Siul-siulan yang menganggu, memandang yang terlalu lama menimbulkan rasa jijik tak nyaman, mempertontonkan alat kelamin, pemerkosaan. Semua ini tidak diinginkan. Semua ini kekerasan seksual.
Tidak sedikit korban yang meninggal, tidak sedikit pula yang raganya hidup namun jiwanya tak tahu dimana. Mata korban kekerasan seksual nanar, menyeret trauma yang tak kelihatan ujungnya. Tidak sedikit dari mereka yang menyalahkan diri karena tanpa sadar harus mengadopsi cara pandang masyarakat yang sayangnya masih sering menyalahkan korban ketika kekerasan seksual terjadi. Patriarki?
Bukankah sudah waktunya kita ubah cara pandang kita terhadap kekerasan seksual. Bukankah sudah saatnya RUU PKS tidak lagi dipandang sebelah mata. Kita mungkin kadang lupa bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja. Siapa saja.
Saya bercakap bersama Hannah Al Rashid. Dia bercerita tentang kekerasan seksual yang dia alami, patriarki, relasi kuasa, dan pentingnya kerjasama antara perempuan dan laki-laki dalam menghapus kekerasan seksual di sekitar kita.
Marissa Anita (M): Waktu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tiba-tiba dikeluarkan dari prolegnas prioritas, kamu bereaksi cukup keras tentang hal ini. Apa yang kamu pikirkan dan rasakan saat itu?
Hannah Al Rashid (H): Marah. Kecewa banget. Itu benar-benar kayak tamparan. Yang memancing emosi sekuat itu dari gue dan banyak orang adalah alasannya, “terlalu sulit untuk dibahas.” Itu sebuah penghinaan.
Yang ada di kepala gue adalah setiap korban kekerasan seksual yang pernah mengirim pesan ke gue langsung dan cerita tentang kasus mereka: tentang stigma yang mereka alami sebagai korban kekerasan, tentang tidak adanya pemulihan, tidak adanya dukungan apa pun, tidak adanya jalur hukum yang mereka bisa lewati untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan. Dalam kepala gue, gue cuma terpikir semua korban-korban itu, betapa kecewa mereka pasti. [Keputusan mengeluarkan RUU PKS dari prolegnas] seperti pemerintah nggak peduli sama korban, nggak peduli sama isu ini.
M: Maksudnya “sulit untuk dibahas” itu apa, Han?
H: Gue juga nggak tahu (dengan nada kesal). Menurut gue, RUU PKS ini sudah cukup dipolitisasi sama banyak sekali pihak sampai akhirnya menjadi isu yang kesannya begitu pro kontra, begitu kontroversial. Padahal sebetulnya tidak harus jadi seperti itu karena gue yakin setiap pihak — apakah elo pro atau nggak — elo pasti setuju bahwa kekerasan itu harus dihentikan, kekerasan itu tidak baik. Tinggal dibahas sampai semua pihak nemu jalan tengah.
M: Kenapa RUU PKS penting dibahas dan digolkan anggota parlemen? Dampaknya apa ketika ini sudah jadi undang-undang di Indonesia?
H: Penting banget untuk dibahas karena (1) satu dari tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan. Itu adalah angka yang terlalu tinggi; (2) jumlah kasusnya makin meningkat terutama di era pandemi Covid-19 ini. Kasus kekerasan meningkat karena lockdown. Semua orang tertekan dengan situasi ekonomi; (3) Makin banyak orang berada di ranah online. Kekerasan berbasis gender di sini juga meningkat drastis. Makin banyak orang mengalaminya, atau setidaknya makin banyak orang menyuarakan mengalami kekerasan. Karena semua alasan inilah RUU PKS penting dibahas.
Kenapa harus digolkan? Karena undang-undang yang ada sekarang kurang lengkap. Salah satu hal yang paling memilukan dari perjalanan saya menyuarakan isu ini adalah ada perempuan yang datang ke saya dengan kasusnya, dia sudah berani banget cerita tentang ini, sudah berani mau bawa kasusnya ke pihak berwenang, sudah berani karena begitu banyak stigma sekitar isu ini. Setelah diproses semuanya, kasusnya malah nggak bisa diapa-apain karena dari pihak berwenang bilang “nggak tahu mau pakai pasal apa”.
