Ada sesuatu yang magis dari alam. Setidaknya itu yang saya rasakan. Habitat saya boleh Jakarta — hutan beton dengan bunga kelap-kelip. Tapi rumah menjadi oasis yang sudut-sudutnya rimbun dengan dedaunan besar kecil dan ranting yang dibiarkan liar berpucuk rona bougainvillea yang mencerahkan suasana. Ada sesuatu yang magis memang dari alam. Rara Sekar pun setuju. Selain menjalani profesi sebagai peneliti, pendidik, dan musisi, dia juga seorang pekebun. Saya sangat menikmati bercakap bersama dia. Dia cerita, dari berkebun, ia merawat tubuh dan pikirannya. Dalam berkebun, ia menemukan keheningan dan titik tenang. Dan karena berkebun, ia menyadari salah satu kunci kesetaraan dan persaudaraan antar manusia.
Marissa Anita (M): Bagaimana awal kamu tertarik berkebun?
Rara Sekar (R): Awal aku tertarik waktu aku sekolah di New Zealand di 2016. Di New Zealand, ternyata hobi nomor satu masyarakatnya adalah berkebun. Hobi satu bangsa! Hahaha. Itu membuatku sama suami, Ben (Laksana), banyak memperhatikan bagaimana mereka menjalani kegiatan berkebun dalam keseharian mereka. Di sana, masyarakatnya benar-benar menekuni berkebun sampai jadi moda pertukaran dalam relasi sosial mereka.
Misalnya dulu waktu kuliah aku datang ke bimbingan, dosen pembimbingku akan bilang “Eh, aku ada bayam dan tomat nih dari kebun baru panen. Ini buat kalian." Terus kita jadi mikir, “Kok, orang-orang sudah sangat terbiasa dengan pola pertukaran seperti ini?” Sedangkan aku sama Ben waktu itu belum terlalu paham karena kita berdua anak [ilmu] sosial kan. Bukan yang benar-benar paham banget cara bertani dan bercocok tanam tapi ingin belajar karena kita merasa ketinggalan dan nggak bisa ikut serta dalam pola pertukaran yang sangat penting untuk bisa masuk ke masyarakat New Zealand saat itu. Menanam organik, tidak menggunakan pestisida kimiawi, dan bertukar benih sudah menjadi hal yang biasa juga di sana.
Bahkan di sana, di setiap RT ada kebun komunal — tanah yang disediakan pemerintah untuk diolah komunitas setempat. Mereka bisa berbagi lahan. Ada lahan yang digunakan untuk tanaman makanan yang nantinya dibagikan ke beberapa organisasi yang membutuhkan seperti Kaibosh Food Rescue. Dia itu organisasi yang ngumpulin sisa-sisa makanan dari kafe yang masih bagus. Food waste (makanan yang tidak dihabiskan) banyak banget kan dari coffee shop, supermarket, atau restoran, dan makanan yang masih oke pastinya; termasuk hasil dari kebun komunitas ini diolah menjadi makanan dan dikasih ke shelters. Jadi shelters itu nggak pernah kekurangan bahan makanan.
Tanah ini disediakan pemerintah kota. Lahan cukup berlimpah untuk masyarakat. Banyak masyarakat yang tinggal di perkotaan, apartemen, rusun nggak punya akses ke lahan, tapi mereka bisa menyewa kebun kolektif. Jadi misalnya aku berbagi lahan sama Mbak Marissa, 2x2 meter, kita berbagi satu plot tapi tanam bareng-bareng. Kebun kolektif bisa juga jadi tempat belajar dan biasanya ada pimpinan komunitasnya. Pengurusnya suka ngadain workshop (loka karya). Ada juga bank benih buat kita ambil benih. Dari situ kita juga belajar ikutan panen raya setiap berapa bulan sekali. Ini panen raya di kota, lho, di Wellington, bukan di pedesaan. Kebetulan di komunitas berkebun dekat rumah kita, ada satu koki dari Le Cordon Bleu.
M: Wow.
R: Dia secara sukarela masakin fine dining (makanan biasanya disajikan secara formal di restoran mahal) untuk siapa aja. Di panen raya juga ada pertunjukan musik dari band lokal, waktu itu ada band gipsi. Kita jadi belajar, ternyata berkebun itu bukan cuma sesuatu yang teknis, bukan hanya dekoratif, tapi juga sesuatu yang sosial dan berhubungan dengan komunitas, ketahanan masyarakat dan lain-lain. Itu yang bikin aku sama Ben semangat belajar lebih banyak karena kita belajar banyak dari berkebun.
