Society Planet & People

Bercakap Bersama: Nicholas Saputra

Setelah lebih dari satu dekade menjadi aktor, ia kini mengenakan topi produser dalam film dokumenter bertemakan lingkungan, Semesta. Saya bercakap bersama Nicholas Saputra, bertukar pikiran tentang terputusnya kita masyarakat kota dengan alam; dan bagaimana menjalankan agama, kepercayaan, dan adat dengan baik menjadi kunci kesehatan Ibu Bumi dan kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup di dalamnya.

Marissa Anita (M): Nic, apa yang kamu mau ceritakan dengan Semesta?

Nicholas Saputra (N): Di film dokumenter ini, kita berbicara soal lingkungan hidup melalui sudut pandang yang sedikit lain dan mungkin belum terlalu banyak dibuat dalam format film — berbicara tentang lingkungan hidup, tentang perubahan iklim melalui sudut pandang agama, budaya dan kepercayaan yang ada di Indonesia.

M: Semesta dibuat sejak dua tahun lalu. Adakah suatu kejadian dalam hidupmu yang mendorongmu membuat film ini?

 N: Sebenarnya kepedulian atau kegelisahan tentang isu-isu lingkungan ini sudah ada di saya sejak lama. Saya banyak bekerjasama dengan pihak-pihak dengan visi yang sama selama lebih dari sepuluh tahun. Saya ingat pertama kali berkenalan dengan dunia (lingkungan ini  saat di Aceh pascatsunami. Saya bertemu dengan beberapa NGO (organisasi nirlaba). Mereka saat itu melakukan sesuatu sangat menarik. Mereka mendekati ulama-ulama atau ustadz-ustadz supaya di dalam ceramahnya menyinggung persoalan lingkungan hidup. Ini sudut pandang yang sangat menarik karena agama itu sangat penting bagi orang Indonesia. Kenapa tidak kita bicara melalui sudut pandang itu. Saya juga penasaran, ada nggak sih orang-orang yang melakukan sesuatu untuk lingkungannya berdasarkan agama atau kepercayaan yang mereka punya?

M: Ada tujuh sosok yang diangkat dalam Semesta. Ceritakan siapa mereka dan apa yang mereka lakukan untuk menjaga lingkungan hidup?

 N: Tujuh sosok kita ikuti kesehariannya. Yang kita soroti adalah bagaimana mereka melakukan sesuatu terhadap lingkungannya berdasarkan agama atau kepercayaan yang mereka punya. Salah satunya adalah Pak Iskandar Waworuntu dari Yogyakarta. Beliau memiliki tiga hektar lahan yang dia olah menjadi sebuah sistem di mana mereka makan apa yang mereka tanam. Permakultur namanya. Mereka punya sapi dan kambing, kotorannya dipakai untuk pupuk. Semua limbahnya tidak ada yang terbuang. Kotoran disaring lagi untuk menjadi air bersih untuk menyiram tanaman. Jadi beliau tidak mau ada yang waste (limbah).

M: Jadi gaya hidup nol limbah?

 N: Ya. Menurut beliau penting sekali meniadakan limbah. Tuhan sudah ciptakan untuk kita pakai semua, tinggal bagaimana kita mengelolanya. Semua ada manfaatnya. Ini yang beliau terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pak Iskandar juga punya warung makanan yang semuanya organik dan semua diperlakukan dengan sangat baik. Di Semesta, kita tidak hanya mengangkat soal bagaimana beliau mengelola perkebunannya, tapi juga bagaimana beliau menerapkan sebuah prinsip yang sangat penting tapi jarang orang bahas yakni ‘thoyib’. ‘Thoyib’ tidak terpisahkan dari ‘halal’. Jadi harus ‘halal’ dan ‘thoyibah’ — halal dan baik. Baik buat lingkungan dan buat masyarakat di sekitarnya. Menurut beliau, ini adalah prinsip yang sangat Islami.