M: Oh wow . . . (menganga).
H: Ya. Mar, it’s happened too many times (ini terjadi sudah terlalu sering). Nggak tahu mau pakai pasal apa padahal pelakunya udah ngaku kepada orang, ada saksi. Tetap, “nggak tahu bisa pakai pasal apa.” Memilukan bukan? Bisa kamu bayangkan? Setelah korban punya keberanian untuk melewati semuanya, setelah jadi korban kejahatan yang luar biasa, ujung-ujungnya seperti itu. Kenapa harus digolkan? Supaya nggak bingung lagi mau pakai pasal apa. Pasal menjadi sangat jelas dari RUU PKS.
M: Yang dikategorikan kekerasan seksual itu apa saja?
H: Banyak orang memang nggak paham bahwa apa yang terjadi kepada mereka atau apa yang mereka lakukan kepada orang lain adalah kekerasan seksual.
Orang paham [kekerasan seksual] kalau dalam kasus yang paling jelas seperti pemerkosaan. Tapi mereka nggak paham hal yang mereka lakukan sehari-hari bisa berkontribusi dan menjadi kekerasan seksual. Ada yang namanya the Rape Culture Pyramid (Piramida Kultur Pemerkosaan). Di level paling bawah piramid, yang paling banyak terjadi adalah pelecehan seksual verbal. Hal-hal seperti siul-siulan atau disebut catcalling.
M: Catcalling itu kayak, panggil-panggil, “mbak, mbak, mbak . . .”
H: “Woy woy cantik cantik”, hal-hal kayak gitu.
M: (Marissa memutar bola matanya sebagai ekpresi sebal).
H: Ekspresi kamu menjelaskan semuanya, sayangku. Kemudian lelucon yang seksis, misoginis, merendahkan perempuan.
Orang nggak paham bahwa dengan melakukan itu saja, kita melumrahkan dan menormalkan seakan nggak apa-apa berlaku terhadap perempuan seperti ini, nggak apa-apa membicarakan tubuh perempuan seperti ini, nggak apa-apa mendekati perempuan dengan cara tidak sopan.
Kalau ini dilumrahkan, otomatis pelaku akan mencoba “keberuntungan” mereka, mencoba ke tahap berikutnya — sentuhan fisik, kekerasan fisik, colekan, usapan, atau ciuman.
Pelaku akan terus naik tingkat dalam piramid kultur pemerkosaan sampai akhirnya melakukan kekerasan seksual yang paling parah seperti memerkosa atau femisida (pembuhuhan terhadap seseorang hanya karena gendernya perempuan).
Definisi kekerasan seksual yang sudah diatur dalam RUU PKS ada sembilan: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; pemerkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; penyiksaan seksual. RUU ini lengkap banget.
Misal, bicara pemerkosaan, setahuku dengan undang-undang yang ada sekarang, pemerkosaan itu hanya dianggap jika ada penetrasi melalui vagina. Sedangkan [RUU PKS] mengatur tidak hanya satu definisi saja tentang pemerkosaan.
Melihat juga dari berbagai kasus yang viral, pemerkosaan itu tidak hanya terjadi kepada perempuan tetapi juga bisa pada lelaki, jadi bisa juga lewat lubang yang lain. Melihat kasus salah satu anak gadis di bengkulu, Yuyun. Yuyun diperkosa menggunakan benda lain juga. Dari semua kasus ini terlihat ada berbagai jenis kekerasan seksual yang terjadi dan semua ini diatur dalam RUU PKS.
Pelecehan seksual bisa terjadi dalam bentuk fisik dan non fisik. Kalau fisik contohnya seperti sentuhan, usapan, colekan, dekapan atau ciuman yang tidak diinginkan. . .
M: Yang tidak diinginkan . . .
H: Kuncinya itu. Kuncinya di situ. Kemudian yang non fisik — mungkin ini yang lebih sering terjadi sama teman-teman perempuan di luar sana — yakni siulan, kedipan mata, ucapan yang bernuansa seksual, ajakan melakukan hubungan seksual, mempertunjukan materi pornografi, mempertunjukan alat kelamin, merekam atau memfoto diam-diam tubuh seseorang. Dan dari ini semua, kuncinya adalah consent (persetujuan). Kuncinya adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh korban, sesuatu yang tidak dipersetujui.
