Sejak dari zaman dahulu kala, di zaman kerajaan sekalipun, perempuan-perempuan di Indonesia sebenarnya sudah berdaya. Kalau dipikirkan matang, sudah banyak perempuan Indonesia yang bekerja sejak dulu, tidak hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Lihat saja para pengrajin kain di berbagai daerah atau para penjual di pasar. Mereka adalah contoh-contoh perempuan yang berdikari. Maka, sebenarnya perempuan yang bekerja itu adalah hal yang biasa. Tapi entah sejak kapan terdapat pemikiran bahwa perempuan yang bekerja adalah sesuatu yang tidak lumrah.
Hanya saja dari masa ke masa, inklusi keuangan memang masih lebih banyak menguntungkan pihak pria. Contohnya, ketika perempuan menikah biasanya aset-aset yang dimiliki akan diatasnamakan suaminya. Jadi, pada kasus tertentu perempuan tidak bisa mendapatkan bantuan finansial lewat jalur formal. Hal-hal semacam ini tentu saja menjadi tantangan sendiri bagi perempuan yang ingin berdaya sehingga mereka butuh motivasi dan bantuan lebih untuk mendapatkan yang diinginkan. Oleh karena itu, untuk mengubah sistem para perempuan harus berupaya lebih dan saling mendukung agar kita tidak hanya mengikuti sistem yang ada dan sekadar bekerja keras saja. Sistem yang ada sekarang masih belum menguntungkan semua gender. So, we need to add more fire into the flame.
Namun sayangnya untuk mendorong pemberdayaan perempuan, kita masih dihadapkan dengan segelintir stigma. Perempuan yang memilih untuk bekerja langsung dilabeli wanita karier dengan stigmanya sendiri. Perempuan yang dianggap cukup intelektual adalah mereka yang tidak tertarik berkeluarga dan hanya fokus pada pekerjaan. Jika sampai usia tertentu ia belum juga menikah artinya ia adalah perempuan yang bermasalah. Bahkan terkadang ada orang-orang yang mempertanyakan saya, “Are you happy? Are you okay being single? What is it like? Are you lonely?”.
Menurut saya, tidak semua orang memiliki cita-cita untuk punya suami dan anak. Ketika berusia lebih muda, konsep pernikahan bagi saya adalah konsep yang akan datang secara alami. Bukan sesuatu yang harus saya impikan. Saya lebih sering bermimpi tentang apa yang ingin saya lakukan di dunia, apa yang akan saya rasakan, atau ke mana saya ingin pergi. Keputusan saya itu tidak mencerminkan bagaimana kehidupan percintaan yang pernah dilalui. Dan saya merasa lebih baik untuk tidak dilabeli wanita karier. Bagi saya, saya adalah seorang perempuan yang memiliki pekerjaan.
Saya merasa lebih baik untuk tidak dilabeli wanita karier. Bagi saya, saya adalah seorang perempuan yang memiliki pekerjaan.
Anehnya, sekarang ini terdapat pula stigma terhadap perempuan-perempuan yang memutuskan untuk berumah tangga. Mengurus rumah tangga dan membesarkan anak untuk tumbuh menjadi anak yang berpendidikan dan hidup berkesadaran membutuhkan banyak waktu dan energi. Menjadi ibu rumah tangga yang penuh kesadaran dan bertanggung jawab juga merupakan pekerjaan purna waktu. Maka, perempuan-perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga juga harus mendapatkan apresiasi karena mereka memilih untuk berada di rumah dan menanggalkan banyak hal dalam hidupnya.
Jadi, yang ingin saya tekankan sebenarnya adalah soal pilihan. Menjadi perempuan yang berdaya bukanlah tentang bekerja atau tidak bekerja. Tapi soal memiliki pilihan untuk bekerja atau tidak sebab memiliki pilihan adalah sebuah kemewahan. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah bahwa penting juga seorang perempuan tetap memiliki nilai-nilainya sendiri agar tetap selalu berdaya dan berdikari. Seorang ibu rumah tangga mungkin tidak harus bekerja kantoran, tapi bisa tetap melakukan hal-hal yang dapat mengasah kemampuan. Kalau pun suatu hari ada situasi yang menantang, misalnya ditinggalkan oleh suami, ia bisa tetap berdaya untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Menjadi perempuan yang berdaya bukanlah tentang bekerja atau tidak bekerja. Tapi soal memiliki pilihan untuk bekerja atau tidak sebab memiliki pilihan adalah sebuah kemewahan.
Menurut saya, menjadi berdaya harus datang dari kesadaran tentang cinta. Jika ia sayang pada dirinya sendiri dan orang-orang yang dicintainya, ia akan mencari cara untuk berdaya dan menjadi perempuan yang mandiri. Tapi jika ia tidak memiliki kesadaran akan rasa cinta itu, ia akan selalu bergantung pada orang lain. Padahal orang lain bisa berpotensi membuatnya kecewa. Apalagi jika bicara tentang perasaan.
Menurut saya, menjadi berdaya harus datang dari kesadaran tentang cinta. Jika ia sayang pada dirinya sendiri dan orang-orang yang dicintainya, ia akan mencari cara untuk berdaya dan menjadi perempuan yang mandiri.
Inilah juga yang ingin disampaikan lewat kolaborasi antara Shop At Velvet dan Kisaku. Selain untuk menunjukkan dukungan antar brand lokal, kami juga ingin menunjukkan dukungan untuk antar perempuan karena mayoritas pemilik kedua brand ini adalah perempuan. Dengan segala tantangan di masyarakat yang sering dihadapi perempuan, kolaborasi ini ingin memberikan inspirasi pada perempuan untuk bisa terus maju dan berdaya. Apapun pilihan hidupnya.