Ini salah satu contoh bagaimana agama dan kepercayaan bisa diterapkan dalam menjaga lingkungan. Sangat esensial untuk kita bisa berdamai dengan alam, hidup berdampingan dengan alam dengan baik.

Agama dan kepercayaan bisa diterapkan dalam menjaga lingkungan.

M: Kerusakan lingkungan semakin lama semakin cepat, demi memenuhi target pertumbuhan keuntungan korporasi yang setiap tahun terus meningkat, dan kebutuhan populasi dunia secara umum. Kalau melihat kecepatan kerusakan ini, apakah ini berarti masih banyak manusia belum paham betul pentingnya hidup berdampingan dengan alam?

 N: Menurut saya ada berbagai macam permasalahan. Kita sedang mengalami masalah yang besar yakni krisis ekologis. Kita mengalami climate emergency (darurat iklim), nggak cuma climate change (perubahan iklim) atau climate crisis (krisis iklim). Salah satu faktor ini terjadi karena masyarakat urban seperti kita terputus dengan alam. Sementara masyarakat di pedesaan akan benar-benar merasakan perubahan ketika mereka salah memperlakukan alam sekitarnya.

M: Contohnya?

 N: Misal ada satu bukit yang mereka tebang, daerah itu langsung panas, airnya berkurang, banjir — cepat sekali terjadinya dan mereka bisa merasakan langsung. Kita di kota, panas dikit nggak masalah karena ada AC. Kita orang urban bisa melakukan segala macam teknologi [untuk menghindari ketidaknyamanan karena kerusakan lingkungan]. Kita yang tinggal di kota besar terputus dengan alam.

Di desa, masyarakatnya merasakan betul dampak ketika mereka missmanage (salah olah dan salah atur — red.) lingkungannya. Dampaknya bisa mempengaruhi kualitas hidup mereka.

M: Jadi betul gaya hidup masyarakat urban berkontribusi lebih besar dalam percepatan kerusakan lingkungan?

 N: Betul. Tidak hanya perilakunya, tapi juga kebutuhan masyarakat urban. Financially we need to grow, we need to expand (secara finansial, ada kebutuhan untuk terus tumbuh, terus ekspansi — red.) buat masyarakat kota, untuk kualitas hidup masyarakat kota. Tapi kerusakan terasa di daerah pedesaan karena kita mengambil banyak sekali kebutuhan kita dari sana, kan? — merambah hutan, pertambangan.

Jadi bisa jadi kuncinya ada di kota juga — bahwa perilaku kita orang urban harus berubah. Keputusan-keputusan kita yang berhubungan dengan makanan, pakaian, minuman, anything harus lebih bijak karena sangat berdampak pada apa yang terjadi pada orang-orang yang akan dilihat di film Semesta ini — [yang tinggal] di pesisir, di hutan hujan tropis, di hutan adat, di semi urban. Perilaku kita memang harus berubah. We have to change.

M: Secara konkret, bagaimana kita mengubah perilaku dalam keseharian kita sehingga menjadi lebih ramah lingkungan?

 N: Banyak yang bisa kita lakukan. Saya pribadi menggunakan solar panel (panel surya) di atap rumah saya. Itu mengurangi gas rumah kaca dan emisi.

M: Mahal nggak, Nic?

 N: I would call it an investment karena [pasang panel surya] awalnya memang lumayan mahal, tapi akan balik modal dalam lima, enam tahun. Enam tahun kalau di Jakarta karena pendapatan mataharinya ya. Habis gitu kita untung karena bayar listriknya jadi sedikit sekali. Saya kebetulan nggak 100%, hanya 70-80% [pakai panel surya] jadi bayar listriknya ya cuma 20% dari biasanya.

M: That’s great. 

N: Saya juga tidak boros dalam membeli baju. Saya hanya beli satu warna, kebanyakan putih semua. Hahaha. Saya me-recycle juga —  pakaian bisa dipakai untuk keluar rumah, sehari-hari, bisa dipakai juga buat baju tidur. Saya memperhatikan bagaimana saya membeli sandang. Macem-macem, tas, sepatu. Saya beli satu produk. Misalnya sudah rusak, saya beli lagi yang itu. Supaya saya terbiasa juga bahwa tidak ada kok keharusan kita harus beli baju ganti-ganti tiap hari. Supaya menekan ego kita juga. Jadi saya akhirnya pakai warna sama, putih semua saja.