M: Dalam kasus-kasus sebelumnya aku ingat ada becandaan yang nggak pantas, “Lah kan sama-sama mau.” Wah, kacau . . .
H: (Hannah meringis seperti kesakitan). Itu sesuatu yang terlalu sering pelaku gunakan untuk memvalidasi apa yang terjadi.
Harus ada investigasi, dengan saksi, kemudian dibahas dan baru menyimpulkan. Nggak bisa kasus kekerasan seksual disederhanakan “kan dia yang mau.” Itu menurut pelaku. Menurut korban tidak.
[Ucapan seperti ini muncul] karena terlalu banyak stigma terhadap perempuan dalam kasus kekerasan seksual. Victim blaming (menyalahkan korban) terlalu sering terjadi seakan akan sudah ada bias.
Seperti, “Ah, elo kalau emang udah diajak minum kemudian terjadi pemerkosaan ya elo kan minum, jadi elo tau apa yang akan terjadi.” Lho lho lho? Kok tiba tiba [menyimpulkan] kayak gitu. Orang nggak paham bahwa consent (persetujuan) itu tetap harus ada. Ini adalah sesuatu yang saya merasa banyak orang nggak paham, jadi seperti sudah ada bias terhadap korban dimana semuanya diberatkan pada korban.
Kita lihat dari kasusnya Ibu Baiq Nuril misalnya. Buktinya ada, tapi malah Ibu Baiq yang dikriminalisasi. Ini adalah salah satu yang setahu saya diatur dalam RUU PKS. Nggak boleh ada kriminalisasi terhadap korban jika dia udah memulai kasus ini dan menghadirkan bukti. Nggak bisa lah UU ITE dan pasal pencemaran nama baik dipakai terhadap korban. Ini terjadi terlalu sering.
M: Kamu juga pernah mengalami kekerasan seksual beberapa kali. Kalau kamu nyaman aja Han, boleh kamu ceritakan pengalamanmu. Apa dampaknya pada dirimu secara fisik dan mental? Apakah itu juga mengubah perilakumu di masyarakat?
H: Saya, seperti banyak perempuan di Jakarta atau Indonesia, mengalami catcalling kayaknya hampir tiap hari, mengalami pelecehan verbal yang terjadi di ruang publik. Pernah bagian tubuh saya [yang pribadi] digrepe (dipegang) bagian dada dan bokong ketika saya di jalan. Dalam kasus itu terutama, saya rasakan betul perubahan dalam diri saya. Saat dada elo dipegang di saat elo nggak mau, di tengah jalan, di kompleks rumah elo sendiri yang seharusnya jadi tempat aman buat elo, dan saat elo ngelewatin pos sekuriti dan ada bapak-bapak di situ.
Mungkin itu juga yang membuat gue sakit hati. [Waktu kejadian] gue lari kejar si pelaku tapi mereka berhasil kabur. Gue marah dan kalut pas ngelewatin pos sekuriti. Bapak-bapak sekuriti tanya, “Kenapa neng?” Gue bilang, “Saya baru dilecehkan.” Jawaban mereka, “Oh itu mah udah biasa.” Terus gue langsung, “Apa?!” Makin panas, makin marah.
Ternyata kejadian buruk itu membuat gue jadi sangat waspada. Kalau lagi naik motor, ada motor yang mendekat, gue langsung menutup diri, nutupin dada. Kalau dulu pakai tas di belakang, sekarang di depan. Tahun ini saja, kalau naik ojek, ada suara motor terlalu dekat, tiba-tiba gue terpicu. Padahal pelecehan seksual itu sudah enam tahun yang lalu. Seperti PTSD (post-traumatic stress disorder).
M: Gue turut sedih elo mengalami kejadian ini, Han . . .
H: Yang paling gue ambil dari pengalaman itu adalah gue ngga mau kejadian ini membatasi kebebasan gue untuk mengekspresikan diri, bekerja, jalan dan nongkrong sama teman teman gue.
