Industri film Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Sejumlah data statistik menyatakan pencapaian ini dengan menyertakan angka peningkatan jumlah judul yang beredar, ragam genre yang ditawarkan, banyaknya penonton, hingga membandingkannya dengan kuantitas layar bioskop dan saluran digital yang tersebar di tanah air.
Dengan makin tidak terbatasnya akses terhadap film di era digital ini, penonton pun mendapat peluang untuk lebih bebas mengkonsumsi segala tontonan yang mereka inginkan, yang sejatinya telah melalui proses penyensoran terlebih dahulu untuk menilai apakah film tersebut layak disiarkan atau tidak. Walaupun dimaksudkan untuk memberi masyarakat tayangan yang berkualitas dan mendidik, ada kalanya sensor dapat membuat tuangan ide sineas yang ingin karyanya dapat dinikmati khalayak sebanyak-banyaknya, menjadi terbatas pada tingkat usia atau golongan tertentu saja.
Menanggapi banyaknya konten siaran yang tidak terbendung asal mulanya serta limitasi lembaga sensor untuk dapat menilai semuanya, proses sensor film pun mulai dipertanyakan terkait kebutuhan dan relevansinya saat ini.
Di suatu sudut kafe yang diliputi suara riuh rendah pengunjung, GREATMIND berbincang dengan sutradara, produser, sekaligus penulis naskah film Joko Anwar, mengenai proses sensor film yang selama ini disinyalir membatasi ruang ekspresi para sineas dalam berkarya.
Apakah benar sensor film masih relevan untuk diterapkan?