M: Sudah berapa lama seperti ini, Nic?

N: Mungkin sudah tiga, empat tahun. Industri tekstil, kontribusinya sangat besar terhadap perubahan iklim karena limbah, penggunaan air.

M: Fashion adalah industri ke-dua terbesar yang mencemari lingkungan kita. Apalagi dengan adanya fast fashion, pakaian murah tapi cepat rusak sehingga orang didorong untuk terus membeli.

N: Ya. Jadi mari kita lebih bijak lah dalam keseharian. Di kota, kita  punya banyak pilihan produk. Tiap hari beli produk, makanan dan lain-lain. Mungkin kita bisa lebih kritis terhadap merk atau produk mana yang lebih ramah lingkungan, lalu kita pilih yang itu. Kalau kita bersama-sama melakukan ini, mungkin kita bisa menyelamatkan (bumi) pelan-pelan.

M: Biasanya barang yang ramah lingkungan harganya mahal. Bagi yang tidak punya privilese untuk membeli produk seperti ini bagaimana?

N: Kita beli baju lebih sedikit. Beli baju yang harganya agak lebih mahal, tapi ramah lingkungan.

Tujuan dari film Semesta untuk mengajak orang untuk menyadari  apa keputusan atau perilaku yang bisa kita lakukan untuk lingkungan, no matter how small can make a big impact (sekecil apa pun bisa membawa dampak — red.).

Tentang makanan, banyak yang bicara tentang veganisme yang bisa membantu mengurangi emisi CO2 dan lain-lain. Perilaku kita terhadap makanan juga sangat membantu karena berkaitan dengan penggunaan lahan. 

M: Kamu vegetarian atau vegan?

N: NggakBut I’m not a big fan of meat (tapi saya tidak terlalu suka daging – red.) jadi secara tidak sengaja, dua atau tiga hari, saya menjadi vegetarian karena cuma makan gado-gado, ketoprak, nasi sama telur, atau sama tempe tahu. Saya cukup sederhana soal makanan.

M: Di film Semesta ada tujuh sosok yang diangkat. Pak Iskandar sudah. Kisah enam lainnya?

N: Di Bali, kita mengikuti satu orang sosok Pendesa, Tjokorda Raka Kerthyasa, di Ubud yang membiarkan kita mengikuti kegiatannya sebelum Nyepi. Kita ingin cari tahu apa esensi Nyepi dan apa kontribusinya terhadap alam. Ternyata ada 300.000 ton karbon yang terpangkas dari kontribusi harian Bali pada hari itu. Bayangkan kalau seluruh dunia melakukan Nyepi?

Di Flores, ada Romo Marselus Hasan yang menginisiasi kampungnya untuk bergotong royong membangun micro hydro power plant (pembangkit listrik tenaga mini-hidro) karena dia melihat tidak ada listrik di kampung itu sehingga masyarakat setempat pakai genset malam-malam. Berisik, polusi dan lain sebagainya. Dia melihat ada yang salah dengan ini.

M: Apa yang dilakukan Romo ini apa hubungannya dengan agama?

N: Beliau adalah Romo gereja Katolik setempat. Dua, tiga tahun lalu Paus Fransiskus mengeluarkan sebuah ensiklik namanya Laudato Si’. Di dalamnya ada arahan untuk menjaga lingkungan. Dan Romo Marsel menerapkan itu di tempat tinggalnya.

M: Cool. Sosok berikutnya?