Jalanan itu gue lewatin setiap hari dan gue tetep jalan kaki lewat situ. Gue nggak menutup diri, mengunci diri, dan mengubah cara hidup gue karena kejadian ini. Karena kalau gue berubah, berarti pelaku menang. Dan emang gue keras kelapa, gue nggak mau mereka menang.
Selain itu gue juga pernah mengalami pelecehan seksual di lokasi syuting. Pelecehan seksual ini membuat gue sadar relasi kuasa, struktur kekuasaan di dalam industri.
Ini terjadi tidak hanya di industri perfilman tapi di industri mana pun dimana ada laki laki yang punya power (kekuasaan) sehingga bisa melecehkan perempuan yang dianggap levelnya secara profesi di bawah mereka. Seakan-akan kekuasaan memberikan mereka impunitas (kekebalan).
Saat itu, gue bicara kepada beberapa orang produksi film. Sayangnya pelaku nggak diapa-apain. Memang ada ketakutan juga dari gue kalau misal ini ditindaklanjuti secara formil.Gue tahu pelaku lebih berkuasa dibandingkan gue. Dia bisa menghentikan karir gue di dunia perfilman. Dia bisa menghentikan karir pekerja seni perempuan lain yang telah dia lecehkan.
Industri kita kecil. Kalau pelaku sampai tahu ada yang lapor, dia tahu kan korban dia siapa. Karena kekuasaan dia, dia bisa hentikan karir kami korbannya.
Relasi kuasa ini gue pikirin terus. Tapi sekarang gue berusaha untuk reach out kepada filmmaker untuk ngebahas isu ini; reaching out ke aktor perempuan lainnya supaya setidaknya mereka tahu mereka nggak sendiri. Dan akhirnya, kalau memang bisa, menciptakan semacam support system dan bekerja sama dengan para filmmaker yang peduli dengan isu ini. Bisa advokasi ke mereka untuk memasukkan pasal soal pelecehan seksual di dalam kontrak, atau setidaknya membuat ruang aman di tempat syuting dan membicarakan isu ini dengan terbuka. Gue tahu filmmaker seperti Mira Lesmana, Meiske Taurisia, Gina S. Noer, Joko Anwar, mereka berkomitmen untuk melakukan itu. Gue juga pernah bicara dengan Timo Tjahjanto. Gue rasa terutama dengan filmmaker laki-laki, mereka semakin sadar tentang ini dan mencoba untuk membuat perubahan. Dan mungkin peran gue adalah memastikan mereka menjalankan kata-kata mereka.
M: Elo nggak sendiri. Gue juga di sini. Gue akan bantu untuk mengingatkan mereka untuk masukkan pasal perlindungan dari kekerasan seksual di kontrak kerja.
H: Tapi masih ada beberapa film maker yang bilang, ‘Itu kan urusan pribadi, urusan personal.’
M: (Marissa menganga) maksudnya?
H: Jadi intinya, bukan kewenangan mereka untuk mengatur. Mereka bilang, “Itu kan terjadi antara elo sama orang ini (pelaku).” Mereka harus sadar, itu terjadi di ruang profesional, di tempat kerja mereka sebagai filmmaker. Dan mereka sebagai yang punya otoritas harus membuat inisiatif untuk memastikan setiap pekerja di dalam produksinya merasa aman.
M: Absolutely dong. Haruslah. Ini sebetulnya bisa diimplementasikan ke semua perusahaan sih. . .
H: Bisa banget. Ini dia tentang relasi kuasa, pelaku yang berkuasa akan selalu merasa kebal [dari konsekuensi] kalau orang yang di bawahnya nggak ngomong dan nggak ada ruang untuk ngomong. Bahkan ada teman yang pernah cerita, dia dilecehkan oleh seseorang dari bagian HR (Human Resource).
M: Ah gila . . .
H: Orang yang seharusnya bisa menjadi go-to person dengan hal hal kayak gini, malah HR-nya yang melecehkan dia. Kita harus mulai untuk menanggapi ini dengan serius. Kita harus lakukan sesuatu [untuk mengubah ini].
M: Makanya ini yang membuat RUU PKS begitu urgen untuk dibahas dan digolkan. Kamu sempat bicara tentang safe space atau ruang aman. Itu apa?