M: Ternyata berkebun itu menjadi salah satu aktivitas yang membuat manusia terhubung dan manusia bahagia ketika merasa terhubung. Kamu pernah bilang berkebun ada filosofinya. Apa yang kamu rasakan ketika berkebun?
R: Aku dan Ben menemukan sisi spiritual dari berkebun. Pemaknaan ini berubah-ubah terus memang. Waktu kami awal berkebun, ini jadi momen hening yang sangat penting untuk kita karena biasalah stres sekolah. Mbak Marissa juga tahu lah, ya.
M: Hahaha.
R: Mau meledak! Hahaha. Belum nangis-nangisnya, mengalami kebuntuan-kebuntuan intelektual. Nah, berkebun itu jadi semacam sarana untuk menenangkan air yang riuh. Aku pagi-pagi berkebun, biasanya pas ada sinar matahari. Kalau Ben mah keluar kapan aja — mau dingin mau basah — dia paling militan berkebunnya. Hahaha. Ketika kita berkebun, kita menemukan momen hening karena ketika kita sedang berkebun, kita nggak melakukan hal lain, mencoba untuk tidak membagi pikiran dan kegiatan dengan hal-hal lain. Kalau lagi berkebun memang harus fokus berkebun, dan ketika kita berkebun jadi lebih sadar tentang apa yang ada di sekeliling kita. Aku jadi jauh lebih sadar tentang beragamnya serangga dan hewan-hewan yang ada di sekitarku. Dulu mungkin kayak “Oooh” selewat aja, terus lihat semut, injak. Justru sekarang “Oooh, kupu-kupunya kok warnanya hijau ya?” Jauh lebih atentif sama sekitar.
Ketika kita berkebun jadi lebih sadar tentang apa yang ada di sekeliling kita.
Selain itu juga ada sesuatu yang berbeda dengan menyentuh tanah dan menginjak tanah setiap paginya atau setiap harinya. Sering kita ditanyain, “Kenapa kalian nggak hidroponik?” Karena di Indonesia lebih lumayan ramai skema ini. Aku sama Ben bilang, “Nggak tahu kenapa, ada yang beda dengan menyentuh tanah sih. Ada sesuatu yang lebih manusia, mempertegas relasi kita dengan alam.” Bahwa kita adalah bagian dari alam ketika kita menyentuh tanah itu. Selain momen hening, ada juga momen takjub kali ya sama cara kerja alam. Itu sepertinya kesadaran yang sangat penting. Kita kerja di Jakarta semua cepat, semua serba instan, semua serba sudah jadi, sering kali kita lupa untuk takjub lagi sama dunia dan kehidupan. Berkebun ngasih ruang itu sih. Nggak takjub terus-terusan juga sih... Kadang marah-marah, kesel-kesel karena “Lho, kok gagal?” Hahaha.
M: Kamu ingat nggak apa yang pertama kali kamu tanam? Prosesnya seperti apa? Perasaan kamu waktu itu seperti apa?
R: Tanaman pertama aku lupa. Tapi aku ingat waktu aku dan Ben lagi semangat berkebun banget, di kontrakan kita berbagi satu lahan dengan tetangga di atas. Kita tinggal di sebuah rumah kayu. Tetangga kita memelihara ayam, kita yang berkebun. Di belakang rumah ini ada hutan kota. Ada lahan cukup besar yang nggak dipergunakan tapi pernah ditanami sama penghuni yang dulu. Aku dan Ben membereskan tanah itu dan yang kita panen pertama itu kentang merah, tapi bukan kita yang tanam. Kita lagi gali-gali tanah terus panen kentang merah kecil-kecil, kayak menemukan harta karun! Di sana juga sudah ada beberapa herbs (rempah) yang ditanam sama penghuni sebelumnya. Salah satu tanaman yang berhasil dan kita bereksperimen banyak waktu di New Zealand adalah kale (jenis sayuran hijau kadang keunguan yang sangat bernutrisi bagi tubuh). Ketika di musim dingin, kale itu rasanya beda, jauh lebih renyah dan lebih manis. Kalau di Indonesia, menanam kale jatuhnya lebih berair, lebih hambar rasanya, dan tanamannya letoy (lunglai — red.) dan panjang. Di sana, kering dan besar seperti dinosaurus. Aku sampai kayak petani kale sama Ben setiap hari bisa panen. Mungkin kalau di Indonesia kita sudah kaya banget jualan ini, ya. Sebelumnya kita nggak pernah makan kale di indonesia. Kale itu superfood yang sehat sekali. Bisa dibikin keripik dan lain-lain.
