Society Art & Culture

Sastra dalam Berkehidupan

Gunawan Maryanto

@gunawanmaryanto

Penyair, Penulis & Sutradara Teater

Jika mendengar kata “sastra” apa yang terlintas di benak kita? Apakah nama-nama para penulis seperti W.S Rendra, Chairil Anwar, atau Pramoedya Ananta Toer? Atau justru yang terbayang adalah kata-kata yang mendayu-dayu dengan makna yang sulit untuk dicerna? Seiring berkembangnya zaman, perilaku masyarakat tidak lagi seperti ketika para penyair lama itu masih ada di dunia yang terbiasa menikmati karya sastra di keseharian. Kini hadirnya dunia digital bahkan telah mengurangi sentuhan kita terhadap buku-buku. Roda kehidupan yang melaju sangat cepat membuat kita lupa menyisipkan waktu untuk menikmati karya sastra dalam kehidupan sehari-hari. Seakan karya sastra tidak memengaruhi aspek apapun dalam hidup. 

Kami pun berdiskusi dengan Gunawan Maryanto, seorang sutradara dan aktor teater yang meraih penghargaan lewat perannya memainkan peran Widji Thukul di film “Istirahatlah Kata-Kata” serta penulis dan penyair yang telah menerbitkan segudang buku, puisi, dan cerpen. 

 

Selama puluhan tahun berada dalam dunia kesusastraan, apa yang Anda dapatkan dari sastra?

Bertahun-tahun berada dalam dunia sastra, aku seringkali melihat seluruh kehidupan yang dijalani, hal-hal kecil di sekitar, bagaikan sebuah narasi. Karya sastra membantuku memaknai kehidupan sehari-hari, serta memahami sebab, akibat, dan juga logika berbahasa yang berguna untuk meningkatkan kemampuan dalam bidang keaktoran di seni pertunjukan. Dari karya sastra, kita dapat mempelajari banyak hal asal kita mau menghayatinya lebih dalam. 

 

Mengapa kita perlu menghayati sebuah karya sastra secara mendalam?

Menghayati karya sastra bisa memengaruhi sikap dan pikiran kita dalam rangka mengenal diri. Pada dasarnya, kita selalu butuh panduan, butuh role model. Sejak kecil kita belajar dari meniru. Aktor saja begitu. Belajar dari meniru. Sehingga secara tidak sadar, kita selalu punya toko yang disasar untuk dijadikan acuan. Contohnya aku sebagai penulis. Aku punya penyair favorit sebelumku yang dijadikan panduan. Kemudian di satu titik aku jadi menemukan jati diri. Itu adalah cara belajar kita yang sangat alami. Layaknya dulu kisah-kisah Mahabarata, Ramayana masuk ke Jawa. Kemudian banyak orang mengidentifikasi dirinya, “Wah aku Arjuna. Dia Semar.” Sebegitunya karya sastra bisa jadi panduan dalam berkehidupan jika kita mau menelisik lebih dalam.

Karya sastra bisa jadi panduan dalam berkehidupan jika kita mau menelisik lebih dalam.

 

Lalu apa lagi manfaat yang didapatkan dari menikmati karya sastra?

Menikmati beragam karya yang berbeda sebenarnya bisa membantu kita untuk meningkatkan sikap toleransi terhadap budaya, kehidupan atau karakter orang yang berbeda-beda. Memang, setiap pembaca, pendengar atau penonton punya hak untuk seleksi mana karya yang ingin dinikmati. Itu sudah terbentuk dalam diri kita. Tetapi kalau mau jadi pembaca yang tidak sekadar jadi pembaca, pendengar atau penonton, kita mesti punya keterbukaan untuk menikmati tema-tema yang barangkali tidak akrab dengan kita. Ini supaya kita bisa mengenal cerita atau isu yang lebih luas lagi sebab karya sastra bisa jadi jendela untuk kita menemukan yang lain di luar rumah. Kalau hanya menikmati apa yang disuka saja tidak akan menambah pengetahuan dan kesadaran. Hanya akan semakin menebalkan apa yang selama ini disukai. 

