Society Art & Culture

Pengakuan dari Balik Layar Sinetron (Bagian 1)

Venerdi Handoyo

@venerdihandoyo

Penulis

Ilustrasi Oleh: Mutualist Creative

Pada awal tahun 2012 sebuah mobil yang dikawal ketat melesat menembus segala jenis kemacetan dari arah Puncak menuju jantung kota Jakarta. Isi mobil tersebut bukan pejabat tinggi, bukan konglomerat, bukan ulama tenar. Tidak ada satu pun pengendara lain yang kerepotan membuka jalan bagi mobil tersebut yang tahu bahwa ada hasil pengambilan gambar sinetron yang sudah disunting dan harus segera dibawa ke studio. Ya, mobil itu betul-betul sedang kejar tayang.

Sebelas tahun sebelumnya saya, yang masih menjabat sebagai salah satu editor di majalah panduan tempat dan acara Jakarta, mendapat tantangan untuk menulis skenario sinetron. Saya bertemu dengan jajaran produser sebuah rumah produksi yang bisa dibilang adalah pelopor sinetron sejak RCTI pertama kali mengudara pada tahun 1988.

Waktu ditanya apakah saya pernah menulis skenario, saya bilang belum. Waktu ditanya apakah saya rajin menonton sinetron, saya jawab tidak sama sekali.

Permintaan pasar yang berlebihan akan tayangan sinetron serta persaingan yang ketat antar rumah produksi membuat mereka tetap memberikan saya sebuah ujian. Saya diminta merevisi episode perdana sebuah sinetron remaja yang polanya disalin dari serial Beverly Hills 90210.

Skenario revisi sepanjang empat puluh halaman lebih itu saya kerjakan dalam waktu tujuh jam di sebuah warung internet. Hasilnya jauh dari sempurna, namun kecepatan kerja dalam industri sinetron adalah segalanya.

Ketika saya dipercaya untuk melanjutkan pekerjaan itu dan disodorkan kontrak menulis sebanyak dua ratus episode, salah seorang produser memberi saya satu pesan saja, “Hanya satu yang tidak boleh ada dalam mengerjakan sinetron: idealisme.” Saya tidak peduli karena saya menerima pekerjaan itu supaya bisa pindah dari kamar kos dua kali tiga meter yang tanpa air conditioner ke taraf hidup yang lebih baik.

Sinetron yang mengumpulkan enam pemain remaja berwajah baru itu tayang seminggu sekali. Pada episode yang kesepuluh lebih performanya meningkat drastis. Peringkatnya melonjak sampai lima besar. Tidak lama kemudian sinetron itu mondar-mandir setiap minggunya dari peringkat atas ke peringkat kedua dan balik lagi ke peringkat atas.

Bapak Maha Produser punya teori sendiri kenapa sebuah sinetron bisa jadi sukses. Di ruang kerja Bapak Maha Produser yang maha luas itu ada sebuah maha dinding yang dipenuhi dengan sekitar selusin layar televisi. Setiap layar menampilkan saluran yang berbeda-beda. Semuanya tidak bersuara. Kata Bapak Maha Produser, “Kalau ada dari tayangan tersebut yang berhasil menarik perhatian saya hanya dengan gambar-gambarnya, maka itu tayangan yang bagus.”

Persaingan antar berbagai sinetron yang tayang pada saat yang bersamaan di saluran-saluran televisi yang berbeda tentu terasa ketat sekali. Auditor independen punya sistem untuk menghitung tayangan mana yang paling banyak ditonton. Setiap hari mereka menerbitkan laporan tayangan apa yang paling populer sepanjang hari sebelumnya – mana yang bercokol di peringkat teratas, dan mana yang melorot ke peringkat sepuluh ke bawah.

Angka-angka dari auditor tersebut juga disebar ke perusahaan-perusahaan periklanan juga untuk menentukan klien mereka harus memasang iklan di sinetron mana. Kalau peringkat sebuah sinetron terpuruk, maka jumlah iklan dan uang yang masuk buat stasiun televisi juga berkurang. Akhirnya, jam tayang sinetron tersebut bisa dipindah, misalnya dari jam tujuh malam ke jam delapan atau sembilan malam. Lama-lama sinetron itu hanya cocok tayang jam tiga pagi alias lenyap.

Sinetron pertama saya tayang setiap hari Rabu jam tujuh malam. Durasi sepanjang satu jam dibagi dalam empat segmen. Setiap segmen diselingi tayangan iklan obat batuk, sabun pel, pasta gigi ajaib, panci pembawa hoki, pelembut pakaian beraroma duit, dan seterusnya.

Pada awal tahun 2000-an itu teknologi digital masih baru merangkak. Rekaman masih pakai pita. Waktu satu minggu untuk memproduksi satu episode sinetron masih dirasakan sulit. Setengah jam sebelum sinetron itu tayang, segmen pertama baru dikirim pakai kurir bersepeda motor yang menembus kemacetan menuju stasiun televisi. Sementara itu, segmen kedua masih disunting. Sepuluh menit kemudian, kurir bersepeda motor lain dapat giliran untuk membawa segmen kedua tersebut ke stasiun televisi. Sepuluh menit kemudian segmen ketiga. Ketika sinetron sudah mulai tayang di jam tujuh malam, segmen keempatnya masih dibedah di ruang sunting.

Pernah juga saya terbangun gara-gara panggilan telepon sutradara sinetron pada hari Rabu jam enam pagi. “Episode yang akan tayang nanti malam masih kurang durasinya. Perlu tujuh menit lagi. Kamu harus ke lokasi syuting untuk menulis adegan-adegan baru di sini. Sekarang.”

