Society Art & Culture

Slow Fashion adalah Akarnya Bukan Aksinya

Melvin Tanaya

@songforthemute

Desainer

Fotografi Oleh: Song For The Mute

Banyak yang memandang slow fashion, ethical fashion, atau sustainable fashion sebagai sebuah tren atau sebagai sebuah masalah. Mereka berpikir bahwa topik ini adalah hal yang “keren” untuk dibicarakan sekarang ini atau justru menjadikannya sebuah permasalahan yang harus membuat mereka berperan dalam pemberian solusi. Padahal menurut saya, slow fashion tidak akan berhasil jika dijadikan sebuah konsep demikian. Slow fashion harus menjadi akar dari perkembangan bisnis itu sendiri – bukan sebuah ajang promosi karena sedang menjadi tren masa kini.

Bagi saya produk adalah raja. Oleh karena itu pada Song for the Mute, sebuah brand yang saya dirikan bersama Lyna Ty, kami selalu berusaha mencari cara untuk meningkatkan kualitas garmen di segala aspek. Kami memulai label ini dari koleksi menswear di mana sangatlah penting untuk membuat sebuah pakaian yang menggunakan garmen berkualitas baik di bagian dalam maupun luar. Kami membuat kain benar-benar dari dasarnya. Untuk membuat sebuah kain saja kami membutuhkan waktu dua tahun untuk kemudian dibuat menjadi sebuah jaket atau jenis pakaian lainnya. Inilah yang saya sebut slow fashion. Bukan karena kami ingin mempromosikan sebuah tren atau isu tertentu tetapi karena kami ingin menghasilkan sesuatu yang bernilai lebih.

Slow fashion harus menjadi akar dari perkembangan bisnis itu sendiri – bukan sebuah ajang promosi karena sedang menjadi tren masa kini.

Fashion bagi saya lebih dari sekadar sebuah hobi – saya jatuh cinta pada fashion. Saya selalu tertarik pada pakaian sejak dulu. Atas dasar itulah saya memulai label ini. Tapi pengertian soal fashion sudahlah tidak sekadar koleksi pakaian dalam sebuah lemari melainkan sebuah ekspresi diri. Jadi apa yang kita gunakan adalah ekspresi kita, identitas diri kita. Begitu pula saat saya dan partner saya menciptakan Song for the Mute, kami berusaha mencuri perhatian masyarakat dengan ekspresi yang kami berikan pada setiap desain. Kami ingin menceritakan kisah-kisah kami dari masa ke masa. Bagaimana kami menciptakan atau memilih bahan kain tertentu, pemilihan garmen, hingga membuatnya menjadi sebuah pakaian dengan siluet yang “khas” adalah cara kami memberikan ekspresi pada pakaian-pakaian tersebut. Intinya adalah kami ingin melahirkan pakaian yang nyaman dan mudah untuk dikenakan.

Dalam menciptakan karya, saya merasa hampir tidak pernah terpengaruh desain-desain fashion dari desainer tertentu. Kebanyakan inspirasi yang datang berasal dari berbagai tempat yang saya dan Lyna kunjungi. Seringkali saat saya melihat sebuah kain atau bahan yang digunakan untuk membuat kain tersebut, di situlah imajinasi saya mulai berkembang. Saya mulai membayangkan cara-cara unik untuk mengembangkan kain tersebut. Emosi-emosi yang hadir saat saya menyentuh kain itulah yang kemudian memercikan ide-ide baru dalam penciptaan satu koleksi. Contohnya saja ketika saya menyentuh atau melihat sebuah kain tertentu kemudian saya teringat akan satu karakter dalam film atau musik atau bahkan cerita dalam sebuah novel, itulah saat saya mulai membuat konsep pakaian.

Emosi-emosi yang hadir saat saya menyentuh kain itulah yang kemudian memercikan ide-ide baru dalam penciptaan

Maka dari itu setiap musimnya, koleksi kami sangatlah berbeda-beda dari sebelum-sebelumnya karena pengalaman yang dirasakan berbeda di saat pembuatan koleksi tersebut. Sejujurnya saya bukanlah figur yang benar-benar masuk ke dalam permainan industri fashion. Saya lebih mengutamakan nilai-nilai yang ingin saya bagikan di mana pengalaman saya dan rekan menjadi sebuah cerita yang dapat mendeskripsikan karya kami. Dalam kisah ini juga secara tidak langsung menceritakan slow fashion sebagai akar dari label kami.

Sejauh observasi saya, belakangan masyarakat sudah mulai sadar akan slow fashion. Kita bisa lihat banyaknya artikel mengenai slow fashion yang menjadi sebuah aspek penting dalam kehidupan. Faktanya fast fashion memang dapat mendorong masyarakat kepada konsumerisme sehingga mungkin saja inilah yang bisa menimbulkan kontradiksi akan mengumbar slow fashion di masyarakat. Untuk para pebisnis yang bersandar pada fast fashion tentu saja adanya pemberitaan slow fashion menjadi ancaman untuk mereka karena pengurangan niat pembeli. Tapi memang slow fashion harus dimengerti oleh lebih banyak orang untuk lingkungan yang lebih baik.

Peran para desainer juga sangat berpengaruh untuk meneruskan tersebar-luasnya topik slow fashion. Stella McCartney, contohnya, telah berkontribusi sangat besar akan hal ini dengan menggunakan bahan-bahan organik dalam produksi bisnisnya. Setelah itu banyak desainer lain yang akhirnya mengikuti langkahnya dan mulai sadar akan isu slow fashion. Meski sebenarnya tidak semua hal dalam bisnis mereka juga benar-benar sudah menerapkan slow fashion tetapi aksi kecil saja sudah sangat membantu.

Faktanya fast fashion memang dapat mendorong masyarakat kepada konsumerisme

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023