Society Planet & People

Piring, Bumi, dan Manusia

Tanpa kita sadari, tahun 2020 akan segera berakhir. Di tahun di mana semua orang merasakan ketidakpastian ini, ada satu hal yang pasti, bumi telah menunjukkan betapa rapuhnya kita sebagai umat manusia. Namun, pandemi bisa jadi hanya permulaan saja. Bagaimana jika bencana iklim, yang disebut oleh Bill Gates dan para ilmuwan akan lebih buruk daripada pandemi yang sekarang kita alami benar benar terjadi? Apa yang bisa kita lakukan?

Ketika kita berpikir tentang ancaman bencana iklim, kita cenderung membayangkan cerobong asap dari pabrik atau transportasi seperti mobil dan pesawat. Tapi pada kenyataannya, kebutuhan kita akan makanan merupakan salah satu bahaya terbesar untuk bumi kita. Sudah banyak jurnal, laporan dan berita mengenai bagaimana konsumsi makanan kita berpengaruh terhadap krisis iklim yang sedang terjadi. Yang mengkhawatirkan, banyak orang yang masih tidak percaya akan hal ini. 

Kebutuhan kita akan makanan merupakan salah satu bahaya terbesar untuk bumi kita.

Jika kita bandingkan, tentu saja menyalahkan pabrik dan perusahaan besar akan lebih mudah dibanding mengakui bahwa apa yang kita makan berpengaruh terhadap kekacauan yang ada di dunia ini. Terlebih, kita semua sangat mencintai makanan kita. Makanan merupakan sesuatu yang sangat emosional, bahkan dari sebelum kita lahir kita sudah belajar untuk makan dari dalam perut ibu kita. Makanan sudah menjadi bagian dari diri kita dan untuk menerima kenyataan bahwa apa yang kita makan selama ini telah merusak bumi, kita semua seakan tidak ingin hal ini benar- benar nyata. Namun itulah yang terjadi, dan sayangnya kita tidak suka mendengar berita buruk mengenai kebiasaan buruk serta cenderung lebih senang mendengar berita baik mengenai kebiasaan buruk.

Pada saat kita makan, pernahkan kita bertanya pada diri sendiri, proses apa saja yang harus dilalui agar pada akhirnya suatu makanan sampai di atas piring kita? Dengan kehidupan sebagai orang  yang tinggal di kota urban seperti Jakarta yang lebih dinamis dan semuanya serba cepat, kita lupa bahwa setiap makanan yang ada di piring kita melewati proses yang panjang sampai akhirnya bisa dinikmati. Dari mulai lahan yang digunakan, sumber daya manusia,  transportasi hingga proses pengolahan, makanan yang kita makan setiap hari melewati proses yang tidak jarang merusak lingkungan pada perjalannanya. 

Setiap makanan yang ada di piring kita melewati proses yang panjang sampai akhirnya bisa dinikmati.

Dengan populasi yang semakin banyak dan kebutuhan makanan yang semakin tinggi, apa yang kita konsumsi sangat  berpengaruh besar terhadap lingkungan kita. Bayangkan untuk menyediakan makanan 7,8 milliar orang setiap hari, dibutuhkan lahan, sumber daya manusia dan transportasi yang sangat besar. Bahkan berdasarkan data dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan untuk menyediakan makanan kita bertanggung jawab untuk 24% total gas emisi dunia, hampir dua kali lipat dari emisi gas yang dihasilkan dari semua jenis transportasi digabungkan seperti mobil, kereta, pesawat dan transportasi lainnya. Ini sangat menggelisahkan, setidaknya untuk saya!

Salah satu contoh yang kita bisa dengar dan baca adalah pada saat beberapa waktu yang lalu masyarakat Indonesia dibuat marah karena melihat hutan di Papua ditebang habis untuk menanam pohon kelapa sawit yang tidak hanya merusak lingkungan tapi juga masyarakat asli Papua. Namun pertanyannya adalah, apakah perusahaan minyak kelapa yang bersalah ataukah kita sebagai salah satu pengguna minyak kelapa yang seharusnya bertanggung jawab? Mungkin kita berpikir dengan menggunakan 1 liter minyak kelapa sawit selama satu minggu tidak terlihat seperti merusak. Namun bagaimana jika semua orang di Indonesia melakukan hal yang sama? Itu sama saja berarti kita menggunakan 267 juta liter minyak kelapa sawit setiap minggu! Untuk menghasilkan minyak kelapa sebanyak itu, tentu saja banyak yang harus dikorbankan, dan salah satunya hutan kita. 

Namun ada hal yang lebih mengkhawatirkan lagi. Beberapa tahun ini, salah satu industri yang sering menjadi perhatian para ilmuwan, pemerintah hingga media adalah peternakan hewan. Karena proses panjang yang diperlukan untuk membuat satu porsi daging ternyata sangatlah tidak effisien dan bahkan mengancam kelangsungan hidup manusia. Dari mulai air dan lahan yang digunakan hingga emisi gas yang dihasilkan, peternakan hewan menjadi salah satu penyumbang tertinggi mengapa banyak kebakaran hutan, dan krisis iklim yang terjadi diseluruh dunia.

Tapi bagaimana bisa? Pernahkan terpikir sebelumnya, bagaimana kita bisa memberi makan hewan ternak yang kita saat ini miliki? Ada sekitar 19,6 miliar ayam, 1,4 miliar sapi, dan 980 juta babi yang dipelihara sebagai hewan ternak diseluruh dunia. Jika kita jumlahkan semuanya, jumlah mereka lebih banyak bahkan dari gabungan manusia dan semua hewan liar lainnya. Peternakan hewan saat ini menggunakan 77% dari total lahan pertanian dan sayangnya hanya bisa menyediakan 18% kalori yang dibutuhkan dunia. Bagaimana tentang lahan yang digunakan untuk menanam kedelai atau padi-padian, bukankah itu hasilnya untuk manusia? Lebih dari 40% hasil biji-bijian dan padi-padian tidak langsung dikonsumsi untuk kita melainkan untuk peternakan hewan. Inilah yang menjadi masalah utama kita. 

Setelah pandemi ini berakhir, kita semua berharap bahwa manusia bisa belajar dari kesalahan yang sebelumnya. Dan hal ini bukan hanya untuk diri kita sendiri tapi untuk masyarakat dunia. Kini saatnya kita mencoba mengoreksi diri apakah kita adalah bagian dari masalah atau bagian dari solusi? Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan untuk mengurangi atau bahkan mencegah kerusakan atau bencana iklim yang akan terjadi. Dan salah satunya adalah dengan apa yang kita taruh di piring kita.

Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan untuk mengurangi atau bahkan mencegah kerusakan atau bencana iklim yang akan terjadi. Dan salah satunya adalah dengan apa yang kita taruh di piring kita.

Mengganti makanan kita menjadi sepenuhnya nabati untuk alasan lingkungan dan mengurangi konsumsi, mungkin terdengar sangat sulit atau bahkan mustahil. Tapi pada kenyataannya tidaklah sesulit itu. Kita tinggal di negeri yang memiliki beraneka ragam sayuran, buah buahan, umbi-umbian, padi-padian hingga kacang-kacangan. Saatnya kita berpikir ulang mengenai makanan yang kita konsumsi setiap hari, karena apa yang kita makan setiap hari bisa menyelamatkan atau mungkin sebaliknya membawa bencana krisis iklim untuk umat manusia. 



































































 

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023