Di tengah arus konsumerisme, teknologi, dan gaya hidup urban yang penuh dengan lika-liku, sebagian orang memiliki pilihan untuk menentukan seperti apa perjalanannya di dunia. Seperti agama, meski sudah turun temurun dari orangtua atau keluarga tapi setiap orang sebenarnya bisa saja berpindah ke agama lain jika memang mempercayai agama lain tersebut. Begitu pun kami. Sebelum akhirnya menjadi seorang vegan, kami adalah seorang konsumen yang tidak menyadari betapa kehidupan kami seringkali merusak ekosistem. Memunculkan penderitaan untuk makhluk hidup lain. Kami yang terdahulu adalah manusia yang tidak memahami posisi diri dan tidak mengetahui kontribusi kami terhadap kehancuran, kematian dan penderitaan makhluk hidup lainnya. Tak hanya sekadar mengkonsumsi makanan tidak sehat yang banyak merupakan produk-produk hewani, kami berdua pun pasangan yang gila belanja. Koleksi barang-barang dari kulit binatang memenuhi ruangan — entah itu tas atau sepatu.
Namun pemahaman tersebut tentu saja tidak semerta-merta datang begitu saja. Butuh proses pastinya. Paula memutuskan menjadi vegan awalnya karena alasan kesehatan mengidap sebuah penyakit selama bertahun-tahun. Ia sudah menjadi pescatarian — tidak mengonsumsi daging hewan tapi masih mengonsumsi ikan dan hasil laut — selama empat tahun sebelum jadi vegan. Kemudian ia melakukan banyak riset dan belajar tentang vegan yang ternyata bisa membantu penyembuhan segala penyakit. Lama-kelamaan juga terdorong untuk tidak lagi mendukung animal cruelty. Kemudian pelan-pelan juga mengganti hampir semua hal tidak cuma makanan. Tapi juga perawatan tubuh, makeup, dan lain sebagainya. Kami jadi sangat berhati-hati sekali kalau mau pakai atau membeli sesuatu, memastikan produk tersebut menggunakan hewan sebagai uji cobanya atau tidak. Sedangkan Teddy menjadi seorang vegan secara langsung. Mungkin terlihat instan tapi saat itu sudah pada pemahaman bahwa apa yang saya lakukan dulu sebelum menjadi vegan adalah mendukung perbuatan yang menyebabkan penderitaan untuk sesama. Kami ingin menolak sebuah ide bahwa kita harus mengonsumsi penderitaan, kesedihan, dan kematian yang menjadi faktor utama terjadinya pemanasan global. Jadi sebenarnya kita manusia secara tidak sadar mendukung kepunahan.
Kami ingin menolak sebuah ide bahwa kita harus mengonsumsi penderitaan, kesedihan, dan kematian yang menjadi faktor utama terjadinya pemanasan global.
Menjadi vegan, faktanya, tidak hanya semata-mata menjadi alasan personal. Ya, vegan membuat kami menjadi sehat. Terutama Paula yang sempat mengidap alergi dan penyakit autoimun sejak lama. Bolak-balik ke rumah sakit dan banyak konsumsi obat ternyata tidak membuat kondisinya lebih membaik. Bahkan kalau sedang kambuh di tidak bisa bergerak sampai tidak bisa berjalan. Tapi semenjak menjadi vegan penyakitnya sudah tidak pernah kambuh lagi. Akhirnya Paula pun bisa merasa hidup seperti orang normal lainnya. Hubungannya dengan makanan pun sangat baik. Makanan yang dulu tidak bisa dimakan karena alergi sekarang bisa. Sekarang Paula pun merasa jadi lebih berguna karena bisa membagikan cerita bagaimana menjadi vegan menyelamatkan hidupnya. Semua terasa berubah jadi lebih baik. Dari diri sendiri dan ke sekitar. Cara melihat dunia dan cara pandang hidup juga jadi amat berbeda. Kami merasa ini adalah sebuah pengalaman satu langkah maju yang lebih mengarah kepada sesuatu yang tidak pernah kita pertanyakan sebelumnya: Kenapa kita memakan makhluk hidup yang bahkan kita sendiri tidak tega untuk membunuhnya, kenapa bisa tidak tega? Kenapa kita harus memakai kematian sebagai bagian dari aksesoris? Kenapa kita tidak diingatkan bahayanya plastik untuk bumi? Dari hanya sebuah konsep plant-based, lambat laun kami jadi lebih terbuka untuk berpikir dan mengerti posisi manusia dalam fungsi dan juga perannya dalam menjaga kebahagiaan dan kebebasan untuk sesama. Dunia sudah tidak lagi memerlukan para pengusaha, CEO, penemu, pemimpin agama, tapi dunia sangat membutuhkan manusia yang mengerti konsep compassion towards all beings. Rasa cinta dan peduli pada semua makhluk hidup di semesta ini.
