Maluku Utara, 12 tahun pasca kerusuhan 1998. Saya mendapat kesempatan untuk mengajar di salah satu pulau kecil di wilayah Halmahera Selatan, yang membutuhkan waktu dua hari perjalanan dari Ambon untuk mencapainya bila ditempuh menggunakan kapal laut. Meski hampir belasan tahun berselang, sisa-sisa bangunan terbakar dan ditinggal penghuninya akibat kerusuhan di tahun 1998 tersebut masih tampak jelas di beberapa tempat. Atas inisiatif pemerintah, banyak desa yang pada akhirnya disekat berdasarkan agama yang dianut oleh penduduknya untuk meredam pertikaian yang mungkin ditimbulkan, yaitu desa berpenduduk Islam dan desa berpenduduk Kristen.
Saya masih ingat di suatu sore yang tenang, saya dikejutkan oleh sekelompok anak didik saya yang masih duduk di kelas dua dan tiga SD, yang berlari-lari menghampiri dengan sorak seruan yang menyatakan kerusuhan tengah datang mendekat. Saya hanya dapat menghela nafas sembari menggelengkan kepala, heran dari mana lagi isu semacam ini beredar. Dalam riuh keributan, anak-anak ini memberi tahu saya jika kerusuhan saat ini terjadi di Ambon – yang sebenarnya cukup jauh dari desa yang mereka tempati. Dan begitu saya yakinkan mereka bahwa jarak Ambon ke pulau mereka membutuhkan waktu perjalanan berhari-hari, anak-anak tersebut melontarkan pernyataan yang makin membuat saya sedih, “Kalau begitu, kerusuhannya naik pesawat.”
Sadarkah kalian bahwa pernyataan anak-anak ini menandakan mereka sama sekali tidak memahami apa arti kerusuhan? Mereka hanya sekedar mendengar saja dari isu-isu yang beredar di sekeliling mereka, yang sebenarnya belum tentu benar. Terlahir dalam lingkungan homogen, tanpa pernah berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda membuat anak-anak di desa ini tumbuh tanpa mengenal perbedaan di antara mereka. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila selanjutnya sebuah nasihat yang saya terima dari mereka adalah, “Ibu, hati-hati dengan orang Kristen, mereka suka bakar-bakar rumah.”
Saya tidak menyalahkan anak-anak ini karena mereka seumur hidupnya belum pernah bertemu dengan pemeluk agama Kristen. Saya juga tidak menyalahkan orangtua mereka yang bisa jadi menyebarkan isu demikian karena mungkin mereka masih diliputi ketakutan pasca kerusuhan sekian tahun lalu. Namun saya prihatin bagaimana mereka dapat memiliki ketakutan dan kebencian yang tertanam sedini mungkin terhadap saudara mereka yang berbeda kepercayaan. Tidak menutup kemungkinan juga bukan bila anak-anak di desa lain yang beragama Kristen memiliki ketakutan dan kebencian yang sama dengan anak-anak pemeluk agama Islam ini?
Berangkat dari sini, saya berkeyakinan bahwa toleransi, yang dibutuhkan setiap orang untuk dapat berinteraksi dengan orang lain yang hakikatnya berbeda, harus dialami dan dirasakan secara langsung. Pengajaran dan pendidikan tidaklah cukup untuk toleransi dapat tertanam dalam benak. Oleh karenanya, sepulang dari tugas mengajar di Maluku Utara, saya bersama rekan-rekan saya tergerak untuk mendirikan SabangMerauke.
SabangMerauke adalah sebuah organisasi yang salah satu programnya memberi kesempatan kepada pelajar dari daerah untuk merasakan tinggal bersama keluarga angkat di Jakarta yang memiliki latar belakang budaya, kepercayaan, hingga lingkungan yang berbeda. Tujuannya adalah untuk memberi kesempatan bagi masing-masing anak sebuah pengalaman merasakan keragaman yang Indonesia miliki secara langsung. Misalnya seorang anak dari Jawa beragama Islam akan ditempatkan tinggal di keluarga beragama Hindu asal Bali, atau sebaliknya. Selama tiga minggu program, apa yang ingin kami tumbuhkan pada diri anak-anak ini adalah rasa toleransi yang mereka miliki.
