Agustus 2018, eSports (electronic sports) pertama kali dilombakan dalam perhelatan olahraga Asian Games. Sementara Juli 2024, direncanakan eSports resmi menjadi salah satu cabang olahraga dengan perolehan medali dalam Olimpiade Musim Panas. Dan terlepas dari semuanya, Indonesia adalah negara tuan rumah pertama yang mendapat kesempatan melangsungkan pertandingan eSports dalam ranah kompetisi olahraga internasional.
Bila ESPN menyiarkan spelling bee dalam tayangannya, serta bridge dan catur kita akui sebagai olahraga, mengapa tidak dengan online game? Sebenarnya, segala aspek yang ada dalam pemikiran orang akan olahraga, kesemuanya tercakup dalam eSports. Maknai olahraga lebih luas dari sekedar aktivitas tubuh yang membutuhkan gerak fisik dalam jumlah tertentu yang menguras keringat. Tanpa memandang stigma atau persepsi yang sudah ada, layaknya olahraga pada umumnya, eSports membutuhkan olah otak, pengaturan strategi, kerja sama tim, chemistry yang sangat tinggi antar pemain dalam regu, kecepatan, daya saing, dan penonton sebagai elemen pendukung.
Saya ingat bagaimana mulanya kami terjun ke industri eSports. Sedari awal, berangkat dari kesenangan saya bermain game, secara langsung saya terus mengikuti iklim dunia ini. Dengan latar belakang saya dan rekan saya sebagai data analytics, mencerna data digital adalah makanan kami sehari-hari. Temuan saya dan teman-teman akan eSports yang ternyata secara statistik memiliki price pool yang besar, membuat kami terdorong untuk mencoba mendirikan EVOS, sebuah organisasi eSports, dengan proyek awal adalah membuat sebuah liga gaming.
Dua tahun yang lalu, bisnis dan ekosistem eSports di Indonesia masih belum tampak. Standar tim eSports yang ada pun juga masih belum profesional. Berangkat dari fakta ini, setelah tiga musim liga kami buat, kami putuskan mengubah pola pikir dan cara kerja kami. Alih-alih melanjutkan membuat liga, kami mulai menjadi sponsor suatu tim, mengakuisisi para juara dalam suatu season, dan kemudian menaikan standar kualitas dari tim yang kami bentuk tersebut. Bila kualitas tim bagus, maka kualitas liga dan ekosistem eSports yang ada pun akan meningkat. Berangkat dari satu tim, kini kami telah memiliki sejumlah tim yang tersebar di beberapa negara ASEAN.
Membentuk atlet eSports tidak mudah. Pola pikir player harus diubah dari menganggap game untuk ‘bermain’ menjadi untuk ‘berlatih’. Mulai dari cara latihan, mencari pengetahuan mengenai game tersebut, tips dan trik, serta mengatur kerjasama dalam tim, semuanya harus dilatih dan dicari tahu sendiri bagaimana caranya oleh para atlet - tentunya dengan bantuan arahan dari para pelatih.
Mendidik atlet profesional pun harus dimulai sejak dini. Sama dengan atlet olahraga lainnya, seperti sepakbola. Orang yang hanya hobi bermain bola belum tentu bisa menjadi atlet, karena kurang memiliki mental untuk terus meningkatkan kemampuan yang dimiliki, serta daya juang yang dibutuhkan untuk terus dapat melaju secara konsisten. Begitu pula dalam dunia eSports. Tidak semua yang menyukai game dapat menjadi atlet eSports.
Dari sudut pandang para player sendiri, berbicara mengenai dukungan keluarga, pada awal pasti sangat tinggi resistensinya. Stigma ‘main game terus tidak memiliki masa depan’ sudah melekat kuat di masyarakat. Tantangan bagi kami adalah untuk dapat menghapus stigma tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan diperolehnya kemenangan, penghasilan, reputasi, dan sorotan penggemar, orangtua masing-masing mulai sadar bahwa profesi atlet eSports ini nyata dan bukan main-main.
