Posisi perempuan di Indonesia tergolong bagus sesuai dengan survei yang dilakukan perusahaan konsultan manajemen multinasional McKinsey & Company. Dalam surveinya, mereka membahas pemberdayaan perempuan di Asia di mana posisi perempuan Indonesia hingga di level manajerial masih berada di posisi atas. Juga disampaikan dari hasil survey tersebut bahwa perempuan Indonesia bisa berkarya bebas karena ada dukungan dari keluarga dan masyarakat.
Namun sayangnya proses tersebut mentok di level manajer – karena pada level direktur atau CEO, jumlah kita kalah dengan Fipilina. Itulah mengapa Indonesia kekurangan top leader perempuan yang menduduki posisi direktur atau CEO sebuah perusahaan. Perempuan Indonesia, masih menurut survei tersebut, sulit mencapai level tertinggi di sebuah perusahaan karena faktor budaya. Ada banyak rasa bersalah saat sudah punya anak dan meninggalkan keluarga untuk berkarya.
Itulah mengapa kemudian saya memutuskan untuk mendukung perempuan. Sesungguhnya, pada prinsipnya saya mendukung segala bentuk gerakan yang baik. Namun isu pemberdayaan perempuan menjadi relevan karena saya memahami insight-nya sehingga menjadi lebih mudah untuk kita berbicara saat memahami isu dan siapa yang kita ajak bicara.
Perempuan Indonesia sulit mencapai level tertinggi di sebuah perusahaan karena faktor budaya. Ada banyak rasa bersalah saat sudah punya anak dan meninggalkan keluarga untuk berkarya.
Peran perempuan dalam pendidikan di keluarga itu sangat besar. Tapi yang harus dicamkan adalah bahwa peran perempuan mengalahkan laki-laki – itu tidak demikian. Keluarga saya cukup konservatif untuk mengatakan bahwa laki-lakilah yang dalam keluarga seharusnya bertanggungjawab paling utama meski akhirnya, eksekusinya di tangan perempuan. Mengapa demikian? Karena perempuan secara naluri mempunyai kelebihan yakni lebih mengayomi, lembut, dan lebih detil. Sehingga ketika kita memberdayakan perempuan pada saat yang sama kita juga mencerdaskan keluarga.
Sesungguhnya masalah pemberdayaan tidak mengenal gender. Kita semua harus mampu melindungi diri sendiri. Melindungi diri sendiri itu kebutuhan yang paling dasar selanjutnya kita semua harus mampu berkarya untuk diri sendiri, lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara. Semua itu tidak mengenal gender.
Sesungguhnya masalah pemberdayaan tidak mengenal gender. Kita semua harus mampu melindungi diri sendiri.
Namun, menilik kembali ke akar budaya patriarki negara kita yang kuat, kita harus mampu mengimbau perempuan agar lebih berdaya. Misalnya saja dalam pernikahan. Saat sang perempuan tidak memiliki kemampuan, tidak punya jejaring, tidak ada pengetahuan – lalu sang suami meninggal – apa yang bisa mereka lakukan? Kebutuhan mendasar saja yakni untuk melindungi diri sendiri tidak bisa, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
Belum lagi jika berbicara kebutuhan yang sifatnya lebih advanced seperti bidang politik, manufaktur, transportasi, dan lain sebagainya. Jika perempuan tidak berdaya di bidang-bidang tersebut, pada akhirnya industri itu tidak akan paham bagaimana harus memberikan treatment kepada perempuan.
Itulah beberapa dari sekian banyak alasan mengapa pada akhirnya saya mendorong kelahiran Quuenrides sebagai sebuah media bagi perempuan di bidang otomotif. Alasan lainnya adalah karena industri otomotif terasa sangat maskulin. Akhirnya, saat berhadapan dengan pengguna perempuan, mereka semua tidak paham harus bagaimana – karena selama ini dimonopoli oleh kaum laki-laki. Contohnya saja, mengapa perjalanan mudik menjadi banyak masalah? Sederhananya, karena yang menyiapkan perjalanan adalah laki-laki. Pertimbangan mereka pasti tidak seperti perempuan yang memikirkan jarak sekian kilometer harus beristirahat, harus mencari toilet yang bersih, harus mencari tempat makan yang layak, atau tempat beristirahat yang aman.
Saat berhasil memberdayakan perempuan dan perempuan berhasil masuk ke area laki-laki, idealnya bukan untuk mengalahkan laki-laki. Namun saat membangun fasilitas, sarana, dan prasarana yang melibatkan perempuan maka akan tercipta hasil yang ramah pada semuanya. Tidak hanya pada laki-laki namun juga semua orang termasuk kaum difabel.
Janganlah malas untuk saling mendukung. Sah saja perempuan memberikan dukungan pada laki-laki dan sebaliknya. Buat saya, setelah kita bicara kompetensi tahap selanjutnya kita berbicara kolaborasi. Ketika kita mau menciptakan dampak yang lebih besar, yang harus dilakukan adalah kolaborasi, yang tidak tergantung pada gender.