Aktivitas keseharian kita tidak bisa lepas dari kegiatan konsumsi. Berbicara mengenai konsumsi, kegiatan jual dan beli sudah pasti menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan di dalamnya. Ada yang membutuhkan, ada yang menyediakan. Kegiatan yang diawali dengan transaksi barter hingga beralih ke mata uang ini pun makin berkembang dalam konteks permintaan dan penawaran yang dilibatkan untuk membuat keputusan akhir pembelian serta kepuasan pelanggan. Bila dahulu sekali saat kita ingin membeli sekilo buah berarti kita hanya akan menerima buah dalam kuantitas yang dimaksud, kini, membeli buah sebanyak sekilo dapat berarti ‘gratis mendapatkan juga’ kantong plastik pembungkus buah untuk memudahkan kita membawa belanjaan pulang – namun menyulitkan bumi kita mendaur ulang zat anorganik yang terkandung di dalamnya.
Selama ada kegiatan jual beli, maka selama itu pula orang akan membutuhkan pembungkus berikut kantong yang membantu untuk membawa barang belanjaan. Kantong plastik memang erat kaitannya dengan kegiatan konsumsi kita. Kegiatan jual beli pun perlu digalakan dalam menumbuhkan perekonomian negara. Namun masalahnya, bila diiringi dengan pertumbuhan penggunaan kantong plastik juga, dampak positif yang diharapkan justru akan sulit dicapai. Akan muncul masalah lain yang berkaitan dengan lingkungan, kesehatan, hingga masalah sosial yang menanti dalam jangka panjang kedepannya. Menimbang kegiatan jual beli akan selalu ada dalam denyut nadi kehidupan manusia, salah satu hal yang mungkin kita lakukan untuk memastikan masa depan lingkungan tetap terjaga adalah dengan mengubah kebiasaan kita dalam menggunakan kantong plastik. Bila dahulu saat kantong plastik belum umum kita mendapati ibu atau nenek kita selalu membawa tas belanjaan ke pasar, kini mengapa kita tidak lagi melakukannya?
Alasan kepraktisan tampaknya bukan kata yang tepat. Usai kantong plastik tersebut digunakan, kita justru akan mendapat PR untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan padanya. Apakah akan dibuang? Akan kita simpan? Ataukah akan gunakan kembali? Masing-masing pertanyaan tersebut pun memiliki buntut yang lebih panjang lagi. Bila dibuang, ia akan memenuhi wadah sampah kita dan mencemari lingkungan karena kita tahu tidak mudah bagi kantong plastik untuk hancur. Sekalipun hancur di tanah atau laut, terdapat partikel mikroplastik yang justru makin berbahaya karena dapat masuk ke tubuh kita melalui sumber makanan yang kita konsumsi, misalnya garam ataupun ikan.
Bila kita memutuskan untuk menyimpan atau menggunakan kembali, apakah kita memiliki tempat yang cukup untuk menampung semua kantong plastik hasil belanjaan tersebut? Biasanya, alih-alih memanfaatkan kantong plastik yang telah dimiliki, kebanyakan dari kita tetap mengandalkan kantong plastik baru yang didapat secara gratis dari toko. Alhasil, jumlah timbunan kantong plastik di rumah pun menumpuk. Adakah yang menyukainya? Kapan kita akan menggunakannya kembali? Lantas, untuk keperluan apa?
Untuk memulainya, pelarangan penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai di pasar tradisional dan ritel dapat menjadi langkah awal adaptasi dan pembiasaan diri akan perilaku berbelanja masyarakat. Dari sudut pandang penjual, pelarangan ini justru akan menguntungkan mereka karena tidak perlu membeli kantong plastik belanjaan untuk diberikan secara gratis ke konsumen. Sebaliknya dari sudut pandang pembeli, adanya aturan dari pemerintah dapat dianggap sebagai ‘penolong’ yang membuat niat mengurangi penggunaan plastik dapat semakin mantap. 90% dari kita pasti sudah menyadari akan bahaya dari plastik. Masalahnya, tidak mudah juga bagi kita untuk menolak sodoran kantong plastik dari berbagai sumber. Bila saja dari pihak penjual tidak menyediakan kantong plastik, sudah tentu kita akan selalu sedia tas belanjaan yang dapat berulang kali dipakai di dekat kita. Beruntung, Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan sejumlah Pemerintah Daerah lainnya akan segera menerapkan aturan pelarangan penggunaan kantong plastik belanja untuk diaplikasikan secara merata di pasar tradisional dan ritel setempat. Tentunya, sejumlah kegiatan sosialisasi akan ada untuk mengiringi pelaksanaan aturan ini. Semakin sering sosialisasi dilakukan, maka akan makin mudah penerimaan masyarakat pada kebijakan yang diterapkan. Kadangkala, suatu hal terasa tidak ‘enak’ hanya karena kita belum terbiasa. Beri waktu, beri sedikit usaha. Melakukan pembiasaan itu tidak harus selalu terburu-buru. Pelan asal pasti, itu akan lebih baik daripada tidak sama sekali.
Bila dikatakan kesadaran masyarakat akan bahaya kantong plastik masih kurang, bagi saya hal tersebut tidak juga. Masyarakat sudah sangat peduli akan dampak buruk. Ini hanyalah masalah waktu dan pembiasaan saja. Tidak perlu takut bagi pedagang ataupun pelaku industri plastik akan adanya pelarangan ini. Tertutupnya satu pintu akan membuka pintu lain. Di Banjarmasin contohnya, saat pelarangan kantong plastik diterapkan, tas purun, atau tas tradisional setempat yang terbuat dari anyaman eceng gondok dan ilalang menjadi meningkat penjualannya. Masyarakat mengalihkan pilihan mereka karena kantong plastik dilarang, namun justru meningkatkan UKM lokal. Tidak selamanya yang mudah dan praktis itu baik.