Baru-baru saja gue mengeluarkan lagu "Canggih" yang liriknya kurang lebih tentang pengendalian diri di dunia maya. Bukan maksudnya untuk menyuruh orang tapi gue ingin membagikan pikiran lewat lagu. Menurut gue kita harus bisa menyeimbangkan antara kehidupan di dunia digital dan analog agar bisa hidup lebih nyaman. Gue pernah ada di zaman sebelum ada media sosial dan sekarang saat sudah ada. Keduanya harus seimbang. Sebab penggunaan teknologi atau media sosial bisa mengurangi esensi kehidupan jika kita membiarkannya. Pada akhirnya kita harus bisa mengendalikan teknologi bukan dikendalikan oleh teknologi. Kecanggihan hanyalah sebuah alat yang harus kita kuasai. Seperti contohnya main gitar. Bukan gitar yang mendikte kita harus bermain dengan gaya tertentu, kan? Tapi kitalah yang harus menguasai gitar itu agar bisa jadi alat untuk mengekspresikan diri.
Pada akhirnya kita harus bisa mengendalikan teknologi bukan dikendalikan oleh teknologi.
Gue pribadi menggunakan media sosial seperti membaca koran. Sebagai salah satu kegiatan sehari-hari saja, bukan kegiatan 24 jam. Kalau gue merasa “Oh gue harus baca berita” atau “Gue harus posting single terbaru nih” ya gue baru buka media sosial. Jadi hubungan gue sama media sosial sebatas itu saja. Soalnya bisa dibilang gue kurang suka dengan sifat media sosial yang bisa membuat kita adiktif. Jelas seperti hal lainnya, memiliki adiksi terhadap sesuatu bisa berbahaya. Begitu pula dengan media sosial. Kita harus benar-benar melihat media sosial sebagai sarana rekreasi. Seperti membaca berita. Biasanya kalau kita terlalu banyak posting tentang kehidupan personal tentu saja bisa muncul intervensi dalam hidup sendiri-sendiri. Bisa balik menyerang diri kita sendiri. It’s only going to intervene if you let it. Makanya penting sekali untuk tahu bagaimana cara kita merepresentasikan diri di media sosial. Di saat kita memberikan orang bahan untuk menyerang, sudah pasti akan ada intervensi di ranah pribadi.
Di saat kita memberikan orang bahan untuk menyerang, sudah pasti akan ada intervensi di ranah pribadi.
Dulu sebelum ada Twitter gue merasa hidup lebih enak —bukan berarti setelahnya hidup jadi tidak enak. Tapi gue merasa kehadiran Twitter seperti memberikan kebutuhan untuk sharing. Dulu sampai sempat berpikir, “Seru kali ya ngasih tahu orang sesuatu tentang diri gue”. Padahal sebelumnya tidak ada keinginan untuk berbagi apapun. Nggak ada kebutuhan itu. Jadilah gue yang harus bisa mengendalikan diri. Memilah apa yang mau gue posting. Mikirin dampaknya apa buat orang lain, banyak pertimbangannya. Pernah juga hal yang nggak enak datang saat gue oversharing. Gue merasa semua cerita pribadi jadi punya semua orang. Bukan punya gue, keluarga atau teman-teman sendiri. Kadang ini yang membuat gue kurang suka dengan media sosial.
Gue merasa semua cerita pribadi jadi punya semua orang. Bukan punya gue, keluarga atau teman-teman sendiri. Kadang ini yang membuat gue kurang suka dengan media sosial
Gue juga melihat banyak orang yang salah kaprah tentang media sosial. Mereka membuat media sosial seakan-akan jadi satu-satunya lapisan kehidupan yang mereka punya. Menghabiskan banyak waktu di sana. Padahal mungkin mereka bisa melakukan aktivitas lain tanpa perlu diposting. Mereka bisa tetap merasakan kesenangan main golf tanpa harus posting di Instagram. Atau merasa senang menerima hadiah baju dari seseorang dan ternyata baju itu berguna sekali. Tanpa harus dibagikan di Instagram. Jujur, sebelumnya memang ada masa gue merasa harus berada di semua platform dunia digital. Sampai ada terminologi social media presence. Dulu ada keinginan untuk orang tahu gue sebagai musisi lewat media sosial. Cuma akhirnya gue merasa ada hal-hal untuk disimpan sendiri.
Dulu ada keinginan untuk orang tahu gue sebagai musisi lewat media sosial. Cuma akhirnya gue merasa ada hal-hal untuk disimpan sendiri.
Tapi menurut gue media sosial adalah penemuan terkeren yang pernah gue tahu selama hidup. Dulu kalau mau ngobrol sama teman harus lewat telepon rumah. Terus ada masa beralih ke instant messenger. Pulang sekolah gue buka komputer, lihat siapa yang online terus bisa ngobrol sepuasnya. Sekarang teknologi semakin canggih. Punya media sosial seakan-akan seperti sedang ngobrol di satu grup chat tapi isinya orang-orang dari belahan dunia lain. Banyak hal yang bisa dimanfaatkan dari media sosial dan dunia digital. Walaupun memang pada akhirnya semua balik lagi ke orang yang menggunakan. Apa tujuannya punya media sosial.
Yang pasti menurut gue berada di dunia digital memang harus pakai hati. Tidak boleh melupakan ada intimacy yang harus dijaga agar tidak terlalu banyak dibagikan di publik. Kadang gue juga suka lupa saat lagi post sesuatu, itu bisa melibatkan banyak orang. Bahkan bisa membuat orang lain salah paham. Ini yang seharusnya dipikirkan para pengguna media sosial. Gue nggak bilang kita harus jaga omongan atau harus tahu cara bermedia sosial. Sekali pun hanya jadi konsumen saja, kita harus melihat dengan jeli maksud postingan itu ditujukan untuk apa. Kotak komentar di media sosial juga harus menjadi perhatian kita dalam menyikapi sesuatu. Menurut gue sangat penting seseorang memikirkan dulu sebelum merespon sesuatu. Perlu nggak menyikapi postingan tersebut. Perlu dibalas atau nggak. Jangan terlalu membuatnya jadi masalah besar. Masih banyak kegiatan seru lain di luar sana yang bisa dilakukan selain berkutat di media sosial.
Yang pasti menurut gue berada di dunia digital memang harus pakai hati. Tidak boleh melupakan ada intimacy yang harus dijaga agar tidak terlalu banyak dibagikan di publik