Society Art & Culture

Merasa Lewat Audio Visual

Interpretasi setiap orang melihat sesuatu sangatlah berbeda-beda. Merujuk pada teori hermeneutika yang secara sederhana menjelaskan tentang bagaimana seseorang menginterpretasikan sesuatu, ketika satu orang mengucap kata “gunung” yang ada di pikirannya dan orang yang mendengar belum tentu sama. Dalam otak saya ketika mendengar kata “gunung” yang ada di pikiran adalah bentuk gunung kapur. Sedangkan mungkin di pikiran orang lain adalah gambaran gunung yang ada di gambar anak-anak dengan dua gunung yang diawali oleh sebuah jalan. 

Seperti juga ketika kita melihat satu gambar yang dijadikan latar smartphone atau laptop. Mengapa melihatnya bisa memunculkan perasaan dalam diri? Padahal mungkin kita belum pernah ke sana? Inilah wujud interpretasi yang dijelaskan dalam teori hermeneutika tadi. Bisa jadi juga perasaan tersebut dijelaskan oleh teori ekspektasi. Dalam teori ini terdapat pemahaman bahwa manusia berekspektasi karena menginginkan sesuatu yang terbaik pada dirinya. Sehingga ketika kita melihat sebuah visual dan memunculkan perasaan tenang atau senang sebenarnya kita sedang berekspektasi untuk pergi ke tempat tersebut dan berharap mendapatkan ketenangan atau kesenangan yang ada dalam pikiran.

Ketika kita melihat sebuah visual dan memunculkan perasaan tenang atau senang sebenarnya kita sedang berekspektasi untuk pergi ke tempat tersebut dan berharap mendapatkan ketenangan atau kesenangan yang ada dalam pikiran.

Tidak berhenti di sana, audio juga bisa memunculkan perasaan sebab adanya frekuensi yang memengaruhi otak kita. Contohnya ketika kita sedang yoga dan mendengarkan alunan musik yang menenangkan. Dalam kondisi ini otak kita diberikan sugesti oleh frekuensi lambat yang dapat membuat otak relaks. Sedangkan saat menonton film horor lalu terdapat adegan seram, kita bisa kaget karena audio yang dibuat menegangkan berada dalam frekuensi tinggi sehingga bisa memengaruhi frekuensi dalam otak serta detak jantung. Jadi bisa dibilang audio visual sangatlah dengan dengan ilmu psikologi. Apalagi kalau keduanya berada dalam satu paket. Dampaknya akan ganda. Seperti misalnya kita sedang mendengarkan podcast sambil melihat pemandangan. Atau seperti mendengarkan percakapan sambil melihat tampilan sebuah tempat dalam satu video.

Jadi bisa dibilang audio visual sangatlah dengan dengan ilmu psikologi. Apalagi kalau keduanya berada dalam satu paket. Dampaknya akan ganda.

Ini pula yang menjadi tujuan saya berkarya di Tempat Bercakap, sebuah video yang menampilkan percakapan dengan latar tempat yang memiliki pesonanya sendiri. Secara subyektif memang saya ingin memiliki wadah untuk bisa mengimplementasikan emosi dalam sebuah karya. Tapi secara obyektif saya ingin memberikan rasa nostalgia yang diharapkan dapat merefleksikan diri masing-masing orang yang menikmati setiap videonya. Selain kami juga ingin sedikit mengubah stigma negatif yang didapatkan sebuah lokasi. Misal, Tanjung Priok yang sering mendapat stigma negatif. Kami mau menunjukkan sisi lain dari lokasi itu dan menampilkan sisi baik darinya. Karena tidak semuanya di Tanjung Priok itu buruk.

Mungkin kalau sekilas melihat postingannya seakan sekadar karya saja. Tapi kalau mau diibaratkan seperti gunung es, es yang berada di atas permukaan air adalah karya audio visual yang dibuat sedangkan sebenarnya di bawah permukaan air juga terdapat es yang menopang gunung tersebut tapi tidak terlihat. Es di bagian bawah ini adalah teori-teori yang kami gunakan untuk mendasari segala karya yang menghiasi galeri akun Instagram Tempat Bercakap. Setiap kali percakapan diperdengarkan dalam konten visual kami selalu menjelaskan di caption mengapa orang tersebut dapat bicara demikian. Berdasarkan teori-teori yang diusung.

Teori-teori tersebut saya dapatkan ketika berada di jurusan Kesejahteraan Sosial di mana di antara ketujuh landasan ilmu terdapat sosiologi, psikologi, antropologi dan komunikasi. Sehingga karya yang ditampilkan tidak hanya sekadar karya saja namun kaya akan ilmu. Dengan begitu Tempat Bercakap memiliki nilainya sendiri. Setiap tempat yang kami tampilkan sebenarnya tidak hanya berdasarkan pengalaman atau pengamatan saja namun juga dari masukan para follower. Saya ingin mengikut-sertakan banyak orang dalam membubuhkan nilai “rasa” dalam video. Sebab menurut saya setiap orang pasti memiliki rasa tapi seringnya mereka malu mengungkapkannya. Tentu saja ini wajar. Setiap individu memang berbeda-beda. Contohnya ketika saya buat konten serius kebanyakan pasar wanita yang lebih banyak berinteraksi. Tapi kalau konten sedih justru kebanyakan pria yang membagikan konten tersebut ke banyak orang. Kenapa? Karena pria disinyalir lebih suka menyimpan perasaannya daripada mengungkapkannya. Padahal menurut saya akan lebih baik kalau kita bisa menunjukkan perasaan agar dapat menghindari penyangkalan. Dampaknya akan lebih positif kalau kita bisa merasa dan mengekspresikan rasa itu.

Akan lebih baik kalau kita bisa menunjukkan perasaan agar dapat menghindari penyangkalan. Dampaknya akan lebih positif kalau kita bisa merasa dan mengekspresikan rasa itu.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023