Secara filosofis sampah adalah sesuatu yang alami dan normal berada di kehidupan karena begitulah hukum alam. Ada input dan output. Namun, pertanyaannya adalah apa yang harus kita lakukan dengan output inI? Karena secara definisi, sampah adalah sisa dari kegiatan atau aktivitas manusia. Ia merupakan sisa dari konsumsi dan kegiatan produksi manusia. Menurut Paul Connett, Bapak zero waste dunia, “Waste is problem of design. Nature doesn’t make waste. Waste is from human’s activity”. Jadi masalah sampah adalah masalah desain. Masalah kita dalam mengatur, mengelola, merancang karena alam sejatinya tidak menghasilkan sampah. Semua yang berasal dari alam memiliki makna dan manfaat. Apel atau dedaunan yang jatuh, misalnya, berfungsi untuk secara alami menjaga kelembapan tanah. Manusialah yang membuat ini menjadi sampah karena tidak membangun sebuah mekanisme, sistem dan desain yang baik sehingga sampah tidak bisa kembali ke siklusnya.
Masalah sampah adalah masalah desain. Masalah kita dalam mengatur, mengelola, merancang karena alam sejatinya tidak menghasilkan sampah.
Ekonomi kita sekarang ini masih bersifat linear. Kita mengambil sumber dari alam, melakukan produksi dan konsumsi, lalu sisanya kita buang dan menumpuk jadi gunung. Ironisnya, gunung dari alam kita gali tapi kemudian kita menciptakan gunung baru di tengah kota sebagai aktivitas manusia. Inilah ekonomi linear yang tidak mencerminkan kehidupan —yang sebenarnya sirkular. Hakikatnya, kita harus bisa memanfaatkan kembali yang menjadi sisa konsumsi dan memastikan agar kemudian bisa kembali pada siklusnya. Tidak justru menumpuk di TPA, apalagi membuangnya sembarangan.
Dari awal sebenarnya kita harus mendesain cara dan proses produksi dan konsumsi terlebih dulu. Contohnya dengan membuat kemasan yang ramah lingkungan dan menerapkan pola konsumsi yang ramah lingkungan. Kalau menjadi sampah, kita juga harus merancang bagaimana agar sampah tersebut bisa kembali bermanfaat. Sisa-sisa sampah organik harus dipastikan bisa diproses untuk kembali ke tanah karena dia bisa menjadi protein tinggi untuk kesuburan tanah. Begitu juga dengan besi dan materi dari alam lainnya. Kita harus memikirkan bagaimana mereka dimanfaatkan kembali. Ibarat yin dan yang, semuanya harus bisa seimbang sehingga sirkular ekonomi tercipta.
Sudah 20 tahun terakhir saya terlibat di persampahan. Saya merasa menjadi seseorang yang beruntung karena memiliki pengalaman hidup di desa dekat dengan alam dan di kota dengan segala kemajuannya yang pesat. Maka, saya bisa membandingkan kedua pengalaman tersebut sebagai motivasi untuk mencari solusi atas sampah. Ketertarikan saya pada persampahan diawali pada saat saya hendak lulus SMA. Kala itu, saya tidak tahu apa yang mau saya lakukan di masa depan. Hingga akhirnya saya sempat berdoa, menanyakan pada Tuhan jalan apa yang harus saya tuju untuk masa depan yang lebih baik. Seperti magis, setelah itu saya menonton berita di TV tentang sampah. Konstan ada sesuatu dalam diri yang mendorong saya untuk berkontribusi dalam persampahan. Kemudian saya pun mulai terlibat persampahan dari saat masuk kuliah jurusan teknik lingkungan.
Sejak itu saya tidak berhenti belajar. Ternyata sampah hanyalah permukaan ujung es yang mengerucut pada berbagai aspek hidup lain yang lebih besar. Jika dirunut, masalah sampah berasal dari tidak adanya penegakan hukum. Kita punya undang-undang ada tapi tidak ada ketegakan. Kedua, tidak adanya kejelasan dan sistem kemitraan antara pihak, khusunya hubungan antara peran swasta dengan pemerintah dalam solusi persampahan. Ketiga, mekanisme pembiayaan yang kurang. Anggaran sampah selalu kalah prioritas. Pemerintah pusat dan daerah tentu saja akan lebih memberikan prioritas pada ekonomi atau pendidikan ketimbang persampahan.
Ternyata sampah hanyalah permukaan ujung es yang mengerucut pada berbagai aspek hidup lain yang lebih besar.
Lalu, kalau digali lebih dalam lagi masalah sampah ternyata berhubungan erat dengan sistem birokrasi, KKN, hingga sistem politik yang populis. Penegakan hukum seharusnya tidak bersifat populer. Bupati dan Walikota kebanyakan tidak berani tegas pada masyarakatnya karena takut mereka tidak lagi terpilih karena kebijakan tentang sampah seringnya tidak bersifat populis. Selain itu, sistem masyarakat yang mementingkan kelompok juga berperan dalam lambatnya pencarian solusi akan sampah. Semua mendahulukan kepentingan kelompoknya masing-masing dan tentu saja sampah berada di urutan terakhir.
Namun, jika digali lagi lebih dalam, ternyata masalah sampah adalah masalah kita sebagai seorang manusia. Mahatma Gandhi pernah berkata, "Bumi ini cukup untuk semua manusia yang diizinkan lahir ke dunia. Tapi bumi tidak cukup untuk satu orang yang tamak." Ini menjadi refleksi yang mendalam untuk diri kita sendiri. Kalau kita ingin menjadi manusia yang matang, dewasa, dan paham bahwa kita punya kehidupan hubungan sosial saling mendukung dan bermasyarakat, seharusnya kita tidak merugikan siapapun. Apapun profesi kita di masyarakat.
Mahatma Gandhi pernah berkata, "Bumi ini cukup untuk semua manusia yang diizinkan lahir ke dunia. Tapi bumi tidak cukup untuk satu orang yang tamak."
Faktanya sekarang, kecepatan kerusakan lingkungan sekarang lebih cepat dari kecepatan solusinya. Kecepatan kerusakan bisa terjadi karena adanya kekuasaan dan kapital yang sangat kencang melaju. Sedangkan solusinya sangat minim. Untuk mengadakan penanaman pohon saja, pencarian dananya sangatlah sulit. Jadi, menurut saya sekarang kita semua perlu merefleksikan kembali segala keputusan hidup. Apa ini masa depan yang ingin kita wariskan ke anak cucu untuk kehidupan yang lebih baik? Apapun pekerjaan atau status sosialnya, keputusan kita sangatlah berpengaruh menentukan masa depan manusia di bumi.
Faktanya sekarang, kecepatan kerusakan lingkungan sekarang lebih cepat dari kecepatan solusinya.