Butuh proses untuk bisa terbuka dan memang biasanya harus diawali dengan sesuatu yang paling dekat. Misalnya, aku suka membaca karya sastra Jawa. Tapi kemudian aku tidak berhenti di mitologi Jawa. Lama-lama aku membandingkan mitologi Jawa dengan mitologi Nordik, Yunani, Romawi kemudian bermain-main di sana. Kalau aku membatasi dengan hanya baca buku Jawa, aku hanya akan tahu itu saja. Jadi karya sastra seperti buku itu bagaikan jodoh. Beli buku di saat yang tidak tepat meski suka sekali dengan buku itu, kita pasti tetap tidak bisa menghayati isinya. Seperti juga bertemu teman. Pertama bertemu mungkin tidak suka. Merasa dia menyebalkan. Tapi kalau kita mau terbuka, kenal sedikit-sedikit, lama-lama bisa merasa ternyata dia punya sisi yang menarik, orangnya asyik juga. Kalau tidak mau terbuka, kita akan ada di dalam lingkaran, aman dan nyaman berada di lingkungan kita saja. 

 

Dari pengamatan Anda, seperti apa perubahan perilaku masyarakat terhadap karya sastra di era modern ini?

Memang perkembangan peradaban memberikan pengaruh pada pergeseran karya sastra. Kini kita seperti tidak terbiasa baca yang tebal-tebal karena bacaan yang ada di dunia digital tidak panjang-panjang. Satu dan lainnya juga seolah berebut untuk dibaca. Membuat kita jadi pembaca cepat. Begitu juga dengan seni pertunjukan. Dulu orang betah untuk nonton wayang delapan jam. Sekarang susah sekali untuk duduk fokus menyaksikan pertunjukan lebih dari satu setengah jam jam. Semakin lama film durasinya semakin cepat.

Semakin ke sini, keilmuan seni juga semakin berjarak dengan keseharian. Sementara dulu tidak. Awalnya karya sastra bagian dari kehidupan sehari-hari. Tapi karena pengembangan dan penjelajahan masing-masing penulis membuat kata sastra seolah-olah seperti sesuatu yang berat untuk dikonsumsi. Kata “sastra” dihubungkan dengan kata-kata sulit, penuh dengan pemikiran yang rumit dan akan susah mengunyahnya. Ada banyak sekat yang semakin tajam karena peradaban dan lain-lain. Seni pertunjukan saja sekarang sudah dipisah-pisah. Ada seni musik, seni tari, seni teater. Dulu karena semuanya digabung, para aktor bisa bernyanyi, menari, melawak, menulis, bahkan menggambar. Memang masing-masing orang punya spesialisasinya. Tapi bukan berarti kita tidak bisa mempelajari disiplin ilmu yang lain. Itu yang kemudian jadi semakin jauh dari keseharian karena sudah terbayang susahnya dulu.

 

Jadi, apakah sebenarnya masyarakat sudah tidak tertarik lagi menikmati sastra?

Kebutuhan untuk menikmati sastra tidak pernah berhenti. Kebutuhan untuk didongengi, dibacakan, atau diceritakan akan selalu ada sebab pada dasarnya manusia selalu tertarik dengan kehidupan orang lain. Berbagai tradisi sudah membuktikan adanya kebiasaan bergunjing disebabkan oleh ketertarikan pada kehidupan orang di luar kita. Dan sastra menyediakan itu. Saat menikmati karya sastra, kita memasuki semesta kehidupan yang lain. Kita selalu tertarik kalau karakter kuat penokohannya kuat. Itu juga alasan mengapa buku biografi bisa laris. Kita ingin tahu kenapa dia bisa sukses, bagaimana masa kecilnya yang menuntun pada kesuksesan. 

Kebutuhan untuk menikmati sastra tidak pernah berhenti. Kebutuhan untuk didongengi, dibacakan, atau diceritakan akan selalu ada sebab pada dasarnya manusia selalu tertarik dengan kehidupan orang lain.

 

Bagaimana cara membuat sastra menjadi bagian keseharian kita?

Karya sastra perlu didekatkan kembali dengan keseharian kita. Mesti dibukakan jalan dengan berbagai cara. Tidak dengan menolak perkembangan zaman tapi justru bagaimana memainkan apa yang ada sekarang untuk jadi akses mengembalikan ketertarikan pada sastra. Sebab yang aku bilang tadi, sastra tidak ditulis dari antah berantah. Seperti karya Pram (Pramoedya Ananta Toer —red) sebenarnya tidak sesangat itu. Dia juga membicarakan tentang kehidupan sehari-hari. Inilah yang mau dikembalikan lewat Sandiwara Sastra yang baru-baru ini aku sutradarai. Disiarkan lewat podcast, Sandiwara Satra diharapkan bisa jadi jalan untuk menghubungkan kembali masyarakat dengan karya sastra sebagaimana dulu ketika sandiwara radio sempat hidup di tengah-tengah kita.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023