Penyakit psikis di Indonesia masih saja menjadi topik tabu untuk dibicarakan. Stigma “orang gila” masih saja melekat pada mereka yang berkonsultasi pada ahli kejiwaan. Padahal semua orang pasti memiliki gangguan mental meskipun sedikit sekali. Semua orang punya titik lemah yang berbeda saat membicarakan tentang kejiwaan.
Ada pun belum lama saya melakukan sebuah penelitian yang ditargetkan pada anak-anak remaja berkaitan tentang fenomena bunuh diri yang terjadi di Amerika Serikat. Awal penelitian muncul karena sejumlah pasien datang ke ruang UGD rumah sakit di Los Angeles di mana saya menjadi dokter jaga dengan kasus bunuh diri. Mereka sampai di sana ketika sudah memiliki gagasan untuk bunuh diri bahkan banyak yang sudah mencoba bunuh diri. Tak terduga adalah anak umur delapan tahun hingga remaja 14 tahun menjadi daftar pasien saya dengan kasus tersebut. Lengkap dengan sederetan cara bunuh diri inovatif yang dilakukan. Tidak pandang warna kulit, latar belakang keluarga, pendidikan, pun ekonomi, anak-anak ini mengalami gangguan kejiwaan hingga nekat bunuh diri akibat satu dan lain hal. Tidak melulu juga mereka berasal dari keluarga baik-baik. Semua terpapar dengan kasus yang sama.
Stigma 'orang gila' masih melekat pada mereka yang berkonsultasi pada ahli kejiwaan. Padahal semua orang pasti memiliki gangguan mental meskipun sedikit sekali.
Berjalannya penelitian itu pun dihubung-hubungkan dengan teori dari salah satu sumber yang menduga bahwa akibat salah satu tayangan serial 13 Reasons Why tingkat kasus bunuh diri meningkat di negara tersebut. Tentu saja bukan tanpa sebab. Nyatanya pencarian di mesin Google dengan kata kunci: how to kill myself? (bagaimana cara bunuh diri - red.) meningkat drastis setelah serial televisi ini meluncur di layar kaca. Riset yang dilakukan akhirnya ditujukan untuk menjawab pertanyaan: “Apakah angka bunuh diri di Amerika meningkat setelah adanya tayangan 13 Reasons Why?” Meski untuk saat ini saya tidak bisa mengungkap hasil riset tersebut tapi yang bisa saya katakan adalah sebenarnya hal semacam ini tidak memerlukan penelitian untuk meyakinkan kita pengaruh apa yang ditularkan oleh tayangan-tayangan televisi.
Kisah yang diambil oleh serial TV ini berpusat pada seorang anak remaja perempuan yang bunuh diri akibat menjadi korban bullying. Kemudian dia menyusun rencana untuk menceritakan pengalaman tidak menyenangkannya di sekolah dan menyebarkannya ketika dia sudah tiada. Membuat kehebohan sekaligus ketenaran ketika raganya bahkan sudah tidak bernyawa. Karakter utama dalam serial TV yang menampilkan sosok yang mirip dengan remaja pada umumnya diduga menjadi alasan tumbuhnya Werther Effect di masyarakat. Fenomena psikologi ini dapat diartikan bahwa pemikiran bunuh diri dapat menular dari satu orang ke orang lain ketika adanya suatu paparan bunuh diri dari satu orang yang punya latar belakang sosial yang sama dengan orang lainnya.
Pemikiran bunuh diri dapat menular dari satu orang ke orang lain ketika adanya suatu paparan bunuh diri dari satu orang yang punya latar belakang sosial yang sama dengan orang lainnya.
Genre drama dengan karakter utama yang memiliki kehidupan biasa saja selayaknya remaja pada umumnya, belajar di sekolah biasa, mendapatkan bully dari teman-teman sebaya, merasa tidak dipedulikan keluarga kemudian stres dan bunuh diri membuat para penonton di kelompok umur tersebut merasa seperti diizinkan melakukan hal yang sama. Seakan-akan memberikan inspirasi pada orang awam untuk melakukan bunuh diri dengan sederetan rencana yang menghebohkan. Mereka pun melihat kejadian di TV seperti hal yang populer dan tidak masalah jika mencontoh.