H: Ruang aman adalah tempat/orang dimana korban kekerasan seksual bisa membicarakan kekerasan seksual yang dia alami. Ruang aman sangat penting karena stigma yang terlalu diberatkan pada korban, aib yang dikaitkan ke korban. Ini sangat sulit untuk dihadapi sendirian. Lebih sering korban merasa sendiri karena pada umumnya membicarakan hal ini tidak didorong dalam masyarakat kita. Ini membuat ruang aman penting. Ruang aman itu harus berpihak kepada korban dan harus tanpa penghakiman. Harus mendengarkan saja sih.
Kadang kalau ada teman yang curhat ke kita, mungkin karena kita nggak nyambung karena nggak pernah mengalami, kita jadi suka kasih saran ya nggak sih? Padahal kalau elo nggak pernah berada dalam posisi korban, elo bukan di tempat untuk kasih solusi karena elo nggak tahu apa yang mereka alami, apa yang ada di pikiran mereka. Cara elo untuk tahu adalah dengan mendengarkan mereka.
Dengerin aja. Dan nanya balik malah, ‘Apa yang elo butuhkan dari gue?’ Itu yang selalu gue lakukan atau berusaha untuk lakukan. Saat ada yang datang ke gue dengan cerita kasus mereka, gue dengarkan, gue katakan gue turut sedih itu terjadi pada mereka, gue di sini, apa yang bisa gue lakukan, apa yang mereka butuhkan.
Kalau mereka butuh bantuan hukum, gue hubungkan dengan LBH Apik. Butuh bantuan psikologis, gue arahkan ke Yayasan Pulih misalnya. Dengan ruang aman itu kita bisa menciptakan jaringan dari banyak pihak yang bisa membantu.
M: Dari cerita para penyintas yang ke Hannah, apa dampak psikologis kekerasan seksual terhadap korban kekerasan seksual?
H: Ada sikap menyalahkan diri. Bukan karena korban yang salah, korban nggak salah sama sekali. Yang salah 100% adalah pelaku. Tapi masyarakat kita cukup kejam kepada korban kekerasan. Disalahkan bajunya lah, disalahkan dia keluar kemana lah, disalahkan bergaul dimana lah, dia ngapain lah. Seakan-akan kita fungsi otomatisnya fokus ke perempuan dulu. Terjadi banyak korban menyalahkan diri karena pada dasarnya masyarakat terlalu sering menyalahkan korban.
Kita harus ubah cara berpikir seperti itu. Yang pertama yang harus disalahkan 100% adalah pelaku. Apa pun alasan pelaku, pelaku sudah melakukan sebuah kejahatan. Kita harus fokus pada ini.
Kita harus mulai lebih banyak pembicaraan tentang ini antara orang tua ke anak karena terlalu banyak korban yang mau cerita ke orang tua tapi orang tua malah menyalahkan balik atau bingung mesti gimana. Misal, [ketika pelecehan/kekerasan seksual] terjadi di umur yang sangat muda, korban dianggap anak kecil yang tidak tahu apa yang dia lakukan atau bahkan dianggap berbohong. Bisa bayangkan mengalami kekerasan seksual ketika anak-anak? Dimana orang tua yang seharusnya menjadi pendukung nomer satu malah menyalahkan balik dan menyuruh korban untuk diam karena ini adalah aib.
Terlalu banyak tekanan terhadap korban sehingga banyak yang butuh bantuan psikologis, butuh pemulihan. Karena nggak ada ruang aman tempat mereka memproses semua yang terjadi, mereka butuh RUU PKS karena sangat mengatur itu. Pemulihan adalah salah satu aspek utama dari RUU PKS.
Selama ini kita lupa, seorang korban bisa melewati sistem peradilan, memenangkan kasusnya (meski itu sangat minim sekali), tapi setelah pelaku sudah masuk penjara pun, itu belum selesai. Korban harus membawa perasaan (trauma) ini sepanjang hidup mereka. Dan kalau ini tidak diatasi, ini akan mempengaruhi aspek hidup mereka yang lain. Mari kita berhenti menyalahkan korban. Mari didik diri kita sendiri. Kita semua bisa mendukung dan mendesak [pengesahan] RUU PKS ini.