M: Menanam di Indonesia, kamu sudah menghasilkan apa saja, Rara?
R: Kami tinggal di Bogor sekarang. Di sini kami tinggal di perumahan baru dengan kondisi tanah merah, tanah pembangunan. Ben selalu bilang bahwa tanah merah itu nggak ada nutrisinya, jadi sangat sulit untuk ditanami kalau kita tidak mengolah tanahnya dulu. Memang bercocok tanam itu yang paling penting dan paling fundamental adalah melihat kesehatan tanah. Membuat tanah menjadi gembur itu nomor satu, kemudian baru memeriksa daunnya kenapa dan lain-lain. Justru biasanya penyakit-penyakit pada tanamanan itu sumbernya dari tanah yang buruk. Cocok sama manusia ya? Kalau nutrisi yang kita dapatkan buruk, lingkungan kita buruk, ya kita akan jadi buruk juga.
Kalau nutrisi yang kita dapatkan buruk, lingkungan kita buruk, ya kita akan jadi buruk juga.
Kita mengolah tanah setahun pertama, mencoba-coba tanaman-tanaman. Kita bawa benih dari New Zealand dan mencoba menanam di Indonesia nggak ada yang tumbuh karena beda banget iklimnya. Kita di sini awalnya menanam okra. Okra kebetulan bagus banget di sini. Kemudian bayam hijau, bayam merah, dan kemangi.
Setelah itu kita juga berkenalan dengan iklim di Bogor. Bogor itu kan basah banget, ya. Namanya kota hujan, sangat-sangat lembab iklim dan cuacanya. Mencari tanaman yang bisa bertahan dengan air hujan yang tingkatannnya badai setiap hari lumayan susah. Tanam tomat gagal karena busuk. Tanam terong gagal juga. Hahaha. Belum lagi kita banyak hujan angin segala macam. Banyak sekali gagalnya, baru sekarang kita bisa mengidentifikasi apa saja yang bisa bertahan dan hidup.
Dulu cuma menanam di dalam rumah yang sekarang dibuat jadi bedeng. Sekarang-sekarang di luar rumah, kita juga bikin semacam food forest (hutan makanan) yang konsepnya seperti kebun kolektif gitu. Kebun ini di luar rumah, jadi tetangga boleh mengambil bebas aja. Tadi pagi, kata Ben, tetangga sebelah ambil daun ginseng. Kadang kita berbagi benih dengan tetangga-tetangga di sini juga, mulai bereksperimen dengan mereka. Selain daun ginseng, rimpang-rimpangan juga banyak. Kita lagi panen jahe banyak banget, pas lagi corona.
M: Pas banget. Jadi nggak usah beli.
R: Harganya sekarang sudah berapa? 200 ribu per kilo? Kita juga tanam kunyit, kecipir, jambu kristal, lemon, jeruk nipis, buah ara, rosella dan bunga yang lagi hits banget, bunga telang. Cabai pasti lah ya, cabe-cabean. Hahaha. Kemudian serai. Rempah juga banyak cuma harus bikin ulang karena kemarin kebanjiran, jadi sekarang menanam di pot. Dari hasil ini, selalu ada yang dimakan. Tapi kita nggak 100% makan dari hasil kebun dan nggak berencana untuk sepenuhnya makan dari hasil kebun. Karena menurutku, kalau sepenuhnya self-sustained (mandiri) jadi menghilangkan aspek sosial dari berkebun itu sendiri.
M: Maksudnya?