Karena enggan pergi ke lokasi syuting yang jaraknya dua jam dari tempat tinggal saya, saya kumpulkan saja informasi mengenai lokasi tersebut dan siapa saja pemeran yang hadir di sana. Setelah lima menit berpikir-pikir, saya menelepon Sang Sutradara kembali, lalu menjelaskan adegan apa yang perlu ia buat dengan detil, setelah itu saya ketik dialog-dialog yang harus diucapkan para pemain dan kirim lewat SMS. Dan, saya lanjutkan tidur saya.

Pada tahun kedua sinetron itu sempat diangkat ke layar lebar dan menjadi sensasi nasional gara-gara bertema ciuman di kalangan anak pelajar sekolah menengah atas. Artinya, tiket laku keras.

Dua setengah tahun kemudian kepopuleran sinetron tersebut kedaluwarsa. Saya sudah tinggal di sebuah unit rumah susun yang pakai dua unit AC, dan sudah pernah liburan ke berbagai negara di Asia Tenggara. Saya lanjut membantu menulis beberapa episode sinetron-sinetron lain kalau penulis utamanya sedang kewalahan. Saya juga menulis skenario film-film horor komersil yang hantunya “banci tampil”.

Tanpa saya sadari, sinetron sudah menggila dari seminggu sekali menjadi setiap hari. Katakanlah sinetron Nikmatnya Azab diberi kode warna hijau di tabel jadwal tayangan sebuah stasiun televisi. Kalau dulu warna hijau ini hanya muncul di hari Jumat jam tujuh malam, maka sekarang ia muncul dari Senin sampai Minggu di baris jam tujuh sampai jam delapan malam. Di tabel tersebut warna hijau itu membentuk sebuah garis. Sebuah strip. Dari sini muncul istilah stripping.

Pada tahun 2011 saya diminta kembali menulis skenario sebuah sinetron baru. Kalau di awal tahun 2000-an dulu saya cukup menulis empat puluh sampai lima puluh halaman setiap minggu, maka sekarang setiap hari. Ketika sinetron tentang anak-anak sekolah menengah atas yang kerjanya hanya pacar-pacaran dan bernyanyi-nyanyi itu bercokol di peringkat atas, jam tayang bertambah jadi dua jam setiap hari. Tidak kurang dari tujuh puluh halaman skenario harus saya serahkan setiap hari. Ada bantuan dari dua orang penulis lain supaya saya masih punya harapan hidup.

Masalah-masalah dalam produksi sinetron stripping terjadi setiap hari dalam kadar yang seratus kali lebih rumit dibanding sinetron mingguan. Pengambilan gambar setiap hari dilakukan dalam dua sampai tiga kelompok di berbagai lokasi yang berbeda. Panas atau badai tidak bisa jadi alasan untuk berhenti syuting.

Pemeran Utama sakit? Coba ambil gambarnya di rumah sakit; sedikit saja juga tidak apa-apa, karena tanpa kehadiran wajahnya di tayangan nanti malam maka peringkat sinetron bisa melorot. (Sebagai catatan: Tim Produksi selalu berhati-hati dalam melaksanakan hal ini. Mereka punya nurani untuk minta ijin terlebih dulu kepada Sang Pemain dan keluarganya. Sang Pemain, dalam niatnya untuk memelihara performa sinetron sekaligus menunjukkan kerja keras dan solidaritas terhadap sesama kru sinetron, seringkali menyanggupi pengambilan gambar di kamar rawatnya.)

Kekurangan ide cerita? Lupakan logika, dan tulis apa saja yang melintas di kepala. Selama tayangan itu berada di peringkat atas, orang akan tetap menonton.

Suatu kali kami bertiga memutuskan untuk bekerja segila-gilanya menyelesaikan skenario untuk empat episode sekaligus, lalu mengurung diri bersama-sama di sebuah unit apartemen untuk merancang cerita yang baik dan mendidik sebagai materi sepuluh episode ke depan.

Kami mengurung diri selama tiga malam dan minta agar siapapun dari tim produksi tidak mengganggu kami sama sekali. Di malam ketiga kami siap dengan materi cerita yang sangat terpuji dan layak menang Piala Oscar serta mampu menangkal tuduhan bahwa semua sinetron pastilah busuk.

Di malam ketiga itu pintu unit apartemen kami diketuk oleh Production Manager. Ia mengabarkan bahwa Pemain Utama Pria patah tangannya, Pemain Utama Wanita kena tipus dan harus beristirahat selama seminggu, dan Pemain Utama Entah Pria Entah Wanita mengalami kecelakaan lalu lintas. Semua cerita yang sudah kami rancang selama tiga malam itu tidak ada gunanya. Kami harus menulis cerita-cerita baru yang tidak melibatkan para pemain utama tersebut.

Apakah kami punya waktu untuk protes kepada alam dan nasib? Apakah kami punya waktu untuk mempersoalkan mental health kami di Twitter? Apakah kami punya waktu untuk bikin petisi daring bertajuk “Hentikan Jualan Mimpi di Sinetron”?

Kami adalah penulis-penulis yang bekerja di dalam ruangan ber-AC sambil menghirup kopi enak, makan sehat, diiringi musik yang nikmat. Seberat apapun tekanan mental yang kami terima untuk memerah ide rasanya tidak ada apa-apanya kalau dibanding dengan kru-kru sinetron yang dua puluh jam sehari ada di lokasi syuting melawan panas dan badai. Kami tidak punya hak dan waktu untuk jadi cengeng. Tulisan-tulisan kami berkaitan dengan kelanjutan produksi sinetron, dan berarti juga penghasilan para kru yang menghidupi keluarga mereka.

Bersambung ke artikel "Pengakuan dari Balik Layar Sinetron (Bagian 2)" di minggu mendatang.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023