Tanpa disadari berada di era modern membuat kita lupa akan esensi hidup komunal yang penuh dengan nilai sosial. Banyak sekali sekat antar masyarakat yang membuat kita perlahan menjadi anti-sosial. Bayangkan ketika kita membeli rumah di sebuah perumahan yang dikelola perusahaan properti tertentu. Kita akan berdampingan dengan orang-orang asing yang belum tentu akan cocok dengan cara kita menjalani hidup sehari-hari. Akhirnya kita jadi anti-sosial, malas bergaul dengan tetangga sebab enggan beradaptasi dengan orang baru.
Bukankah lebih seru jika kita bisa tinggal berdampingan dengan orang-orang yang sudah kita kenal sebelumnya? Orang-orang yang sudah melalui proses “kurasi” sehingga tidak lagi perlu bersusah payah beradaptasi kembali agar dapat menciptakan kerukunan antar tetangga? Contoh kasus PSBB kemarin yang mengharuskan kita di rumah saja. Kalau kita tinggal bersebelahan dengan orang-orang yang sudah kita kenal rasanya akan lebih melegakan sekaligus menyenangkan. Kita bisa berkumpul di kawasan hunian, tetap melakukan aktivitas sosial selayaknya kodrat kita sebagai manusia. Sehingga sebenarnya co-housing atau collaborative housing dapat menjadi alternatif hunian yang menawarkan kebersamaan dan kebebasan.
Kalau kita tinggal bersebelahan dengan orang-orang yang sudah kita kenal rasanya akan lebih melegakan sekaligus menyenangkan. Kita bisa berkumpul di kawasan hunian, tetap melakukan aktivitas sosial selayaknya kodrat kita sebagai manusia
Konsep co-housing sendiri sebenarnya sudah cukup terkenal di luar negeri. Secara sederhana, co-housing adalah konsep hunian yang diciptakan oleh satu kelompok orang atau komunitas di mana mereka memiliki kesamaan prinsip dalam pembangunan hunian. Tidak ada keseragaman dalam satu kawasan rumah. Semua rumah memiliki bentuk dan desain sesuai keinginan dan kebutuhan setiap penghuni. Misalnya ada penghuni yang ingin bangunan rumahnya lebih kecil tapi ingin ada fasilitas bersama seperti dapur. Jadi konsepnya sangat fleksibel, berdasarkan kebutuhan komunitas tersebut. Tidak disetir oleh developer tertentu. Lebih menariknya lagi, kita bahkan bisa menentukan lingkungan yang diinginkan.
Proses untuk memiliki kawasan co-housing membutuhkan proses yang cukup lama dan membutuhkan interaksi intensif antar calon penghuni. Mereka akan sangat terlibat dalam menentukan berbagai keputusan mulai dari menentukan di mana lokasi kawasan hingga seperti apa bentuk kompleks perumahan tersebut. Jadi sebenarnya mereka sudah bisa berteman dengan calon tetangga jauh sebelum ada bangunan rumah. Kebersamaan serta nilai musyawarah sudah terbentuk sebelum mereka meninggali hunian. Tidak lagi perlu menebak-nebak seperti apa tetangga yang akan dihadapi nanti. Membuat kawasan seakan mengembalikan nilai-nilai budaya kita yang telah memudar. Kalau dipikirkan, sebenarnya co-housing sudah menjadi budaya di masa lampau. Lihat saja keluarga Betawi dulu yang membagikan tanahnya untuk anak-anak dan keluarga besar. Mereka kemudian tinggal dalam satu kawasan dengan nilai komunal yang tinggi.
Kebersamaan serta nilai musyawarah sudah terbentuk sebelum mereka meninggali hunian. Tidak lagi perlu menebak-nebak seperti apa tetangga yang akan dihadapi nanti. Membuat kawasan seakan mengembalikan nilai-nilai budaya kita yang telah memudar.
Dengan begini, akhirnya para penghuni bukan hanya akan mendapatkan pengalaman hidup bertetangga yang harmonis serta lebih kreatif dengan rumah sendiri, tapi juga bisa mendapat tempat tinggal yang cenderung lebih murah. Biasanya kalau kita beli rumah yang dibuat oleh developer ternama kita akan tinggal dalam rumah dengan bangunan seragam. Padahal setiap orang pasti punya seleranya sendiri. Sehingga mau tidak mau kita pasti akan melakukan renovasi lagi nantinya, menyesuaikan bangunan seperti yang diinginkan. Belum lagi harga satu rumah yang ditawarkan developer sudah pasti lebih mahal. Apalagi perumahan yang ada di area perkotaan.
Dengan begini, akhirnya para penghuni bukan hanya akan mendapatkan pengalaman hidup bertetangga yang harmonis serta lebih kreatif dengan rumah sendiri, tapi juga bisa mendapat tempat tinggal yang cenderung lebih murah.
Dulu saya sempat bekerja di salah satu perusahaan developer sebagai arsitek. Tugas saya di sana adalah mencari konsep baru untuk ditawarkan pada para calon pembeli rumah. Seiring berjalannya waktu, saya jadi tahu berapa keuntungan perusahaan. Banyak aspek tersembunyi yang diperhitungkan menjadi nilai jual sebuah rumah. Contohnya jika sebuah perumahan memiliki fasilitas kolam renang atau lapangan golf, pasti jadi lebih mahal. Belum lagi biaya pemasaran yang juga dimasukkan ke dalam perhitungan nilai jual. Biaya-biaya tambahan inilah yang membuat saya merasa cukup miris ketika ingin membeli rumah. Saya mulai berpikir untuk mencari solusi yang lebih efisien tanpa perlu membayar lebih untuk fasilitas yang tidak dibutuhkan. Konsep co-housing adalah jawabannya. Ketika sudah memperkaya diri dengan pengetahuan tentang co-housing serta sistem pembuatannya, saya mengumpulkan orang-orang yang punya kesamaan visi. Akhirnya projek co-housing yang saya lansir dengan nama DFhousing ini pun tidak hanya memberikan solusi pada saya tapi juga bagi sejumlah orang yang senasib. Mereka yang membutuhkan rumah tetapi memiliki keterbatasan pilihan dan biaya.