R: Menurut aku, kita nggak bisa menanam semuanya sendiri. Aku nggak bisa menanam padi sendiri lah ya pastinya. Justru aku ingin mendukung petani lokal yang menghasilkan beras yang baik dan tidak menggunakan pestisida. Dan aku ingin dukung bisnis dia. Dependensi ini baik karena kita memang nggak bisa hidup sendiri dan benar-benar bergantung pada diri sendiri. Dan menurutku itu terlalu egois, sih. Meski bagus kita punya keberlimpahan tapi tujuan dari keberlimpahan itu harus sesuatu yang sosial dalam artian berbagi, bertukar, dan lain-lain.
Dependensi ini baik karena kita memang nggak bisa hidup sendiri dan benar-benar bergantung pada diri sendiri.
M: Berapa persen kebutuhan panganmu sehari-harimu yang dihasilkan sendiri?
R: Sekarang di Indonesia, nggak banyak, di bawah 50%. Tapi tergantung gaya hidup sih. Kalau kayak sekarang, kita (lagi diwajibkan) di rumah seperti (karena COVID-19) ya jadi banyak yang bisa dimakan, karena nggak bisa keluar kan. Jadi ya, makan aja semuanya. Tapi waktu di New Zealand, mungkin 80% lho. Karena waktu itu kita makan banyak plant-based (makanan nabati), jadi kalau salad sudah pasti nggak pernah beli. Kita bisa panen setiap minggu tuh, bisa tiga sampai lima bungkusan, masukin lemari es terus kita makan. Waktu itu kita panen zucchini banyak banget dan satu zucchini tuh segede paha. Hahaha.
M: Ya, ya. Aku juga ingat. Waktu kuliah di Inggris (2016-2017), ibu mertua juga panen zucchini gede-gede banget. Hahaha.
R: Ya kan? dua minggu makan zucchini. Waktu di New Zealand kita nggak menanam padi pastinya. Kentang juga masih beli. Tapi kalau sayur hijau, bahkan lauk seperti zucchini atau tomat, ambil dari kebun. Jadi kita dulu cuma ke pasar untuk beli yang nggak ada di kebun. Kita juga dapat telur dari tetangga karena kita bantu urus ayamnya juga. Jadi dia ambil kale, kita dia kasih telur. Sekarang belum punya ayam sih, jadi telur masih beli. Hahaha. Tapi kalau di Indonesia lebih sulit, terutama dengan gaya hidup yang berbeda juga — hasrat untuk pesan makanan diantar ojek online. Hahaha.
M: Kamu vegetarian atau vegan?
R: Dulu kita ketat vegetarian sejak tahun 2011. Terus baru tahun lalu (2019) aku dan Ben harus jadi fleksitarian (mengonsumsi lebih banyak sayuran, namun sewaktu-waktu makan makanan hewani) karena pekerjaan. Di Indonesia, pekerjaan aku dan Ben mengharuskan kami keliling Indonesia untuk waktu yang lama — dua minggu di Papua, dua minggu di mana lagi, jadi agak sulit untuk tetap menjaga kesehatan dengan plant-based (makanan nabati) yang ada di daerah-daerah yang kami datangi. Jadi akhirnya aku sama Ben memutuskan fleksitarian sementara dengan pola hidup atau kerja seperti ini. Tapi sebenarnya kalau di rumah ya pada umumnya plant-based yang kita makan.
M: Kamu 50% makan dari hasil kebun sendiri. Kalau aku bayangin, makan dari hasil kebun sendiri itu rasanya enak banget. Kamu merasakan itu nggak? Atau itu sebetulnya imajinasi kita sendiri aja?
R: Betul kok. Hahaha. Aku merasa hal-hal yang ditanam sendiri lebih enak rasanya. Karena (1) organik (2) misal tomat yang matang di pohon beda banget rasanya sama tomat yang dijual di pasar. Karena biasanya mereka memetik atau panen tomat itu sebelum tomatnya belum matang 100%, jadi biasanya rasa (tomat matang pohon) lebih manis dan lebih meledak di mulut gitu. Mungkin ada semacam kepuasan juga karena mengalami prosesnya, bahwa yang kita tanam bukan sekedar makanan yang ada di etalase atau di supermarket, tetapi sesuatu yang sudah kita kasih perhatian, kasih makan, membuat kita disiplin memberikan waktu kita untuk mereka, jadi itu sangat terbayar pas kita makan.
