Sewaktu kecil pengalaman saya mengenyam pendidikan bisa dibilang cukup buruk. Di sekolah hanya diajarkan oleh satu guru yang mengajar enam kelas. Tidak ada buku untuk membaca dan menulis. Kami hanya mendengarkan saja apa yang guru sampaikan. Begitulah pola pendidikan di daerah-daerah Papua yang jauh dari kota. Berbagai macam alasan menjadi latar belakangnya. Bahkan sampai sekarang masih ada daerah yang masih menggunakan kurikulum dari tahun 2000 dan tidak pernah diganti. Ini bisa terjadi karena guru-guru di pedalaman tidak tahu bagaimana cara pakai komputer selain juga di pedalaman memang tidak ada listrik apalagi internet. Sedangkan kurikulum dari dikti terbaru harus diunduh lewat komputer. Guru-guru harus pergi ke kota berjalan kaki atau dengan transportasi yang memakan waktu berhari-hari. Lalu sesampainya di sana masih ada masalah-masalah lain. Jaringan internet yang lambat (buka e-mail saja harus menunggu 30 menit sampai 1 jam) dan juga kurangnya kemampuan para guru menggunakan komputer.
Belum lagi ada beberapa daerah di pedalaman Papua yang menjadi zona merah karena politik. Sehingga orang luar tidak bisa masuk. Sehingga pendidikan tinggi sampai sarjana seperti masih jadi bayang-bayang saja. Baca tulis saja masih banyak yang belum bisa karena putus sekolah akibat tidak ada biaya. Sedangkan beasiswa dari pemerintah biasanya hanya bisa didapatkan oleh mereka yang punya akses informasi. Mereka di Papua yang punya jaringan internet untuk tahu informasi beasiswa. Sedangkan di pedalaman yang sulit memiliki listrik tentu saja tidak tahu informasi tersebut.
Saya termasuk anak Papua yang beruntung. Bisa belajar sampai punya gelar sarjana. Bahkan bisa sekolah di luar Papua dan mendapat tawaran bekerja di Jepang dalam perusahaan ternama. Tapi saya pikir buat apa pergi jauh-jauh sementara saya punya keluarga dan kampung sendiri untuk dikembangkan. Hanya pendidikan yang bisa mengubah kondisi sekarang untuk masa depan yang lebih baik. Sehingga setelah lulus Sarjana Teknik Informatika saya kembali ke Papua dan mendirikan perpustakaan serta aktif menggerakkan kampanye pendidikan pada teman-teman di pedalaman Papua. Saya berharap dengan lulus sarjana saya bisa memberikan inspirasi bagi teman-teman di Papua untuk juga terdorong memiliki pendidikan tinggi. Sebab saya merasa dengan gelar sarjana kita bisa mengubah cara pandang lebih luas. Saya lihat masih banyak teman-teman di Papua yang sulit keluar dari lingkarannya sehingga tidak membuka wawasan dan budaya lain. Padahal menurut saya hanya pendidikan yang bisa menyelesaikan berbagai masalah yang ada di Papua juga. Dasar dari segala ilmu adalah pendidikan.
Saya termasuk anak Papua yang beruntung. Bisa belajar sampai punya gelar sarjana. Bahkan bisa sekolah di luar Papua dan mendapat tawaran bekerja di Jepang dalam perusahaan ternama. Tapi saya pikir buat apa pergi jauh-jauh sementara saya punya keluarga dan kampung sendiri untuk dikembangkan.
Akhirnya saya bersama beberapa teman mendirikan Hano Wene. Awalnya ini merupakan komunitas untuk membuat perpustakaan dan membagikan buku-buku pada teman-teman yang belum memiliki akses pendidikan. Namun sekarang kami sudah menjadi sebuah yayasan sosial yang nantinya berharap dapat berbuat lebih banyak. Sekarang ini sebenarnya salah satu masalah yang cukup sulit kami temukan adalah untuk menyadarkan pada mereka yang di pedalaman untuk belajar. Masih ada teman-teman yang masih berpikir, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nanti pulang lalu hanya untuk bekerja di dapur”. Ini khususnya para perempuan. Sehingga kami keluar masuk desa masih harus mengajarkan pelan-pelan. Tidak bisa hanya memberikan buku saja tapi harus dulu mengajarkan baca tulis. Banyak juga yang mindset bekerja menjadi pegawai negeri. Sehingga seperti tidak membuka wawasan lebih luas dan ada keinginan mengembangkan Papua. Masih kurang motivasi untuk jadi pebisnis atau pekerjaan lainnya.
Dengan menggerakkan kampanye pendidikan dimulai meningkatkan minat baca dan tulis saya berharap ini bisa membuat teman-teman di Papua nantinya juga akan lebih siap saat menggunakan teknologi digital. Sebab beberapa kampung yang letaknya dekat kota di mana anak-anak sudah punya akses handphone dan internet masih belum mengerti manfaat teknologi. Mereka justru hanya menggunakannya untuk main game saja. Jadi supaya teman-teman yang lain tidak terkena dampak yang sama, kami berusaha untuk memberikan kesadaran untuk bisa berpikir kritis juga. Agar tahu handphone fungsinya untuk apa. Tapi memang saya sudah melihat perbedaan yang signifikan pada kehidupan orang muda di Papua khususnya di perkotaan. Sudah ada anak-anak Papua yang mulai berbisnis. Kami baru-baru saja membuat acara dengan Papuan Preneur yang punya visi membangkitkan semangat anak-anak Papua lain untuk berbisnis. Saya bangga sekali dengan anak-anak muda Papua yang sudah menyadari bahwa mereka punya tanah sendiri yang harus dimajukan.
Dengan menggerakkan kampanye pendidikan dimulai meningkatkan minat baca dan tulis saya berharap ini bisa membuat teman-teman di Papua nantinya juga akan lebih siap saat menggunakan teknologi digital.
Stigma negatif tentang semua orang Papua masih terbelakang memang sebaiknya mulai dihapuskan. Memang benar di daerah-daerah pedalaman masih ada teman-teman yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan. Tapi bukan berarti semua orang Papua tidak berpendidikan. Apalagi di Jayapura. Pendidikan di sana sudah hampir sama seperti di Jakarta. Sayangnya memang stigma itu sudah melekat lama. Seolah-olah pemikiran orang Papua terbelakang terus ada turun temurun. Ditambah dengan media yang sering ekspos soal isu-isu politiknya saja juga mudahnya masyarakat Indonesia percaya dengan media. Sehingga gambaran tentang orang Papua tidak berubah. Anak-anak Papua sudah banyak yang maju dan berprestasi. Janganlah disamakan dengan image orang-orang Papua di masa lampau.
Stigma negatif tentang semua orang Papua masih terbelakang memang sebaiknya mulai dihapuskan. Memang benar di daerah-daerah pedalaman masih ada teman-teman yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan. Tapi bukan berarti semua orang Papua tidak berpendidikan.