Society Planet & People

Menyelami Dunia Sosialita

Dorongan untuk pamer dan jadi pusat perhatian sebenarnya ada dalam diri setiap orang. Apalagi di zaman sekarang dengan kemunculan media sosial. Kalau tidak buat apa banyak orang yang sibuk main medsos? Sebagian orang punya keinginan untuk menampilkan imej yang positif, yang terkadang mungkin malah terlihat lebih baik dari orang lain. Untuk dapat likes itu juga tidak jarang harus dengan sesuatu yang wow. Supaya bisa menarik perhatian orang lain. Salah satunya mungkin dengan menampilkan gaya hidup glamor dengan memakai brand mewah atau membagikan potret pergaulan bersama orang-orang dengan kelas sosial tertentu. Sampai-sampai label “sosialita” pun disematkan pada mereka.

Dorongan untuk pamer dan jadi pusat perhatian sebenarnya ada dalam diri setiap orang. Apalagi di zaman sekarang dengan kemunculan media sosial.

Kalau mau ditelusuri lebih dalam. Kata sosialita sendiri sebenarnya ditujukan untuk mereka yang berdarah ningrat. Lalu meluas dan merambah ke kalangan keluarga konglomerat, ultra kaya. Mereka bisa disebut sosialita juga karena adanya aksi-aksi sosial yang diusung sehingga sebenarnya kehidupan glamor mereka sejalan dengan kegiatan sosial yang dilakukan. Tapi kemudian pengertian sosialita di masyarakat terus berubah. Dulu di sekitar tahun 2012 saat aku menulis buku Kocok!: The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites, pengertian sosialita inilah yang sedang marak. Mungkin salah satunya karena banyak reality show yang memperlihatkan gaya hidup sosialita di Amerika seperti Paris Hilton dan Nicole Richie yang dulu kerap jadi tontonan sehari-hari. 

Pemakaiannya meluas juga aku rasa karena adanya pengaruh media yang menyoroti kehidupan lapisan ini. Besar kemungkinan saat itu media juga mulai mencari alternatif berita selain selebriti. Sehingga mulai mengangkat kehidupan figur-figur dari golongan atas itu. Sampai akhirnya memperluas definisi sosialita itu. Akhirnya membentuk pandangan masyarakat hingga sekarang orang-orang yang dikenal sebagai sosialita adalah mereka yang super kaya, pakai barang mewah dengan brand ternama, bergaul dengan sesama orang kaya, dan hidup hura-hura. 

Waktu aku menulis buku itu, memang tren sosialita lagi booming sekali. Karena Instagram belum seramai sekarang, dulu orang-orang mencari cara untuk eksis dan tampil di berbagai arisan spektakuler. Pakai dress code, panggil fotografer untuk foto-foto biar bisa gonta-ganti profile picture. Selain arisan mereka juga pergi dari satu acara ke acara lain untuk mendapatkan perhatian publik. Terutama majalah-majalah gaya hidup yang memotret kehidupan sosialita. Saat itu majalah gaya hidup untuk market A dan A plus juga sedang naik daun. Sehingga seolah-seolah mereka yang digolongkan sosialita itu merasa masuk majalah adalah sebuah prestasi. Dari beragam observasi aku pun menemukan bahwa sebenarnya seorang sosialita tulen itu adalah mereka yang berada di kelas sosial atas tapi tidak perlu validasi atau eksistensi. Mereka malah biasanya berada di balik layar. Mereka yang masih nafsu eksistensi sebenarnya bukan sosialita sejati tapi sosialita wannabe atau sosialita nanggung. Menurutku kalau sosialita sejati yang punya nama besar dan memang punya prestasi, mereka tidak perlu lagi memperlihatkan mereka siapa karena orang juga sudah tahu mereka siapa. Jadi ibaratnya seperti ada artis kelas A, kelas B, sosialita juga begitu. Ada sosialita kelas A dan B. 

Biasanya para sosialita wannabe ini masih insecure karena belum mencapai prestasi tinggi. Tapi memang kalau sudah masuk ke lingkungan itu jadinya bisa terlihat panjat sosial karena banyak dari mereka sebenarnya baru percaya diri kalau punya dan pakai juga barang mewah. Jadi bisa sampai maksa untuk beli atau pinjam padahal kemampuannya belum cukup. Inilah yang buat mereka seperti sosialita wannabe akhirnya. Menghalalkan segala cara yang bahkan bisa merugikan dia dan merugikan orang lain. Aku pernah observasi dan menemukan ada kalangan selebriti yang sebenarnya kalau dilihat tampilannya tidak ada celanya. Tapi di media sosial mereka masih usaha sekali tampil wow walaupun sampai hari pinjam baju. Padahal dia juga sudah bisa dibilang kalangan atas. Aku jadi berpikir bahwa mungkin orang-orang yang sudah ada di atas sana tapi tetap mau dapat pengakuan mungkin di dalam rumahnya tidak dapat pengakuan. Orang yang sudah puas dengan hidupnya buat apa pengakuan berlebihan? Sepertinya tidak perlu. Kalau sudah bahagia dan nyaman dengan apa yang dimiliki rasanya sudah tidak butuh pengakuan orang lain.  

Orang yang sudah puas dengan hidupnya buat apa pengakuan berlebihan? Sepertinya tidak perlu. Kalau sudah bahagia dan nyaman dengan apa yang dimiliki rasanya sudah tidak butuh pengakuan orang lain.  

Ini juga yang sebenarnya harus jadi perhatian kita agar tidak langsung memberikan stigma buruk terhadap terminologi sosialita. Ada lapisan sosialita yang memang punya nama besar dan berprestasi. Mereka yang kalau beli barang mewah adalah privilege mereka dari kerja keras mereka. Bukan karena perlu pamer berlebihan. Kita harus bisa lebih kritis dengan pemberitaan profil-profil yang dilabeli sosialita. Bahkan mereka yang wannabe pun sebenarnya kita bisa melihatnya dari sisi lain. Mungkin kita tidak tahu saja kehidupan nyatanya seperti apa dan tidak perlu sampai sinis dengan gaya hidupnya yang glamor. Toh kadang sebenarnya panjat sosial tidak selalu berkonotasi negatif. Misal di dalam pekerjaan. Kita jadi “panjat sosial” berjaringan dengan orang-orang yang bisa membantu meningkatkan karier. Selama bukan tindakan “menjilat” yang berlebihan sepertinya sah-sah saja. Siapa tahu ini juga bisa dilakukan untuk membentuk personal branding

Kadang sebenarnya panjat sosial tidak selalu berkonotasi negatif. Misal di dalam pekerjaan. Kita jadi “panjat sosial” berjaringan dengan orang-orang yang bisa membantu meningkatkan karier. Selama bukan tindakan “menjilat” yang berlebihan sepertinya sah-sah saja.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023