M: Film dokumenter Semesta yang diproduseri Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin mengangkat tentang koneksi yang putus antara kebanyakan masyarakat kota dengan alam. Nah, untuk mulai kembali menyambung yang putus ini, misalnya orang kota mau mulai bercocok tanam, kita harus mulai dari mana dan bagaimana caranya?
R: Caranya banyak, banyak, banyak. Aku juga orang kota, ya. Aku anak kota banget. Kalau Ben mungkin nggak terlalu karena dia besar di Dramaga. Dia waktu kecil masih main di sungai segala macem. Ada ular di rumahnya, bukan piaraan lagi. Gaya hidup seperti ini (berkebun) dekat dengan dia.
Kalau kita nggak punya lahan, banyak cara untuk memiliki atau membangun kembali koneksi dengan alam. Pertama, kalau kita punya balkon, kita bisa menanam di pot-pot. Kita tetap bisa punya pilihan untuk memberi ruang bagi alam untuk hadir dalam keseharian kita.
Kedua, kalau pun kita nggak punya lahan, banyak cara untuk “merebut lahan”. Menurutku berkebun itu bisa menjadi sesuatu yang sangat politis, dalam artian berhubungan dengan kebutuhan publik. Di New Zealand, kita juga terpapar satu komunitas bernama Radical Gardeners. Mereka mencoba “merebut” lahan lahan tidur yang sia sia — lahan yang mati dihidupkan kembali, digunakan untuk kebutuhan bersama atau kolektif. Di Jakarta banyak banget lahan kosong, biasanya punya orang kaya banget atau TNI. Di Kemang banyak banget, di Menteng juga banyak. Bayangkan kepadatan penduduk di daerah-daerah tersebut dan kalau lahan-lahan itu bisa kita “rebut” untuk dijadikan kebun. Kita bisa tanya ke pemerintah provinsi adakah lahan yang bisa kita alihfungsikan sementara untuk kebutuhan publik dan seharusnya mereka terbuka untuk itu.
Lahan itu bisa digunakan dengan pendekatan berbagi plot untuk masyarakat berkebun bareng. Masalahnya apakah keinginan masyarakat sudah sebegitu kuatnya untuk menciptakan ini. Ini yang harus dibangun, kan? Harus datang dari pengetahuan. Aku sangat setuju dengan cara-cara seperti itu dan kayaknya kita harus mulai. Aku sih mulai dari kompleks perumahan dulu ya. Aku mulai dari yang terdekat aja.
Cara lain mulai mendekatkan diri dengan alam, bikin trip ke hutan kota dan benar-benar mencoba mengganti perspektif kita tentang hutan kota bukan sekedar jadi tempat selfie, tapi benar benar memperhatikan ada apa aja di sana, keindahannya, dan cara kerja alam seperti apa. Perlu ada orang yang membimbing kita untuk bisa melihat ini dengan kacamata baru. Misal Hutan Kota Srengseng di Jakarta. Kita bisa dapat pengalaman berbeda ketika kita diberi pengetahuan dan kerangka berpikir bahwa alam itu luar biasa dan kita adalah bagian dari dia. Kita bisa lebih mendalami relasi ini.
Alam itu luar biasa dan kita adalah bagian dari dia
M: Kamu waktu kuliah di New Zealand ambil jurusan Antropologi Kultural yang intinya mempelajari manusia. Dalam pandangan kamu, 10-20 tahun terakhir, manusia dan permasalahan yang dihadapinya di Indonesia dan dunia itu seperti apa?
R: Susah untuk membuat pernyataan sapu jagat. Tapi kalau dari pengalaman sekitarku saja, aku merasa cara kita melihat dunia dan relasi manusia dengan alam itu masih sangat antroposentris dalam arti pusat peradaban itu manusia.
Dengan pola pikir seperti ini, kita menghalalkan eksploitasi besar-besaran — seakan eksploitasi seperti ini menjadi hal yang normal dan sudah seharusnya. Sekarang kita baru menuai hasilnya bahwa ternyata cara kerja lama yang kita lumrahkan ini membuat kita tidak bisa bertahan hidup, memiliki hidup yang layak.
