Sekitar 14 ribu anak lahir tiap harinya di Indonesia. Dari sebanyak itu, ada sekitar 5 ribu anak yang mengalami stunting, atau masalah kesehatan dan gizi, yang salah satu tandanya adalah tinggi badan anak yang berada di bawah rata-rata ideal.
Seribu hari awal kehidupan seorang anak adalah waktu yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan mereka hingga dewasa kelak. Sebanyak 500 ribu neuron dibentuk setiap jam-nya dalam tahap ini. Apabila dalam rentang waktu tersebut, anak tidak memperoleh kecukupan gizi dan perhatian akan kesehatan yang baik, maka mereka berpeluang 10 kali lipat mudah sakit. Dalam jangka panjangnya, kondisi fisik yang kurang prima dapat berakibat pada kecenderungan untuk lebih sering absen hingga drop out dari sekolah, bahkan terdapat kemungkinan untuk mendapat pendapatan yang lebih rendah pula saat mereka masuk usia bekerja dibanding rekan sebayanya yang tidak stunting.
Sayangnya, hampir tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengembalikan keadaan jika seorang anak mengalami stunting. Sebanyak 80% perkembangan otak terjadi pada 1000 hari awal kehidupan anak terhitung dari masa kandungan. Saat rentang waktu tersebut tertutup, maka ‘pintu’ itu akan tertutup selamanya. Oleh karenanya, alih-alih menyembuhkan, cara terbaik untuk mengatasi stunting adalah melalui pencegahan dengan pola makan, pola asuh, sanitasi yang baik serta memantau tinggi badan anak.
Sebuah studi Gates yang dilakukan di Zambia menemukan bahwa dengan menempatkan alat pengukur tinggi badan yang dilengkapi dengan informasi nutrisi dan tinggi badan ideal di tiap rumah, dapat menurunkan tingkat stunting sebesar 22%. Pengukur tinggi badan ini menjadi pengingat harian bagi orangtua untuk melihat pertumbuhan anak mereka, serta hal-hal yang perlu dilakukan agar anak tumbuh sehat dan mencapai target tumbuh kembang.
Berkaca dari penelitian tersebut, bersama rekan-rekan yang bekerjasama dengan organisasi 1000 Hari, kami mengunjungi sejumlah tempat di Indonesia, seperti di Flores, Sumba, Cikarang Jababeka, dan Cipanas dalam misi memberi edukasi dan pencegahan stunting.
Ketika tiba di suatu desa, kami bekerjasama dengan bidan, posyandu, dan sekolah setempat untuk mengumpulkan para ibu dengan anak berusia 9 bulan hingga 2 tahun dan mengukur tinggi badan anak, lantas kami kunjungi rumahnya. Di setiap rumah, kami tempelkan alat pengukur tinggi badan yang terdapat indikator apakah anak memiliki tinggi badan yang ideal. Jika tinggi badan anak terindikasi dibawah ideal, kami menjelaskan pada orangtua hasil pengukuran anak dan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mendukung tumbuh kembangnya. Sebaliknya, apabila anak memiliki tinggi sesuai usia, kami beri orangtua pujian terhadap pola asuh dan dorongan untuk tetap memberikan kelengkapan nutrisi yang dibutuhkan pada masa pertumbuhannya. Biasanya kami menghabiskan 10 hingga 15 menit di tiap rumah untuk melakukan edukasi pencegahan stunting. Jika anak yang masih berusia 2 tahun mengalami stunting, ia masih memiliki peluang waktu beberapa bulan yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan pertumbuhannya, sebelum ‘pintu’ batas akhir 1000 harinya tertutup.
