Menjadi seorang perempuan tidaklah mudah. Seringkali kami diperlakukan sebagai sebuah objek. Tidak perlu berpakaian terbuka, berpakaian tertutup sekalipun banyak dari kami diperlakukan tidak sepantasnya. Saat keluar rumah, kami sudah dalam pemikiran bahwa baju yang dipakai sudah layak. Namun kemudian banyak kaum pria yang menghakimi penampilan atau pakaian kami hingga membuat tidak nyaman dengan pandangan mereka. Tidak jarang mereka juga bersiul-siul sebagai tanda penghakiman tersebut. Apalagi di kota-kota besar. Berjalan sendiri di malam hari seperti sebuah teror. Perasaan tidak aman selalu hinggap sepanjang perjalanan.
Saya seringkali mendengar dan menyaksikan banyaknya perempuan yang mendapatkan pelecehan seksual di transportasi umum. Sewaktu remaja, saya bahkan pernah mendapat perlakuan tidak menyenangkan tersebut di bioskop. Ketika sedang antre untuk keluar bioskop, ada seseorang yang memegang dada saya. Tidak hanya itu saja, sewaktu kecil saya pernah mendapat pelecehan seksual yang tidak pernah saya ingat hingga usia 40. Kala itu saya sedang berada dalam satu acara yang membicarakan kekerasan rumah tangga. Di dalam forum, salah satu pembicara menceritakan pengalaman yang serupa seperti yang pernah saya alami saat kecil. Ingatan itu pun konstan kembali. Saya langsung menelepon ibu dan menanyakan kejadian itu. Beliau menyatakan kebenaran bahwa saya pernah mengalami pelecehan waktu kecil tapi ia berharap saya tidak pernah mengingatnya sehingga beliau tidak pernah membahas. Butuh beberapa tahun untuk memroses trauma tersebut dan ternyata kejadian semacam ini harus dibicarakan dan diungkapkan agar bisa terlepas dari trauma.
Kami sebagai perempuan, terutama di generasi saya, jarang diberitahu untuk menyadari bahwa pelecehan seksual bisa terjadi. Sehingga seringkali ketika mengalami situasi tersebut, kita tidak cepat tanggap bahkan bisa tiba-tiba terdiam dan bingung harus berbuat apa. Terlebih lagi, budaya ketimuran kita terkadang membiasakan untuk tidak bilang karena perasaan “tidak enakan”. Kita diajarkan untuk selalu baik terhadap orang lain, perempuan harus selalu tersenyum, tidak boleh berperilaku maskulin, dan sebagainya. Kemudian anak kecil seolah diperbolehkan untuk dipeluk atau dicium siapa saja. Menurut saya ini harus diubah meski yang utama adalah kita harus memberikan edukasi pada semua anak bahwa pelecehan atau kekerasan seksual bisa saja terjadi. Kemudian menanamkan kesadaran keberanian untuk menolak dan berekspresi saat mengalami pelecehan.
Terlepas dari itu semua, penyebab yang paling mengakar adalah adanya budaya patriarki yang menanamkan bahwa kekuatan ada di tangan pria, menjadikan kaum perempuan memiliki status lebih rendah. Kekerasan terjadi ketika salah satu pihak merasa berkekuatan lebih dari yang lainnya sehingga terjadilah ketidaksetaraan. Selain itu toxic masculinity juga ada andil dalam hal ini. Saya sempat mendengar dari Wawan Suwandi, fasilitator dari Yayasan Pulih. Ia menyebutkan bahwa menggoda atau melakukan pelecehan terhadap perempuan seakan menjadi prestasi bagi pria. Mereka seakan merasa menjadi pria sejati, perasaan yang sama seperti di zaman dulu pria bisa membunuh singa. Padahal pria sejati adalah pria yang peduli dan menjaga para perempuan. Mereka dilahirkan oleh perempuan dan hubungan mereka dengan perempuan sangatlah dekat. Mengapa justru tidak belajar menghargai perempuan? Saya percaya kita perlu mengubah pemahaman maskulinitas dan perlu adanya penanaman pikiran positif serta kebaikan pada para pria agar mereka dapat bersikap lebih baik.
Kekerasan terjadi ketika salah satu pihak merasa berkekuatan lebih dari yang lainnya sehingga terjadilah ketidaksetaraan.
Sampai dengan saat ini mayoritas korban di Indonesia adalah perempuan. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan yang memakai baju terbuka, namun juga pada perempuan yang memakai berbaju tertutup. Untuk mengubah ini semua tergantung pada pria. Jika pola pikir tetap seperti ini maka tidak akan ada perubahan moral. Sementara perempuan pun tetap harus lebih waspada terhadap sekitarnya, serta harus berani melawan pemikiran ini untuk mengubah ketidaksetaraan kekuatan antara pria dan wanita. Sebenarnya, prinsipnya terletak pada nilai kemanusiaan. Kita harus menghargai semua orang apapun jenis kelaminnya. Tidak semua pria buruk dan pasti melakukan pelecehan seksual. Kita pun harus seksama menilai perlakuan tersebut. Saat seseorang memperlakukan kita sebagai objek, itulah yang dinamakan pelecehan. Namun kalau konteksnya adalah untuk mengagumi (seperti dalam seni - red), saya rasa itu bukan masalah.
Prinsipnya terletak pada nilai kemanusiaan. Kita harus menghargai semua orang apapun jenis kelaminnya.
Sejauh ini sebenarnya cukup banyak yang menyuarakan tentang isu kekerasan dan pelecehan seksual. Tapi belum pada poin yang benar-benar mengubah karena masih dilakukan oleh kalangan-kalangan atau organisasi terbatas dan belum masuk ke area mayoritas terkait dengan pemerintahan, serta adanya pandangan salah kaprah dari masyarakat dan beberapa tokoh. Oleh sebab itu, saya dan tim The Body Shop, sebuah brand kecantikan dengan identitas feminis yang menyertakan aktivisme dalam DNA-nya, ingin mendukung dan melindungi hak keamanan kaum perempuan Indonesia. Isu ini sangat kritis dan harus ditangani prolegnas (Program Legislasi Nasional).
The Body Shop sejak awal berdiri telah berkomitmen untuk selalu ikut memperjuangkan kesetaraan hak asasi manusia bagi semua, khususnya perempuan. Sebelumnya, kami telah berhasil mendesak pemerintah menerbitkan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga melalui kampanye Stop Violence in the Home, serta berhasil mendesak pemerintah meratifikasi UU Perdagangan Anak tahun 2012 melalui kampanye Stop Child Trafficking. Kini, melalui kampanye Stop Sexual Violence, kami memperjuangkan hak perempuan dan melindungi korban kekerasan seksual lainnya tidak hanya perempuan, pada kenyataannya kami juga mendapatkan beberapa korban laki-laki.