M: Tadi kamu menyebut stigma dan menyalahkan korban. Kenapa masyarakat kita cenderung seperti itu? Akarnya dari mana menurutmu?
H: Patriarki dan maskulinitas yang toxic. Bahwa menjadi seorang lelaki berarti harus menunjukkan kuasanya; laki-laki tidak boleh menunjukan kelemahannya; laki-laki nomor 1, perempuan nomor 2. Kalau lelaki dianggap masyarakat kelas satu dan perempuan kelas dua, rasa hormat laki-laki terhadap perempuan otomatis berkurang. Kalau kamu tidak menganggap perempuan setara atau pantas dihormati, ya melakukan kejahatan seperti kekerasan seksual adalah sesuatu yang akan lebih sering terjadi.
Yang paling disayangkan justru saat perempuan pun melanggengkan cara berpikir seperti ini. Waktu dada gue dipegang orang nggak di kenal di jalan pulang, komentar dari teman perempuan gue adalah, “Makanya jangan jalan kaki malam-malam. Besok naik taksi aja ya.” Gue yakin niat dia baik, tapi dia nggak sadar bahwa yang dia tuntut dari gue adalah gue mengubah cara hidup gue demi menyesuaikan diri dengan kelakuan pelaku pelecehan. Siapa sih yang punya uang untuk naik taksi kemana pun mereka pergi? Saya suka jalan kaki dan saya mau jalan kaki. Saya nggak mau mengubah hidup saya hanya karena ada laki laki yang justru melakukan kesalahan. Fokus kepada mereka dong, bukan ke saya.
Ada istilah boys will be boys (begitulah laki-laki). Itu adalah istilah yang sangat problematik. Bahwa laki laki memang seperti itu, jadi abaikan saja. Kita nggak boleh kayak itu. Kita harus membesarkan anak lelaki kita untuk menjadi manusia yang terhormat dan menghormati setiap manusia. Budaya dan sistem patriarki sangat punya andil dalam masalah ini. Kesetaraan gender adalah sesuatu yg kita butuh untuk membongkar masalah ini.
M: Tugas bagi kedua orang tua untuk mengajarkan terutama pada anak laki-lakinya untuk menghormati manusia apa pun gendernya. Sekarang gender juga makin banyak tuh Han . . .
H: Saya kan Bugis. Dalam budaya Bugis ada lima gender. Dari dulu progresif. Ha ha ha.
M: Ada lagi yang mau kau bagi?
H : Mungkin banyak teman di luar sana yang mengalami kekerasan seksual, saya mau bilang bahwa ada dukungan untuk kalian. Saya selalu di sini jika butuh dihubungi. Bisa juga cek akun seperti Hollaback Jakarta (@hollaback_jkt), Lentera Sintas Indonesia (@lentera_id) dan LBH Apik (@lbhapik.jakarta).
Saya berharap kita bisa berhenti menyalahkan korban, bisa berpihak pada, mendengarkan dan berempati terhadap korban. Dan terutama, desak pengesahan RUU PKS. Tahu nggak, gue kadang melamun kalau ada laki-laki kurang ajar waktu lagi di jalan, dicolek atau apa, gue bisa bilang, ‘Kamu bisa kena pasal UU PKS! Jangan gitu ya, pak!’ Kita semua akan merasa diperkuat dengan undang-undang ini.
M: Semoga kita maju tentang ini. Gue yakin di luar sana ada laki laki feminis. Kita butuh juga kerjasama dari laki laki . . .
H: Kita butuh sekutu laki-laki. Laki laki di luar sana, kalian nggak ngerasa cowok-cowok brengsek ini memcemarkan nama baik kalian ya? Kita tahu yang melakukan kekerasan seksual pastinya minoritas, nggak semua lelaki seperti itu.
M: Nggak. My husband is great. Ha ha ha.
H: Suami elo keren! Dia sangat menghormati perempuan. Kita butuh berjuang bersama dimana laki-laki bisa menegor laki-laki pelaku kekerasan seksual. Karena ujung-ujungnya bukan cuma kita perempuan yang jadi korban patriarki dan maskulinitas beracun (toxic masculinity), laki-laki yang jadi korban juga tertekan. Itu juga nggak bagus buat kalian, boys. Yuk, berjuang bersama kami perempuan.