Mayoritas player kami menjadikan atlet eSports sebagai pekerjaan utama. Mereka merintis karir mereka sejak usia 8 hingga 10 tahun, melalui sejumlah latihan yang dijalani. Primetime diperoleh saat usia 15 hingga 25 tahun, sementara melewati usia tersebut, penelitian menyatakan bahwa reaksi seseorang akan melambat, sehingga performa mereka tidak akan sebaik sebelumnya. Jangka waktu karir atlet eSports memang tidak panjang. Oleh karena itu, setelah usia 24 tahun, kami akan arahkan para atlet untuk menjadi pelatih, manajer, ahli strategi, dan profesi lainnya yang masih berkaitan dengan dunia ini.
Saat pertama kami membentuk atau mengakuisisi seorang player pun, salah satu pertimbangan kami adalah adanya aset media sosial yang dia miliki. Karena berada di dunia digital yang jarang menggunakan identitas asli, untuk tetap membuat industri ini bergerak, mendapat sorotan penggemar, dan peluang endorsement, orang perlu tahu bagaimana para pemain ini di kehidupan sebenarnya. Begitu pemain telah bergabung dengan EVOS, akan kami kemas dan branding dia dengan tim internal kami untuk meningkatkan aset media sosialnya. Dari sini, kita tunjukan bagaimana keseharian para pemain, untuk menunjukan bahwa mereka nyata dan memiliki sisi humanis dalam kehidupan sehari-hari layaknya orang pada umumnya. Media sosial menjadi penting dimiliki terutama setelah atlet melewati usia 25 tahun dan pensiun. Medium ini memungkinan mereka menjadi influencer yang bisa tetap mendapat penghasilan melalui endorsement dan unjuk karya mereka di bidang lain yang mungkin mereka jajaki setelahnya. Selain itu, basis penggemar dan aset sosial media juga sangat diperlukan dalam mendapatkan partner dan sponsor. Karenanya, kami terus mendorong para atlet kami untuk dapat menjadi content creator juga melalui akun Instagram, YouTube, dan media sosial mereka lainnya.
Perlu diingat, melihat usia atlet eSports yang secara umum masih dalam usia sekolah dan kuliah, kami selalu meminta mereka untuk tetap menjalani pendidikan sebagaimana mestinya. Pendapatan yang diperoleh oleh atlet ini memang bisa sangat besar, melebihi penghasilan teman-teman seusianya yang bekerja di bidang lain. Bahkan, beberapa atlet melampaui penghasilan orangtua mereka dan menjadi yang terbesar di keluarga mereka. Namun tetap, pendidikan harus nomor satu. Kami hanya menyediakan platform untuk mengembangkan visi, impian, dan talenta mereka. Jadwal latihan mereka yang justru kami sesuaikan dengan jadwal sekolah atau kuliahnya.
Berbicara mengenai dunia eSports yang mulai bertumbuh dan berkembang besar, pemerintah Indonesia sendiri melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olahraga) telah menunjukan perhatiannya dengan adanya badan yang turut membantu menangani eSports. Walau belum sebesar perhatian ke cabang olahraga lainnya, namun pengakuan atlet eSports ini sudah ada. Contohnya dalam pengajuan visa ke luar negeri untuk mengikuti turnamen. Atlet eSports ini telah mendapat visa atlet yang secara langsung mengakui profesi mereka.
Menghadapi dunia di depan dengan melihat segala potensi dan peluang yang ada, eSports diprediksi akan menjadi suatu hal yang besar. Dunia olahraga telah berubah. Bila dahulu yang dimaksud dengan olahraga umumnya terbatas pada permainan olah fisik tradisional, sekarang kita memandangnya berbeda. Begitu pula dengan profesi atlet eSports yang akan mengubah cara pandang kita akan profesi olahragawan dan profesi baru lainnya yang tercipta. Sebagai penutup, tak lupa kami ucapkan: Selamat datang di dunia eSports, jangan takut untuk bermimpi.