Dunia sangat membutuhkan manusia yang mengerti konsep compassion towards all beings. Rasa cinta dan peduli pada semua makhluk hidup di semesta ini.
Terlebih lagi, menjadi vegan membuat kami sangat bahagia dan puas. Kami jadi lebih bersyukur dengan hal kecil dalam hidup. Lebih bahagia karena tidak lagi mendukung kekerasan. Kami merasa tidak lagi perlu membunuh untuk asupan kami. Dan kami berdua jadi lebih terhubung karena seakan memperjuangkan ini bersama-sama. Kami pun menyadari bahwa bahagia itu sangat sederhana, hidup juga sederhana, yang membuat kita buta adalah distraksi yang membuat ilusi hidup, memberikan visi yang maya terhadap konsep bahagia, dan kita semua berlari-lari mengejar itu dengan harapan akan lebih bahagia dengan distraksi tersebut. Itu yang disebut dengan attachment, kebahagiaan semu yang diberikan karena adanya keterikatan dengan suatu konsep tertentu, bisa saja harta, barang-barang mewah, kekasih, kehidupan sosial, bisnis, agama, dan belum lagi pengakuan media sosial. Sedangkan harusnya kebahagiaan itu tidak perlu apapun. Kebahagiaan itu datang dari dalam dan inilah yang kami pelajari ketika belajar tentang yoga dan meditasi.
Semua orang bisa menjadi vegan tentunya, tapi itu pilihan hidup masing-masing. It’s so simple. Bagi kami, jika bisa hidup sehat dan bahagia tanpa membunuh makhluk hidup lain, tanpa menciptakan penderitaan, merusak hutan, bumi dan kesehatan jiwa raga, apakah perlu alasan lain untuk menjadi vegan? Contohnya seperti ini, ada anak kecil sendirian dengan seekor sapi di sebuah pulau yang penuh dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Apakah kira-kira anak kecil itu akan membunuh sapi atau sapi itu akan jadi temannya? Jadi sebenarnya vegan itu bukan pilihan bukan juga gaya hidup, tapi sebuah kesadaran. Sebuah tingkat kesadaran akan kasih. Karena vegan itu menyangkut the way of living dimana ada segi kesehatan, lingkungan dan juga hewan. Jadi kalau ada yang bertanya, “Gimana sih biar vegan, gue susah banget nggak makan daging?” “Ah nggak bisa sih gue, gue suka banget keju,” “Lho, tapi nanti gue lemes,” “Lihat bakmi aja udah ngiler, nggak bisa sih kalau nggak makan daging!” Yang menjadi masalah adalah bukan susahnya menjadi vegan, tapi ego orang itu sendiri.
Jika bisa hidup sehat dan bahagia tanpa membunuh makhluk hidup lain, tanpa menciptakan penderitaan, merusak hutan, bumi, dan kesehatan jiwa raga, apakah perlu alasan lain untuk menjadi vegan?
Sebaliknya, mereka yang menjadi vegan pun terkadang tetap memiliki ego masing-masing. Tidak semua, hanya sebagian orang. Vegan itu pada dasarnya adalah sebuah label dan sebuah label itu tidak baik karena akan menimbulkan adanya perbedaan dan sebuah konsep eksklusif dimana itu adalah ego manusia juga untuk mengistimewakan dirinya sendiri di tengah manusia-manusia yang mereka sebut “berdosa” lainnya. Menjadi vegan adalah tahap awal dalam kesadaran sebagai homo sapiens di tengah hidup manusia bersama-sama dengan semua makhluk hidup. Kesadaran bisa disebut dengan “mulai membuka mata”. Tapi memang ada beberapa orang yang merasa spesial dengan label vegan dan berlari kesana kemari menghakimi semua orang dengan maksud dan tujuan yang mungkin saja menyangkut sebuah komunitas dan organisasi tertentu. Ini mirip dengan konsep MLM (multi level marketing). Bukan hal yang buruk, tapi wajar. Namanya juga manusia. Sama saja dengan agama, ada orang-orang yang memeluk agama tapi menebar kebencian tapi orang tetap kan memeluk agama tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya tanpa perlu mengarahkan ke hal negatif.
Menjadi vegan adalah tahap awal dalam kesadaran sebagai homo sapiens di tengah hidup manusia bersama-sama dengan semua makhluk hidup.