Pada saat masih duduk di bangku kuliah, saya mendapat tugas untuk membuat sebuah proyek yang berhubungan dengan isu dalam keseharian. Saya pun tertarik untuk mengambil topik lingkungan. Dalam prosesnya, ternyata riset saya menunjukkan bahwa krisis iklim adalah masalah yang berada dalam keadaan darurat. Sayangnya, selama ini masih banyak orang yang merasa krisis iklim hanyalah seputar orang utan atau beruang kutub saja. Sesuatu yang terkesan jauh dari kehidupan kita. Padahal tidaklah begitu. Kalau kita mau menelusuri isu ini lebih jauh, masalah lingkungan sangat berdampak pada kehidupan kita, manusia.
Ada teori yang disebut Maslow Hierarchy of Needs yang membahas tentang empat unsur utama kebutuhan manusia yaitu udara, air, makanan, dan keamanan. Keempat hal ini, faktanya, akan terganggu jika kita tidak mencari solusi akan perubahan iklim. Contohnya udara. Kita yang hidup di Jakarta pasti merasakan sendiri bagaimana panasnya suhu udara di Jakarta yang diakibatkan oleh peningkatan karbon emisi. Selain itu, kerusakan lingkungan juga menyebabkan kualitas udara yang kita hirup memburuk. Tentu saja nantinya bisa berdampak langsung pada kesehatan.
Lalu kebutuhan akan air dan makanan. Krisis iklim yang mengakibatkan kemarau berkepanjangan membuat kekeringan lahan dan kelangkaan air. Ini juga dapat mengganggu hasil panen yang adalah bahan-bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan makan kita. Bahkan ada sebuah penelitian yang memprediksi bahwa air di Pulau Jawa akan habis pada tahun 2040. Beberapa tahun belakangan saja, di Jawa Tengah sudah sering terjadi gagal panen. Di Jakarta, kita sudah merasakan polusi udara yang lebih parah dari 10 tahun lalu.
Jika ini terus terjadi, nantinya kita bisa mengalami konflik sosial. Lihat saja di Suriah. Akibat seringnya terjadi gagal panen, harga panen yang menjadi lebih mahal menyebabkan terjadinya konflik sosial. Kalau kita tidak menanggapi isu lingkungan lebih serius dampaknya akan semakin besar terhadap hidup kita. Awalnya mungkin hanya isu lingkungan tapi lambat laun akan berubah menjadi isu kemanusiaan, kesehatan masyarakat, kesejahteraan ekonomi dan bahkan keamanan secara global.
Selain itu, saya juga mendengar ada sebuah laporan dari para ilmuwan di seluruh dunia yang menyampaikan bahwa manusia hanya memiliki 12 tahun lagi untuk tinggal di bumi jika tidak ada perubahan. Mengapa? Karena 12 tahun lagi, bumi akan memanas lebih parah dan sudah tidak lagi bisa dikembalikan seperti semula. Kalau sudah begitu, kita mau tinggal di mana lagi?
Mengetahui semua fakta dan data ini, saya terdorong untuk melakukan sesuatu. Isu lingkungan menjadi isu yang sangat personal untuk saya. Ya, mungkin sekarang saya masih muda. Tapi ke depannya saya ingin memiliki keluarga. Ingin memiliki anak-cucu. Saya juga punya keponakan-keponakan yang masih kecil. Jadi, saya khawatir dan resah sekali akan masa depan saya dan keturunan saya nantinya. Lingkungan dan tempat tinggal macam apa yang kita tinggalkan untuk generasi yang akan datang kalau tidak ada solusi untuk memperbaikinya?
Lingkungan dan tempat tinggal macam apa yang kita tinggalkan untuk generasi yang akan datang kalau tidak ada solusi untuk memperbaikinya?
Terutama karena sebenarnya tidak perlu menunggu 12 tahun lagi, sekarang saja banjir sudah sering terjadi di Jakarta. Ini sangat mengganggu aktivitas saya dan sekian banyak warga di Jakarta. Belum lagi potensi-potensi bencana alam lainnya yang mungkin terjadi di sekitar kita akibat krisi iklim. Tentunya semua ini akan menciptakan kerentanan dalam kehidupan kita sehari-hari, sekarang dan nanti. Oleh sebab itu, saya ingin meningkatkan kesadaran akan lingkungan di masyarakat dan di kalangan pemerintah dengan terlibat di Extinction Rebellion Indonesia.
Kami ingin mendorong pemerintah Indonesia bisa mempunyai tingkat keseriusan yang lebih tinggi dalam menghadapi krisis iklim. Caranya bukan sekadar dengan konservasi lingkungan tapi juga dengan merubah paradigma pembangunan. Sampai saat ini, paradigma pembangunan kita masih bergantung dengan industri yang mengeluarkan emisi karbon yang sangat besar. Padahal sebenarnya pembangunan ini harus bergantung pada industri-industri yang mempunyai emisi lebih rendah. Dalam setiap praktik penyebaran kesadaran akan krisis iklim, kami pun menggunakan narasi yang terkesan tegas dan keras. Bukan tanpa alasan, justru kami ingin memberikan urgensi pada semua orang untuk bergegas melakukan sesuatu. Kami merasa sangatlah penting untuk jujur mengatakan bahwa masalah ini bisa berdampak mengerikan untuk hidup kita semua.
Meskipun begitu, kami tentunya akan memberikan justifikasi kenapa menggunakan narasi dengan nada semacam itu yaitu dengan menyampaikan fakta yang ada. Beruntungnya, sampai saat ini kami merasa bahwa narasi kami yang jujur itu cukup memengaruhi banyak orang. Kami pun percaya jika masyarakat menyadari betapa daruratnya masalah ini, pemerintah juga akan terdesak dan akhirnya mengutamakan masalah ini. Itulah mengapa narasi kami amat tegas untuk membibitkan urgensi tersebut. Kita tidak lagi punya banyak waktu untuk bersantai. Jika tidak sekarang, kita akan terlambat mengubah bumi menjadi hunian yang tentram lagi untuk kita semua.
Kita tidak lagi punya banyak waktu untuk bersantai. Jika tidak sekarang, kita akan terlambat mengubah bumi menjadi hunian yang tentram lagi untuk kita semua.
(Disclaimer: Tulisan ini dibuat oleh tim editorial berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber)