Siapa sangka dari musik K-Pop, kita bisa belajar banyak tentang isu sosial yang terjadi di sekitar?. Awal saya bisa menyukai K-Pop, ketika saya masih sekolah, sejak generasi pertama masuk ke pasar Jepang karena saya sedang mengikuti fandom J-rock atau metal underground Jepang. Namun saat itu akses informasi masih sulit dan dalam Bahasa Korea. Ketika generasi kedua, sebagai wartawan saya berkesempatan mewawancara beberapa idol K-pop. Baru mendalami dan terlibat aktif dalam fandom K-pop, bermula karena pekerjaan menugaskan saya mengulas musik grup idola, BTS. Setelah diteliti lebih dalam, ternyata lirik lagu-lagunya punya perspektif kritis. Musiknya juga menyegarkan untuk saya yang sebelumnya lebih sering mendengar musik Barat. Ternyata, mendengarkan musik Asia dapat memberikan perspektif keberagaman dan luas tentang kritik sosial.
Setelah suka, saya penasaran untuk mencari tahu lebih banyak. Sebagai antropolog digital, terutama tentang konteks budaya, saya penasaran, mengapa mereka menyampaikan pesan tertentu di dalam liriknya? Apa yang terjadi di Korea hingga menyalurkan kritik sosial tertentu lewat musik? Akhirnya, saya juga memelajari sistem industri musiknya. Saya tertarik dengan cara agensi musik banyak berperan dalam mengembangkan konsep artisnya, dari musikalitas hingga hak kekayaan intelektual. Bahkan, mereka bisa membawa para artis menembus pasar internasional hingga menguasai pasar dunia. Hasilnya, penjualan lagu BTS sekarang berada di urutan pertama dunia (IFPI Global Music Report 2021).
Di industri musik dunia masih terjadi segregasi pasar karena isu rasial dan penguasaan ekonomi. Penguasa industri dan media Barat masih melakukan diskriminasi terhadap pasar di luar negaranya, apalagi musisi tidak berbahasa Inggris. Oleh sebab itu, bangsa Asia bukannya tidak hebat soal musik. Tapi, industri musik memiliki struktur dengan sistem privilese yang distandardisasi dan dikendalikan Barat.
Situasi bias rasial ini sudah lama sekali berlangsung dan hanya bisa ditembus jika dilakukan secara kolektif. Gebrakan ini dilakukan secara bertahap oleh BTS bersama para penggemarnya yang disebut ARMY (Adorable Representative MC of Youth). BTS yang berasal dari agensi musik kecil ternyata bisa menang melawan hierarki “kapitalisme global”. Langkah ini bisa kita pelajari untuk kemajuan musik dan budaya di Indonesia sebab Indonesia dan Korea Selatan memiliki banyak kemiripan sejarah dan struktur sosial. Salah satunya kemiripan tantangan sistem patriarki.
Stereotipe penggemar perempuan kerap dipandang sebagai remaja histeris yang tidak paham musik berkualitas, hanya tertarik tampang, dan dieksploitasi secara ekonomi. Pandangan misogini ini sudah direproduksi media dan masyarakat dengan prasangka merendahkan fandom perempuan, mengingat data BTS ARMY Census 2020 menunjukkan 87 persen mayoritas perempuan. Dari gerakan sosial protes Black Lives Matter hingga Omnibus Law dan berbagai proyek donasi skala lokal dan internasional, penggemar K-pop mematahkan stigma dengan perempuan mampu membuat perubahan sosial berkekuatan pengorganisasian organik dan kecerdasan digital.
Sejak suka K-Pop, saya sering mempertanyakan tentang stereotip maskulinitas. Kalau dilihat dari sejarahnya, budaya Asia sebenarnya sangatlah fleksibel dan fluid. Merujuk kepada pewayangan, misalnya, tokoh Arjuna digambarkan sebagai seorang pria yang gemulai dan berparas rupawan. Tidak seperti para musuhnya yang berpenampilan garang dan berotot seperti tipikal maskulinitas heteronormatif. Jika melihat ke sejarah budaya Korea Selatan di zaman kerajaan, saat itu pria Korea memakai anting dan makeup. Lalu, kapan stereotip maskulinitas masuk ke budaya kita, melakukan infiltrasi dan mengubah pemikiran kita tentang maskulinitas dan feminitas?
Di era modern, Indonesia masih memiliki stereotip maskulinitas yang melanggengkan toxic masculinity. Sementara itu, budaya idola K-pop di Korea Selatan menunjukkan perbedaan. Ketika sedang berada di panggung, BTS menunjukkan sisi emosionalnya. Saat menangis, mereka tidak menahan dan sebaliknya, memperlihatkan di hadapan umum. Bahkan, jika ada salah satu anggota yang menangis, anggota lainnya akan memeluk tanpa menunjukkan rasa canggung. Seakan semua normal dan biasa.
Para anggota BTS tidak malu menyampaikan kerapuhannya di publik. Di lagu “Abyss”, contohnya, terdapat sepenggal cerita dari salah satu anggota, Kim Seok-Jin yang mengalami impostor syndrome. Ia yang seterkenal itu saja masih mempertanyakan apakah keberhasilannya layak atau tidak. Para pendengar bisa merasa terhubung dengan mereka karena merasakan pengalaman yang sama. Mereka bisa melihat Jin sebagai pria yang juga punya pengalaman serupa, rapuh dan emosional seperti manusia biasa.
Secara tidak langsung, ekspresi emosional ini sekaligus mengurai stigma tentang pria yang terlihat lemah atau tidak maskulin jika menangis. Lingkungan inklusif membuat pria leluasa merasa dan mengekspresikan perasaannya secara sehat. Pada dasarnya, perasaan yang ditahan dapat menimbulkan tekanan. Mungkin para lelaki enggan memeriksakan kesehatan mentalnya karena stereotip maskulinitas. Bahaya tidak hanya mengancam perempuan, tapi juga sesama laki-laki. Gangguan mental dampak toxic masculinity ini yang rasanya tidak disadari para pria karena gengsi untuk memperlihatkan perasaan. BTS juga belajar dari kesalahan masa lalu untuk tidak memandang peran dan nilai perempuan dalam masyarakat hanya dari sudut pandang laki-laki. Mereka belajar dari buku feminisme dan lirik yang ditinjau akademisi gender. Unlearning patriarki, pria yang “maskulin” tidak perlu merasa terancam sisi kelaki-lakiannya hanya karena makeup dan tangis.
Saat kita bisa melihat identitas dan peran gender secara lebih dinamis dan fleksibel, tentu dunia lebih nyaman. Tak ada tekanan sosial untuk laki-laki dan perempuan dengan stereotip tertentu. Korea Selatan memiliki masalah serupa dengan kita tentang stigma memandang sebelah mata memeriksakan kesehatan mental dan serangan terhadap gerakan feminis. Para idol K-pop juga berperan dalam membangun ekosistem sehat untuk menjaga kesehatan mental lewat musik. Ketika penggemar musik K-pop bisa menggunakan pengaruhnya untuk membuat dampak positif, kita bisa belajar merayakan keberagaman gender dan minoritas dalam keseharian.