Dalam perjalanan hidup mungkin kita pernah membandingkan keluarga sendiri dengan keluarga orang lain. Mempertanyakan bagaimana kalau kita terlahir di keluarga mereka. Apakah kita akan menjadi orang yang sama? Apakah kita akan lebih bahagia? Namun kenyataannya kita tidak akan pernah tahu jawaban tersebut. Mungkin kita tidak lebih bahagia atau mungkin kita akan tetap membandingkan. Sejalan dengan pernyataan “Tidak ada satu manusia pun yang sempurna” begitu pula keluarga. Tidak ada satu pun keluarga yang sempurna.
Little Fires Everywhere
Setiap ibu memiliki caranya masing-masing dalam mengasuh anak. Tidak ada cara yang lebih benar atau salah sebab mereka berasal dari latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda-beda. Sehingga nilai yang mereka terapkan pada anak-anaknya tentu saja berbeda. Serial tv Little Fires Everywhere memperlihatkan berbagai macam pengalaman wanita menjadi seorang ibu dengan segala nilai kehidupan yang mereka punya. Para penonton akan menyaksikan perbedaan para ibu yang berasal dari kelas sosial, ras, serta masa lalu yang beragam. Baik ibu yang berada dalam kaum elit, ibu yang menjadi orang tua tunggal dan dalam komunitas kelas menengah, ibu yang kehilangan anaknya, hingga ibu yang memiliki anak dengan cara adopsi.
Perbedaan pola asuh yang mereka terapkan seperti menjadi sebuah refleksi di masyarakat kita di mana banyak perempuan yang telah menjadi ibu merasa lebih benar dengan pola asuh yang diterapkan. Padahal pola asuh di setiap keluarga tidak bisa dibandingkan karena setiap keluarga memiliki keunikan budaya yang ditanamkan di rumah masing-masing. Mom’s Wars, begitulah sebutan yang ada di masyarakat kita. Hal sepele seperti ibu berkarier dan ibu rumah tangga saja bisa menjadi topik untuk diperdebatkan. Padahal mereka mungkin tidak saling mengetahui kondisi seperti apa yang dialami di dalam rumah tangga ibu lainnya. Menyaksikan episode-episode serial tv ini bisa membantu kita untuk menumbuhkan rasa empati pada setiap ibu sebab mereka memiliki tantangan dan perjuangannya masing-masing dalam mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.
Succession
Banyak dari masyarakat kita mungkin sering bertanya-tanya seperti apa berada dalam keluarga super kaya dengan segala kekuasaan yang dimiliki dalam segi bisnis. Dalam serial tv Succession kita bisa belajar banyak tentang kekuasaan dan kekayaan tidak menjadi jaminan sebuah keluarga bahagia. Sebaliknya keluarga yang memiliki kekuasaan dan kekayaan mungkin saja justru memiliki masalah yang lebih besar dari pada keluarga biasa yaitu saling merebutkan tahta dan harta.
Walaupun tentu saja mereka tetap menunjukkan kepedulian mereka sebagai satu keluarga namun seringnya keterlibatan anggota keluarga satu sama lain bukanlah berdasarkan asas kekeluargaan lagi tapi mendasarkan segala perilaku dalam basis politik. Kemudian urusan keluarga dan bisnis bercampur aduk tanpa adanya pemisahan sehingga lambat laun menjadi bumerang dan mencerai-berai keluarga besar.
Sky Castle
Pendidikan di Korea Selatan menjadi satu aspek terpenting dalam hidup rakyatnya. Secara tidak langsung ini menciptakan budaya kompetitif yang amat besar di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat mereka. Pendidikan tinggi adalah sebuah keharusan bahkan seperti sebuah kewajiban juga untuk dapat masuk sekolah-sekolah bonafit. Hampir di setiap rumah anak-anak sedari kecil sudah mendapatkan momok untuk berpendidikan tinggi dan berprestasi. Apalagi anak-anak yang berasal dari keluarga kelas atas. Meski terlihat sesuatu hal yang lumrah namun ternyata tekanan terhadap anak-anak untuk mendapatkan pendidikan terbaik dan menunjukkan prestasi terbaik bisa menjadi masalah. Inilah yang diperlihatkan dalam serial tv Korea Sky Castle.
Setiap episode di dalamnya menunjukkan betapa orang tua yang berasal dari keluarga kelas atas mengedepankan gengsi mereka dengan memasukkan anak-anaknya ke sekolah bonafit. Cara apapun dilakukan demi mendapatkan gengsi tersebut. Walau harus menghancurkan mimpi anak-anak lain. Tanpa disadari mereka malah melupakan hal-hal esensial lain yang merupakan kebahagiaan anak mereka. Mendorong dan memaksakan anak-anak mereka untuk berprestasi, menciptakan budaya obsesif, ambisius dan kompetitif yang juga meracuni kehidupan anak-anak mereka. Akhirnya bukan kebahagiaan sejati yang didapatkan dari prestasi dan gengsi, justru tragedi di antara para keluarga elit terjadi.