memelihara anjing ini – keputusan yang memercik konflik antara Petri dan Veijo (EoS, 2019).
The Happy Prince (Jerman)
Film ini menceritakan hari-hari terakhir Oscar Wilde yang napas tilas masa lalunya dari mata ironi dan humor. Dulu ia adalah pria yang disukai dan dipandang di kota London, namun setelah cintanya terhadap Alfred Bosie Douglas diketahui masyarakat dan dianggap tidak senonoh, ia menjadi pria paling dikucilkan dan diasingkan. Happy Prince penuh dengan tulisan Wilde yang dibawakan Rupert Everett dengan sangat indah. (EoS, 2019)
I'm Not a Witch (Inggris Raya)
Shula, seorang anak yatim piatu berumur 8 tahun dituduh mempraktekkan ilmu sihir. Setelah menjalani sidang, ia dinyatakan bersalah dan kemudian diasingkan ke sebuah perkemahan penyihir di tengah gurun. Shula dipasung dengan pita pada sebuah pohon. Jika memotong pita ini, ia akan menerima kutukan dan berubah menjadi kambing. Shula yang dituduh penyihir ini menjadi objek eksploitasi wisata (Metacritic, n.d., dan EoS, 2019).
Mademoiselle Paradis (Austria)
Kisah nyata pianis berbakat Maria Theresia von Paradis yang kehilangan penglihatannya sejak kecil. Merasa terbebani kekurangan sang anak, orang tua Maria mempekerjakan Dr. Mesner untuk menyembuhkan Maria. Saat Maria mulai mendapatkan kembali penglihatannya, bakat musiknya perlahan sirna (EoS, 2019).
Sami Blood (Swedia)
Orang Sami adalah kelompok minoritas Skandinavia. Elle-Marja adalah salah satu dari mereka. Pada 1930-an, Elle dan adik perempuannya menempuh pendidikan di sebuah asrama yang mendiskriminasi orang Sami. Mereka percaya orang Sami adalah spesies yang lebih rendah dari manusia biasa (EoS, 2019).
There is No Place Like Home (Italia)
Sebuah keluarga besar kembali bersatu untuk merayakan ulang tahun pernikahan kake dan nenek mereka yang ke-50 di sebuah pulau terpencil. Ketika badai menimpa pulau ini, semua anggota keluar terdampar dan mengharuskan mereka tinggal di satu atap selama dua hari. Lama kelamaan mereka menjengkelkan satu sama lain (EoS, 2019).
Sink or Swim (Prancis)
Sekelompok pria paruh baya yang merasa pecundang membentuk sebuah tim renang indah dan mimpi ikut berlomba di kejuaraan renang indah dunia. Dalam perjalanan ini, di bawah pelatihan seorang pecandu alkohol dan disabel, para lelaki 'pecundang' ini menemukan kebersamaan, kepercayaan diri, dan semangat hidup kembali (EoS, 2019).
Bagi pecinta film dokumenter, EoS 2019 menghadirkan 16 film dokumenter, salah satunya They Shall Not Grow Old, yang menyajikan kehidupan tentara perang dunia pertama. Gambar-gambar bergerak dan statik di dokumenter ini asli dari masanya, dan untuk pertama kalinya bisa dilihat warga dunia setelah melalui restorasi, pewarnaan dan tekonologi tiga dimensi yang membuat rekaman sejarah ini terlihat nyata (EoS, 2019).
Festival film ini akan ditutup dengan film What Have We Done to Deserve This? pada 30 April di GoetheHaus.
Europe on Screen 2019 berlangsung dari 18-30 April dan bisa dinikmati di delapan kota di Indonesia: Jakarta, Denpasar, Surabaya, Yogyakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung dan Medan.
Jadwal selengkapnya: http://europeonscreen.org/films/