Artikel lanjutan dari "Pengakuan dari Balik Layar Sinetron (Bagian 1)"
Apapun yang terjadi, sinetron harus tayang setiap hari. Setidaknya sampai saat ini.
“Ini adalah urusan menciptakan dan memelihara sebuah kebiasaan,” demikian salah seorang produser sinetron menjelaskan. ”Kita ciptakan kebiasaan baru bagi penonton, yaitu pindah ke saluran televisi di mana sinetron kita ditayangkan setiap jam tujuh malam.”
Kebiasaan baru itu harus menarik dan memikat. Itu sebabnya sinetron baru dirancang dan dipersiapkan dengan cerita yang kuat, karakter yang terpahat, dan nilai produksi yang prima. Lokasinya bagus, pemain-pemainnya tampan dan cantik, dan adegan-adegannya juga tercipta dengan rapi.
Untuk lima belas atau bahkan tiga puluh episode pertama, sebuah sinetron baru akan mati-matian berusaha jadi bagus dan mahal. Setelah itu, penonton yang sudah terpikat akan membentuk kebiasaan baru. Setiap jam tujuh malam ia akan menutar saluran televisi tersebut, dan enggan pindah ke saluran lain. Kebiasaan ini akan jadi lebih kuat daripada cerita yang semakin lama semakin keteteran, adegan-adegan dialog antara dua orang yang diambil di dua lokasi yang berbeda, atau zoom-in/zoom-out yang diulang-ulang lima puluh kali demi mengisi durasi.
Ketika saluran televisi sebelah menyiapkan tayangan sinetron baru untuk merebut penonton dari saluran televisi lain, maka para mata-mata mulai bergerak. Kami akan mendengar bisikan tentang konsep sinetron apa yang sedang dipersiapkan oleh mereka, siapa pemainnya, dan kapan tayangnya. Menjelang tanggal tayang sinetron saingan baru itu, sinetron kami akan berbenah diri: jadi bagus lagi, jadi mahal lagi, dan kalau perlu menampilkan bintang tamu maha tenar.
Itu sebabnya produksi sebuah sinetron baru diselimuti taktik, strategi, dan hawa spionase. Seorang penulis skenario yang sukses di rumah produksi dan stasiun televisi A, misalnya, akan menerima tawaran dari rumah produksi dan stasiun telelvisi B. Padahal, ia terikat kontrak eksklusif. Angka yang ditawarkan bisa lima kali lipat. Untuk mengambil keuntungan itu ia akan bertemu dengan sembunyi-sembunyi dengan pemilik rumah produksi B di lokasi yang sangat aman dan tertutup. Ia akan menyelinap masuk ke kantor rumah produksi B lewat pintu belakang, mengenakan kaca mata hitam dan jaket bertudung kepala. Ini betul-betul terjadi.
Apakah saya punya waktu untuk menjawab tudingan bahwa saya mencari uang dengan membodohi masyarakat? Apakah saya punya hak untuk bela diri dengan bilang bahwa sinetron juga punya idealisme?
Apakah para pelayan restoran cepat saji punya waktu untuk bilang bahwa ayam goreng tepung mereka juga sehat dan tidak boleh disebut makanan sampah alias junk food? “Kalau kalian mau makanan yang sehat dan bergizi silakan ke rumah makan lain yang harganya dua kali lipat dari kami, ya.” Mungkin hanya itu yang bisa mereka katakan dalam hati.
Ada pilihan untuk menekan tombol saluran lain dan menikmati tayangan tentang migrasi hewan-hewan Afrika. Ada juga pilihan untuk menonton film-film berprestasi daun-daun palem yang kita unduh secara ilegal dari situs-situs liar itu. Ada pilihan untuk menikmati komedi-komedi situasi buatan Hollywood yang saya juga suka itu.
Selama Indonesia masih didominasi oleh penikmat ayam goreng tepung, maka kedai pizza pun akan jualan paket hemat nasi tambah ayam. Siapa yang berani bilang ke kedai pizza itu; “Jadi orang yang idealis, dong! Kalau bikin pizza, ya bikin pizza saja!” Maaf, kedai itu punya bisnis untuk dijalankan dan karyawan untuk diberi penghasilan setiap bulan. Kita ingin kedai itu berhenti jualan ayam goreng? Jangan beli.
Selama Indonesia masih didominasi oleh penikmat sinetron, maka industri ini akan terus bertahan. Selama produk-produk obat nyamuk, bedak pemutih, dan pencuci muka berdaya pikat masih mau membiayai sinetron dengan anggaran iklan puluhan milyar Rupiah, maka orang yang menggantungkan hidup dari industri sinetron pun tetap banyak.
Kita punya televisi dan mau membunuh sinetron? Jangan nonton. Kita butuh beriklan dan mau membunuh sinetron? Jangan beli spot iklannya.
Saat ini sinetron tetap menjadi bagian dari hidup sebagian besar orang Indonesia. Sinetron demikian penting hingga adegan pembuka di tulisan ini bisa terjadi. Sebuah mobil yang membawa rekaman gambar sinetron sampai harus dikawal ketat demi tiba di studio pada waktunya. Saya ceritakan apa sebenarnya yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Sebuah sinetron religi menjadi populer di pertengahan tahun 2011. Posisinya tidak pernah turun dari tiga teratas selama berbulan-bulan. Tren menunjukkan prestasi ini akan bertahan lama sekali.
Pada saat yang bersamaan, sebuah negara besar sedang mengalami tudingan kontra agama dari dunia, termasuk dari Indonesia. Negara besar ini jumpalitan memperbaiki citranya di mata Indonesia. Hubungan bilateral menjadi taruhannya.
Duta Besar negara besar tersebut berkawan karib dengan Bapak Maha Produser. “Bagaimana jika saya tampil sebagai bintang tamu di salah satu episode sinetron religi yang Bapak buat? Saya akan bawakan pesan bahwa negara saya tidak kontra agama.”
Apa yang terjadi selanjutnya bisa kita tebak. Proposal disetujui. Syuting dilaksanakan secepatnya. Tanpa peduli apa cerita yang sedang berlangsung, pokoknya Bapak Duta Besar harus tampil. Adegan tambahan disisipkan. Waktu syuting molor. Rekaman jadi harus dikirim secepat-cepatnya ke studio. Pengawalan disiapkan untuk buka jalan.
Apakah strategi Bapak Duta Besar berhasil atau tidak, saya juga tidak berani bilang. Namun, kenyataan bahwa sinetron bisa dipilih sebagai alat komunikasi sebuah negara adidaya untuk melakukan penetrasi budaya ke rakyat Indonesia hanya mengukuhkan bahwa adalah terlalu naif untuk menyebut sinetron sebagai “penjual mimpi” belaka.