Cara pandang antroposentris ini juga sangat classist (berdasarkan kelas sosial). Orang yang punya modal, orang kayak aku dan Mbak Marissa, kita punya modal-modal. Kita diberkahi banyak modal: bisa punya rumah; bisa memilih rumah di mana, (kalau mau) kita bisa kabur kalau ada sesuatu; kita punya mobilitas dalam dan luar negeri yang tinggi. Kita gampang sekali menghindari persoalan-persoalan atau wabah-wabah apa pun atau isu-isu yang ada di sekitar kita, tapi orang-orang yang paling tidak punya modal adalah mereka yang sangat-sangat dirugikan.
Misal isu sampah, pekerjaan tukang sampah adalah pekerjaan yang sangat berbahaya terutama ketika mereka nggak dilengkapi dengan alat pengaman. Berapa banyak kasus, teman teman pemulung terpapar penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pernafasan, atau ketusuk jarum suntik bekas limbah rumah sakit. Akhirnya mereka yang dirugikan dari cara kerja atau cara hidup kita yang eksploitatif dan hanya memikirkan kita sendiri; tidak memikirkan bagaimana bisa menciptakan sebuah keseimbangan dengan ketersediaan sumber daya untuk kehidupan ini.
Aku rasa berkebun bikin aku banyak mikir tentang relasi eksploitatif itu. Aku jadi mikir, “Sebenarnya banyak yang sudah terberi. Kita berupaya untuk memberi kembali, mengupayakan untuk menggunakan tanah atau modal-modal kita untuk menciptakan keberlimpahan untuk dibagi dengan orang lain.”
Aku jadi banyak bertanya karena berkebun, meski tidak menemukan jawabannya langsung. Aku bisa nonton seribu dokumenter di Netflix tentang alam tapi kalau aku nggak mengalami sendiri kesadaran itu, (kita, manusia lain, dan alam) akan tetap berjarak. Mungkin berkebun salah satu medium untuk menemukan relasi yang tidak eksploitatif, untuk menjadi lebih memelihara, lebih “keibuan” — energinya sangat feminis, ekofeminis. Ini harapanku. Mungkin berkebun bisa menjadi salah satu harapan buat orang-orang kota, orang-orang metropolitan yang merasa terputus dengan alam.
Aku jadi banyak bertanya karena berkebun, meski tidak menemukan jawabannya langsung.
M: Mmm... menarik. Merawat tanaman atau berkebun bisa menumbuhkan perasaan-perasaan kasih dan harapannya akan membuat cara kita melihat sesama manusia lebih sejajar. Begitu kira-kira, ya?
R: Ya. Aku kasih contoh, aku sama Ben lagi bereksperiman di kompleks kami — menggunakan berkebun sebagai cara untuk membangun komunitas. Beberapa hal sudah terjadi: misalnya kita punya sistem kompos. Tiap rumah punya ember bekas cat bekas untuk menaruh sampah organik. Kita mempekerjakan satu orang untuk membuang sampah kompos ke lubang kompos atau Banana Circle di belakang kompleks. Sampah ini lama-lama jadi kompos yang bisa dipakai siapa aja yang sedang berkebun atau yang membutuhkan.
Ada eksperimen lain. Kita sering lari pagi di kompleks, akhirnya kenalan sama tetangga. Kalau kita amati, kompleks rumah kita adalah mikrokosmos dari Indonesia, sangat beragam. Tidak ada yang punya ideologi, kepercayaan, atau cara melihat hidup yang sama semua.
Contoh, tetangga kita, bapak-bapak yang kalau dilihat dari penampilannya, hiasan rumahnya, dari luar bisa terlihat dia berbeda latar belakang agama dan mungkin juga ideologi dari kita. Tapi kita lihat juga, dia berkebun.
Aku dan Ben mencoba untuk selalu berusaha membagikan hasil panen kecil-kecil kayak kacang panjang, atau apa lah dengan bapak-bapak yang mungkin, kalau di dunia maya, kita pasti sudah penuh prasangka, sudah pengen marah-marah, atau kita biasanya langsung menghakimi orang itu hanya karena dia berbeda dengan kita.
Suatu saat Ben lari pagi, kasih kacang panjang ke dia, besoknya mereka gantian kasih kami sesuatu dan sampai sekarang nggak pernah berhenti. Setiap saat selalu ada momen di mana kita bertukar hasil dan jadi malah kenal. Akhirnya jadi jauh lebih membangun kepercayaan antar sesama. Ini langkah yang penting karena seringkali kita sebagai masyarakat kota nggak kenal tetangga sendiri. Bagaimana kita mau peduli sama orang lain?
