Bali merupakan pulau yang bergantung pada sektor pariwisatanya. Sudah menjadi keharusan untuk menjaganya tetap indah. Salah satunya adalah dengan menjaga kebersihannya dari sampah. Sedari dulu sebenarnya kebiasaan masyarakat di pedesaan masih taat untuk membersihkan dan membuang sampah ke tempatnya. Namun, perubahannya di masa modern ini adalah material sampah itu sendiri. Material sampah banyak yang terbuat dari plastik sekali pakai. Sayangnya, perubahan tersebut tidak dibarengi dengan komunikasi yang informatif tentang dampaknya terhadap aspek ekologis dan pada kehidupan manusia sendiri.
Masalah perubahan material sampah yang didominasi oleh plastik sekali pakai pun tidak hanya terjadi di pulau Bali tapi di berbagai kota lainnya bahkan di banyak negara lain. Faktanya, plastik memang diciptakan sebagai langkah ekonomis dan praktis. Bahannya yang tahan lama dan lebih murah jadi alasan plastik jadi pilihan untuk memudahkan kehidupan sehari-hari. Tapi, ia sesungguhnya diciptakan untuk dapat dipakai berkali-kali. Tidak hanya untuk sekali pakai. Di zaman modern, konsep pemakaian plastik akhirnya disalahgunakan oleh masyarakat. Selain hanya dipakai satu kali, kita jadi terlalu mengandalkan kehadiran plastik dan menggunakannya terlalu banyak dan sering. Padahal ketahanannya yang bisa dalam jangka waktu lama bisa merusak alam karena ia akan mengendap dan baru ratusan tahun terurai.
Penggunaan kantong kresek di Indonesia mencapai 500 juta setiap harinya. Sementara sedotan plastik mencapai 3 juta setiap harinya. Padahal seringkali kita tidak membutuhkan kantong plastik atau sedotan. Seperti ketika membeli air mineral dengan kemasan botol plastik di restoran. Saat disajikan, botol tersebut datang dengan sedotan plastik. Kenapa? Penggunaan plastik yang seharusnya ekonomis tidak lagi begitu dengan penggunaan berlebih. Apalagi penggunaan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Begitu juga dengan penggunaan plastik sachet. Kalau dipikirkan dan diperhitungkan kembali, menggunakan produk sachet jauh lebih boros ketimbang produk botol besar. Isinya bisa jadi lebih murah ketimbang produksi kemasannya. Belum lagi biaya ekologis yang harus ditanggung nanti karena kemasan sachet susah untuk didaur ulang.
Masalahnya, di masyarakat kita seringkali tidak memikirkan dampak dari perbuatan. Banyak dari kita belum menyadari butuh atau tidaknya menggunakan satu produk. Mereka belanja dengan kantong plastik, sampai di rumah ternyata tidak dibutuhkan. Kalau melihat plastik sebagai barang ekonomis seharusnya kita bisa melihat dari fungsi dan manfaatnya. Sayangnya, produksi plastik terus berjalan tanpa diselaraskan dengan informasi mengenai dampaknya bagi kehidupan manusia. Biaya produksi boleh jadi murah tapi biaya tersebut tidak termasuk biaya mengolah sampah dan biaya dampak ekologi. Kita hanya melihat nilai ekonomis dari plastik dari segi praktis. Di Indonesia, edukasi jadi faktor utama yang memperburuk situasi. Sementara di negara-negara maju, kebutuhan dan praktik-praktik untuk mendaur ulang masih jarang dilakukan. Mereka bahkan membuangnya ke negara-negara berkembang.
Nyatanya, ada berbagai alternatif pembungkus atau wadah pengganti plastik yang telah turun temurun kita pakai seperti daun-daunan. Selain itu, kita bisa mulai dari hal yang sederhana seperti ketika konsumsi buah-buahan. Banyak buah-buahan saya sudah terlindungi oleh kulitnya. Jadi kenapa harus kita kemas dengan plastik sekali pakai lagi? Tapi sebenarnya membicarakan plastik adalah membicarakan sistem. Seperti yang disampaikan oleh Dandhy Laksono bahwa kalau mau mengatasi masalah plastik harus mengubahnya dari sistem. Contohnya kebutuhan impor yang mengharuskan kita menggunakan banyak plastik untuk kemasan dan lain-lain. Kalau pakai produk dalam negeri, saya percaya penggunaan plastik pun bisa diminimalisir.
Sebelum pandemi, saya senang sekali Bali jadi provinsi pertama yang memiliki regulasi untuk tidak memperbolehkan penggunaan plastik sekali pakai. Hanya saja sejak pandemi, aturan tersebut seperti dikesampingkan karena prioritas masyarakat bergeser. Ini tidak bisa disalahkan juga mengetahui kita sedang berada dalam krisis kesehatan. Tapi alangkah baiknya jika kita tetap bijak dalam menggunakan plastik sekali pakai. Jangan sampai kita menciptakan masalah baru dari masalah yang sudah ada. Nanti pandemi selesai tapi sampah di TPA berlebih.
Oleh sebab itu, kita butuh menumbuhkan kesadaran untuk mengembalikan fungsi plastik sebagai benda ekonomis yaitu berarti menggunakannya berulang-ulang. Maka, desainnya juga harus mendukung. Intinya bukanlah meniadakan plastik tapi lebih bijak dan sadar dalam menggunakan plastik sekali pakai. Inilah alasan hadirnya film Pulau Plastik yang tadinya berasal dari serial film dokumenter menjadi film layar lebar, mengingat semakin besarnya isu lingkungan. Terlibat di dalamnya, saya justru lebih banyak belajar ketimbang mengajarkan. Saya beruntung sekali bisa bergabung untuk membuat sebuah media yang bisa membagikan inspirasi dalam meningkatkan kesadaran terhadap perilaku ramah lingkungan. Saya bertemu orang-orang hebat yang memperkaya wawasan. Saya juga bisa belajar memahami pola pikir korporasi, pemerintah, sehingga memiliki cara pikir baru untuk mencapai titik temu yang bisa bermanfaat untuk semua kalangan.