Saya percaya bahwa segala sesuatu yang baik – termasuk di dalamnya rasa toleransi dan menghargai – harus diajarkan sedini mungkin agar saat seseorang tumbuh dewasa, sikap-sikap tersebut dengan sendirinya menjadi kebiasaan atau tertanam baik dalam diri mereka. Melalui pendidikan dan pengajaranlah saluran penyampaian hal baik tersebut sepantasnya diperoleh, seperti yang diungkapkan oleh penulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku Bumi Manusia; “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,”
Adil dalam pikiran, adil dalam perbuatan. Terkadang, pikiran kita sudah tidak adil saat kita bertemu dengan seseorang yang kita benci karena kita menjadi tidak akan percaya semua hal baik yang dilakukannya. Sebaliknya, bila kita bertemu seseorang yang kita cintai, kita akan dengan mudahnya mempercayai apapun yang dilakukannya. Demikian hal nya dengan perbuatan yang merupakan respon turunan dari pikiran kita dalam menyikapi seseorang. Kita menjadi tidak toleran karena hal ini. Padahal esensi dari toleransi itu adalah bagaimana kita bisa tetap bersikap baik, menghargai dan menghormati orang lain yang berbeda dari kita, dalam segi apapun itu. Bisa merupakan perbedaan pendapat, nilai-nilai, status sosial, kepercayaan, suku bangsa, dan lain sebagainya. Berbuat baik pada orang yang baik itu hal biasa. Yang luar biasa adalah bagaimana bisa tetap berbuat baik pada orang yang memiliki pemikiran dan tingkah laku yang tidak sejalan dengan kita.
Kita boleh tidak sepakat dengan orang lain, tapi kita harus tetap menghargai. Bukankah setiap agama yang memiliki esensi ajaran berbeda tetap mengajarkan satu hal sama, yaitu saling mengasihi antar sesama? Persatuan bisa terjadi di dalam hal-hal yang berbeda, sementara perpecahan bisa terjadi dalam hal-hal yang sama. Pertanyaannya adalah, bagaimana persatuan dapat terus dijaga terlepas dari semua perbedaan yang ada. Itulah yang harus kita upayakan bersama.
Banyak dari para pelajar yang mengikuti program SabangMerauke baru pertama kali pergi jauh seorang diri untuk tinggal di keluarga baru yang berbeda budaya. Tidak sedikit yang semula merasa takut dan butuh waktu menyesuaikan diri. Namun, kondisi seperti itulah yang memang sengaja kita ciptakan untuk mendorong mereka berinteraksi dengan keragaman. Pada masa awal menjalankan SabangMerauke, saya sempat berasumsi jika proses adaptasi dan interaksi antara pelajar dan keluarga angkatnya adalah yang paling akan memperoleh kendala, mengingat adanya perbedaan latar belakang antar individu yang terlibat. Namun mengejutkannya, justru interaksi yang terjadi di antara keduanya inilah yang malah menjadi hal yang paling mudah terjadi dalam program SabangMerauke. Hal ini menjelaskan, bahwa sebagai makhluk sosial, setiap manusia pasti secara naluri memiliki kecenderungan untuk selalu menjalin hubungan dengan siapapun, tanpa batas yang mengurungkan pandangan atau sikap terbukanya. Sementara hal tersulit dari menjalankan program ini? Tidak lain, tidak bukan, masih seputar mencari dana dan sponsor.
Sejalan dengan makin banyaknya anak-anak yang mengikuti program SabangMerauke, saya mendapati bila di saat akhir program, selalu ada banyak cerita berkesan yang membuka mata anak-anak akan indahnya hidup dalam keragaman yang mereka dapatkan. Tidak jarang pula bila pada akhirnya terdapat momen berpisah yang cukup mengharukan terjadi tiap kali para pelajar ini kembali pulang ke kampung halamannya masing-masing. Namun, program SabangMerauke masih belum selesai pada memberikan kesempatan homestay di lingkungan berbeda saja. Usai mengikuti program, para pelajar ini akan mendapat tugas yang dipandu oleh tim alumni kami, dimana selama satu tahun, mereka akan ditugaskan untuk dapat menyebarkan berita baik mengenai keragaman dan sikap toleransi yang mereka pelajari selama homestay ke lingkungan sekitarnya, melalui berbagai medium yang diinginkan. Misalnya membuat tulisan dan pameran mengenai toleransi serta perdamaian, atau mengadakan program sejenis di lingkungan daerah mereka sendiri. Harapannya adalah, segala hal baik mengenai toleransi dalam keragaman yang kami coba tanamkan pada diri anak-anak ini dapat tersebar dan dirasakan masyarakat dalam skala yang lebih luas lagi - dan kami pun ingin Anda dapat juga menjadi salah satu bagian di dalamnya.