Seringkali kita sebagai masyarakat kota nggak kenal tetangga sendiri. Bagaimana kita mau peduli sama orang lain?
Dengan berkebun ternyata kita bisa kenalan. Dari percakapan sesederhana “Pak Ben, itu lagi menanam apa? Itu bisa dimakan ya?” “Oh, bisa pak/bu. Mau coba?” Jadi dekat. Membangun kepercayaan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang punya ketahanan. Kalau kita nggak punya rasa percaya dengan tetangga kita, gimana dalam kondisi krisis? Kita bisa bertahan? kita mau hidup sendiri? Nggak bisa.
Aku rasa bercocok tanam, selain kita mengasihi tanaman itu dan mengasihi diri kita sendiri dengan menanam yang terbaik untuk tubuh kita, kita juga belajar untuk mengasihi orang lain.
Nggak pernah menyangka di umur 30 ini, berkebun memberi aku dan Ben kesempatan untuk belajar tentang kasih. Bukan lewat musik malah. Sesederhana itu.
Membangun kepercayaan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang punya ketahanan.
M: Banyak keuntungan dan sisi positif dari berkebun. Nah, ada orang yang bilang bahwa dia nggak punya bakat menanam. Pokoknya tanaman di tangan dia mati aja. Ada saran, Rara?
R: Pertama, berkebun itu memang lebih banyak kegagalan dari keberhasilan. Jadi, santai aja. Hahaha. Aku dan Ben nggak percaya dengan adanya tangan dingin. Yang aku tahu dan kita sangat percaya adalah pengetahuan. Kita sudah diberkati dengan pengetahuan. Ketika kita gagal menanam mungkin karena tidak tahu. Aku dan Ben membuktikan itu. Waktu di New Zealand, banyak gagalnya. Kita pikir ada tanah, ada tanaman, tinggal tancap. Hahaha. Tapi akhirnya kita pinjam buku-buku Pertanian Organik, Berkebun Organik, Cara Membuat Kebun Sayur Sendiri di Rumah dan segala macamnya. Dan dari ilmu pengetahuan ini, ternyata kita menemukan tanaman itu membutuhkan perlakuan yang khusus tergantung tanamannya apa. Membuat tanah gembur ada ilmunya, komposisinya seperti apa yang membuat tanaman itu bisa lahir; setelah itu tempat kita menanam, apakah dapat sinar matahari dan dapat berapa jam, mataharinya pagi siang atau sore, curah hujan seperti apa. Hal-hal teknis memang. Kayak kita mau foto tapi nggak tahu cara pakai kamera. Sebenarnya mirip.
M: Hahaha. Banyak lho, ponsel punya kamera bagus dan aplikasi filter yang bikin keliatan 'cling'...
R: Hahaha. Aku selalu menyarankan orang, mungkin kita kurang bertanya, kurang baca, kurang tahu aja, jadi kita perkaya diri dengan pengetahuan. Gunakan itu untuk jadikan pengalaman. Dalam pengalaman pasti ada kegagalan, kita belajar banyak dari kegagalan, tapi ya coba terus.
Ben selalu bilang untuk melawan cara kerja dan cara hidup yang serba instan, di sini kita harus menghargai proses dan harus melalui proses. Hidup adalah proses. Dan ini bukan cara kerja dunia hari ini, ya, di saat semuanya menginginkan segalanya cepat langsung tumbuh, langsung berhasil.
Cari ilmu bisa juga langsung bertanya ke petani. Mereka pengetahuan tubuhnya (pengalamannya) itu jauh lebih kaya daripada buku-buku apa pun kadang, lho. Kita harus hormat pada pengetahuan yang mereka miliki selama bergenerasi. Mereka sudah merespon alam jauh lebih lama dari kita. Pendekatan seperti ini yang harus kita punya. Baru kalau gagal banget nih ya, ya sudah lah, mungkin bukan jalan ninjanya jadi tukang kebun. Hahaha. Tapi nggak mungkin. Pasti bisa. Pasti bisa karena bayam dan kangkung tuh di Indonesia sudah pasti tumbuh.
Untuk melawan cara kerja dan cara hidup yang serba instan, di sini kita harus menghargai proses dan harus melalui proses.