N: Di Kalimantan. Ada sebuah kampung masyarakat adat Dayak Iban di Sungai Utik. Mereka berhasil mempertahankan 9000 hektar lahan adatnya untuk tetap menjadi hutan. Mereka memiliki sebuah manajemen [hutan] yang sudah turun temurun — zonasi lahan. Jadi, ada lahan di mana mereka boleh berburu apa pun kecuali orang utan dan satwa dilindungi lainnya. Ada lahan yang [hasilnya] boleh diambil tapi diatur, misalnya ketika mau menebang hutan [untuk membangun sesuatu], satu keluarga hanya boleh menebang sekian pohon.

M: Dan mereka disiplin?

N: Ya. Karena adat. Karena kalau tidak, kena hukum adat. Lalu ada satu zona namanya Hutan Keramat. You cannot take anything from it (dilarang mengambil apa pun dari hutan ini – red.). Mereka menjaga itu. Masyarakat Dayak Iban sangat tergantung pada hutannya. Kalau mereka nggak ada hutan, mereka tidak bisa upacara.

M: Bali, Yogya, Flores, dan Kalimantan sudah. Mana lagi?

N: Aceh. Kita masuk ke satu kampung, Desa Pameu, yang paling ujung di Aceh Tengah. Tempat ini dikelilingi hutan yang masih berdampingan dengan habitat gajah. Kita mengikuti satu imam desa, Muhammad Yusuf, dan beliau selalu mengingatkan bagaimana kita seharusnya hidup berdampingan dengan alam, dengan gajah dan lain sebagainya.

Gajah itu punya wilayah jelajah sendiri. Cuma kita manusia kadang-kadang suka membangun di wilayah jelajah gajah untuk kampung atau perkebunan. Nah ketika gajah lewat, ya habis lah. Dalam satu malam kita bisa lihat satu kebun habis. Akhirnya banyak konflik [antara manusia dan gajah]. Kalau nggak diracun, dibunuh. Kita melihat bagaimana masyarakat kampung tersebut hidup berdampingan dengan gajah.

Sementara di Papua ada Mama Almina Kacili. Kita mengangkat kisah sebuah kampung yang punya kearifan lokal namanya ‘Sasi’. Dengan kearifan lokal ini, kita bersepakat untuk tidak mengambil apa pun dari wilayah yang disepakati, dengan jangka waktu yang disepakati juga. [Cara konservasi] mereka seperti tabungan. Bisa hutan, bisa laut. Uniknya di kampung ini, Sasi diinisiasi sama ibu-ibu. Kampung ini sebetulnya sudah punya daerah yang di-Sasi. Tapi ibu-ibu bilang: “Kita juga punya kepentingan khusus. Anak-anak sakit, anak sekolah, baju seragam gereja dan lain-lain.” Jadi mereka meminta sebuah daerah untuk mereka lindungi.

M: Sosok terakhir?

N: Dari Jakarta. Ada Siti Soraya Cassandra. Dia dan suaminya mengelola sebuah ruang terbuka hijau di mana dia melakukan pelatihan untuk urban farming (pertanian kota). Dia merasa penting sekali bagi masyarakat kota untuk selalu terhubung dengan alam. Melihat sesuatu tumbuh, nanam. Jadi kita orang kota tahu prosesnya.

M: Lokasinya di mana?

N: Di Situ Gintung. Dulunya tempat pembuangan sampah lalu diubah menjadi organic farming (pertanian organik). Setiap weekend banyak orang-orang datang untuk belajar bercocok tanam.

M: Harapan kamu ketika orang nonton Semesta?

N: Mereka bisa terbuka, terinspirasi, terketuk hatinya, karena mereka akan melihat kisah-kisah orang-orang yang sangat mendedikasikan dirinya untuk menjaga lingkungan. Peduli banget. Masa melihat orang-orang yang pedulinya kayak begitu, kita nggak tersentuh sih? Kita harusnya tersentuh, karena buat saya ini sangat menyentuh dan sangat menginspirasi. Saya sangat kagum dengan mereka, tanpa bermaksud menokohkan. Saya yakin mereka ini  tujuh contoh dari banyak orang yang melakukan hal itu. Mereka menjaga alam dengan sungguh-sungguh, jadi kita juga harus.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023