Apalagi pada film ini terdapat ambassador dari selebriti top Amerika Serikat, Selena Gomez, yang mengakui pernah memiliki pengalaman depresi dan percobaan bunuh diri. Dia di sini diposisikan sebagai sosok yang juga mencoba bunuh diri bukan yang memberikan advokasi. Sehingga Werther Effect pun semakin menjadi-jadi. Para remaja — yang mentalnya belum benar-benar terbentuk, semakin merasa terdorong melakukan hal yang dianggap keren karena idolanya saja pernah mencoba melakukannya. Selayaknya iklan dengan figur publik untuk mempengaruhi orang awam membeli produk tertentu, Selena Gomez menjadi ikon serial ini pun demikian. Mulailah banyak orang yang mulai terpikir melakukan sesuatu yang fenomenal seperti mengirim surat-surat ke teman-temannya di sekolah sama seperti yang diceritakan di serial tersebut.
Para remaja — yang mentalnya belum benar-benar terbentuk, semakin merasa terdorong melakukan hal yang dianggap keren karena idolanya saja pernah mencoba melakukannya.
Tayangan-tayangan seperti ini sangatlah kuat mempengaruhi pikiran kita. Sehari-harinya kita tidak bisa lepas dari layar baik komputer, televisi atau gadget lainnya. Tingkat sosial kita pun berkaitan dengan apa yang disaksikan di layar. Tanpa sadar kini kita berkembang dan bertumbuh melalui tayangan-tayangan tersebut. Apalagi dengan adanya perasaan terhubung seperti yang sudah saya katakan sebelumnya. Seseorang lebih mudah merasakan emosi-emosi yang intens ketika merasa senasib. Ditambah dengan genre melodrama yang mudah mempengaruhi perempuan dengan kompleksitas hormon dalam tubuh. Berbagai penyakit mental pun dapat muncul akibat meningkatnya hormon-hormon steroid yang menghasilkan stres seperti kortisol yang langsung bekerja ke pikiran.
Seseorang lebih mudah merasakan emosi-emosi yang intens ketika merasa senasib.
Meskipun saya cukup yakin kasus-kasus bunuh diri di Indonesia tidak setinggi di Amerika Serikat karena tingginya nilai kekeluargaan dan keagamaan, tapi kita tetap harus preventif. Tidak adil rasanya kalau kita meminta masyarakat yang melakukan filterisasi pada tayangan. Mereka adalah pihak yang powerless, umumnya tidak memiliki pengetahuan khusus soal akibat dari sebuah tayangan. Menurut saya, dari institusi yang lebih tinggi seperti lembaga penyiaran atau pemerintah yang harus mengatur cara kerja tayangan yang masuk ke layar kita sehari-hari. Sekarang ini adalah era globalisasi, memiliki berbagai akses ke berbagai media pun dirasa penting. Semua orang diharapkan punya kesempatan yang sama untuk melihat media di manapun itu. Sehingga bukan pelarangan yang dibutuhkan tapi kontrol yang lebih baik.
Harapan saya di masa depan terdapat sebuah teknologi yang dapat mengontrol pengawasan tayangan. Sekarang ini hanya berupa tulisan saja di pojok layar atau sebelum tayangan dimulai. Tapi alangkah baiknya jika masa depan punya pemindai dalam televisi atau layar yang bisa mengetahui umur penggunanya sehingga bisa mengontrol film yang akan ditayangkan. Atau mungkin kontrol dari orangtua terhadap anak-anak di usia rentan. Salah satunya adalah dengan membuat komunikasi yang seterbuka mungkin. Jangan sampai ada perasaan pada anak yang bilang, “Saya tidak mau bilang ke orangtua nanti juga akan dimarahi.” Begitu ada perasaan seperti itu anak pasti akan sembunyi-sembunyi dan tidak menceritakan pada orangtua apa yang terjadi. Tapi jika diterapkan komunikasi terbuka, anak akan merasa bersalah jika menyembunyikan sesuatu dan di situlah orangtua bisa masuk membimbing anaknya.