Segala batas yang dapat dipungkas oleh teknologi, memungkinkan para profesional bermukim di sebuah desa kecil, sembari terus bisa berkarya dan mendunia.
Meski masih menjadi magnet yang menarik orang datang ke kota besar, ada kutub-kutub” kecil yang mulai saling bertolakan. Kutub-kutub yang malah menjauh dari keriuhan kota besar, memindahkan kesibukan dan kerja mewujudkan mimpi besarnya dari kota-kota kecil atau bahkan desa-desa terpencil, ditemani keheningan dan kebersahajaan lingkungannya.
Salah satu yang melakukan itu adalah desainer produk Singgih Susilo Kartono. Dari kota kecil di Jawa Tengah, ia mendunia dengan Magno, produk desain berbasis kayu yang ia gagas sejak selepas kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). “Saya sudah tertarik pulang ke desa sejak akhir masa kuliah. Pemikiran itu muncul karena saya punya beberapa teman di kampus yang masih tertarik pada masalah tentang kerakyatan sehingga pembicaraan tentang desa atau daerah nyambung. Sementara saya sendiri pada dasarnya nggak suka tinggal di tempat yang ramai, padat dan hiruk pikuk, dan panas karena saya berasal dari Temanggung, daerah yang relatif sejuk” kata Singgih. Meski Bandung terbilang sejuk, saat itu Singgih mengaku menganggap kotanya berkuliah itu padat dan ramai. “Saya tidak terlalu suka dan karena bayangan untuk pulang ke desa setelah kuliah tetap saja tersimpan dalam benak,” katanya.
Singgih tak sendiri. Sebab ruralisasi, gerakan untuk berpindah dari kota besar yang padat penduduk ke daerah yang lebih kecil dan lebih sedikit penduduknya, juga dilakukan oleh banyak orang. Setiap orang yag melakukan ruralisasi tentu memiliki alasan-alasan pribadi, seperti misalnya Singgih yag tak suka dengan keramaian kota dan yakin bahwa di desa, ia bisa dengan mudah memperoleh bahan baku buat karya karya desainnya. Atau misalnya Hijrah Saputra, seorang penggerak komunitas kreatif di pulau Weh Sabang, yang memutuskan pulang kembali ke kampung halamannya seusai menyelesaikan kuliah di Malang. “Saya melihat ada potensi besar yang bisa dikembangkan, hanya saja tidak banyak yang memulai dan memberikan contoh untuk membuat pergerakan, memang mulanya saya memulai perubahan dari diri saya dan lingkungan di sekitar saya, memulai dari hal yang saya sukai, desain grafis dan produk kreatif di bidang pariwisata,” Hijrah mengungkapkan alasannya melakukan ruralisasi.
Kejenuhan terhadap kejumudan kota besar dan keinginan untuk mengembangkan desa merupakan dua alasan valid yang bisa menyebabkan seseorang melakukan ruralisasi. Harga lahan yang terus meningkat di kota besar, juga menjadi salah satu alasan lain yang kerap membuat orang berpindah dari kota besar ke desa atau kota yang lebih kecil. Di samping itu, biaya hidup yang lebih murah serta suasana yang lebih tenang, serta kenangan masa kecil tentang desa juga menjadi daya tarik lain dari ruralisasi.
Bagi Singgih, keinginan untuk kembali ke kampung halamannya sangat kuat karena ia merasa yakin akan bisa memiliki peluang lebih besar untuk mengembangkan perusahaan desainnya di Temanggung. “Selain bahan baku lebih mudah didapat, biaya hidup yang lebih rendah daripada di kota besar juga memungkinkan biaya investasi yang dikeluarkan bisa lebih rendah juga,” katanya.
Berbeda dengan Singgih yang optimistis memulai kiprahnya dari Temanggung, Hijrah mengaku agak sedikit khawatir memulai kiprahnya di kampung halaman. “Di kota, kita lebih mudah mendapatkan fasilitas yang mempermudah banyak hal, belum lagi kesiapan sumberdaya manusia di daerah terkadang masih belum bisa mengikuti apa yang ingin saya capai,” katanya. Namun keinginannya untuk membantu menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik, membuatnya tak surut langkah. Meski sempat mendapat tentangan karena ide yang ingin ia terapkan dalam pengembangan pariwisata di Sabang terbilang baru dan masih dianggap aneh.
Namun keduanya berhasil membuktikan bahwa dari sudut paling terpencil pun, mereka tetap bisa membuat pencapaian-pencapaian berarti yang tak hanya mengangkat nama mereka, namun juga masyarakat di sekitar mereka.