Selain ibu yang telah memiliki anak, calon ibu yang tengah mengandung pun kami turut edukasi dan diberi pengukur tinggi badan. Alasannya, faktor penyebab stunting sudah dimulai saat masih berupa janin dalam kandungan. Masalahnya, tidak semudah itu juga bagi mereka yang hidup di tempat terpencil untuk mencukupi kebutuhan gizi. Dari kebutuhan yang paling dasar saja seperti air, belum tentu sejumlah tempat memiliki akses air bersih. Di Pulau Komodo, bisa saja baru setelah 6 jam kita menemukan air bersih. Akibatnya, bakteri dan kuman dalam air berpengaruh pada penyerapan gizi pada ibu hamil dan anak mereka. Minimnya akses pada air pun berujung pula pada fasilitas toilet yang tidak memadai. Di suatu pulau di Nusa Tenggara Timur, bisa saja tempat penduduk mandi, mencuci, dan mengambil air untuk diminum berasal dari satu tempat yang sama. Tidak mengherankan menngakibatkan diare yang umum dialami anak. Yang memprihatinkan, karena kurangnya edukasi, sejumlah orangtua tidak menganggap diare sebagai penyakit karena terlalu seringnya terjadi.
Kesehatan beserta fasilitas penunjangnya seharusnya bukan menjadi komoditas, namun hak asasi manusia. Hanya karena seseorang tinggal di daerah terpencil, bukan berarti ia layak tertinggal dari orang lain yang tinggal di kota besar, baik dari segi informasi, edukasi, hingga fasilitas. Oleh karena itulah daerah tujuan penyebaran alat pengukur tinggi badan ini kami mulai di wilayah-wilayah terpencil atau desa.
Melalui proyek ini, saya berharap para ibu dapat terus memberi ASI paling tidak hingga anaknya mencapai 6 bulan, dan memperhatikan makanan yang diberikan pada si anak untuk mencegah stunting. Terdengar sederhana, namun tidak. Kadangkala karena tingkat pendidikan yang rendah, para ibu beranggapan bahwa susu formula memiliki kandungan lebih baik dibandingkan ASI. Ada pula yang memberikan susu formula karena faktor ASI tidak mencukupi, padahal dikarenakan gizi si ibu yang tidak terpenuhi. Di satu sisi, di suatu pulau di NTT, saya pun pernah mendapati kepercayaan masyarakat setempat yang mempercayai bila ibu mengkonsumsi daun kelor, maka anggota keluarganya yang telah wafat tidak dapat menuju surga. Entahlah, mengapa demikian. Padahal, daun kelor sangat baik untuk dikonsumsi karena nilai gizi yang tinggi.
Terlepas dari kesadaran akan berapa banyak waktu yang perlu saya habiskan untuk benar-benar dapat melakukan edukasi dan mencegah stunting lebih luas lagi, saya merasa gembira melakukannya. Bila dikatakan ini adalah panggilan, saya juga tidak dapat mengatakannya karena saya yakin setiap orang memiliki hal yang membuat dirinya merasa terikat, bersemangat, dan senang hati mengerjakannya. Melintasi pulau, menaiki perahu ataupun bak truk untuk mencapai suatu desa dalam misi sosial, bagi saya adalah hal yang menciptakan kegembiraan serta arti hidup. Menurut saya, ini adalah langkah nyata yang lebih efektif untuk menanggulangi masalah, karena langsung ke lapangan dan menemui para ibu untuk mengedukasi mereka.
Pada akhirnya, bukan alat pengukur tinggi badan yang penting dan menjadi esensi dari proyek yang saya kerjakan, namun lebih pada edukasi dan kesadaran dari tiap ibu yang ditemui sehingga kemudian mereka mengkonsumsi makanan bergizi, memberi ASI hingga paling tidak 6 bulan, memantau tinggi badan anak, dan lain sebagainya. Itulah mengapa kita harus mendatangi rumah satu demi satu, berbicara panjang lebar, serta terus mengulang hal yang sama setiap harinya. Tidak semua hal bisa dicapai dalam waktu singkat. Namun, akan datang saat dimana kita akan merasa bersyukur dan menikmati hasil pekerjaan yang dilakukan. Untuk mewujudkan Indonesia bebas stunting, memang merupakan tugas besar dan perjalanan panjang yang harus ditempuh. Akan tetapi, hal ini layak diperjuangkan, dan dalam konteks saya pribadi, this is what brings joy to life.