Sebelum terciptanya kota-kota modern dan sebelum lahirnya berbagai teknologi, manusia hidup dengan segala keterbatasannya dari alam. Kita hidup berdampingan dengan pepohonan, rerumputan, dan berbagai tanaman. Memanfaatkan apa yang kita perlukan dari mereka secukupnya. Namun manusia saat ini seperti sudah bercerai dengan alam. Kita memilih untuk memisahkan diri darinya, tinggal di kota-kota besar, dan lupa bahwa manusia sesungguhnya diberikan peran yang sangat penting di bumi yakni sebagai penjaga keseimbangan alam.
Bukannya mengingat peran ini, manusia justru melupakan dan yang dilakukan hanyalah mengeksploitasinya, mengeruk habis-habisan isinya, tanpa menyadari bahwa apa yang diambil dari alam tidak akan muncul kembali hanya dalam waktu sekejap. Jika terus begini, bukan tak mungkin yang akan kita lihat sebentar lagi adalah bumi yang kering karena alamnya semakin terkuras.
Manusia dahulu selalu melihat bintang di langit untuk mengetahui pergerakan bumi – yang kemudian melahirkan ilmu astronomi. Lewat cara itu kita kemudian dapat menyadari betapa kecilnya manusia di dalam alam semesta. Namun seiring dengan tumbuhnya peradaban sampai ke kehidupan modern seperti sekarang, kita semakin jauh dengan hal-hal semacam itu. Kita saat ini seakan menutup jendela untuk menyadari betapa tidak signifikannya manusia dibanding jagat raya yang luas. Kita hanyalah butiran debu. Namun arogannya keterlaluan.
Apakah kita menyadari bagaimana cara kita memperlakukan bumi yang selama jutaan tahun telah menjadi rumah bagi manusia saat ini? Mungkin tidak. Mengutip ucapan Thich Nhat Hanh, seorang biksu dari Vietnam, “We have to walk in a way that we only print peace and serenity on earth. Walk as if you are kissing the earth with your feet.” Sesungguhnya semua yang kita lakukan kepada bumi dan isinya benar-benar harus dilakukan dengan halus dan penuh kasih sayang, persis seperti kecupan lembut. Namun yang kita lakukan sekarang seakan-akan menghentak-hentak penuh emosi.
Manusia mungkin tidak secara intensional ingin menjadi makhluk yang arogan dan merasa superior dibandingkan alam. Semua terjadi secara evolutif sejak manusia mampu menciptakan mesin-mesin dan senjata. Lambat laun, kesadaran dan perilaku manusia mulai berubah karena mulai berpikir bahwa tanpa taring atau cakar layaknya binatang buas, manusia mampu berburu dan menghancurkan apa yang menghalanginya. Pemahaman ini lah yang kemudian membawa manusia merasa sebagai makhluk yang berada di posisi teratas dari rantai makanan.
Dengan memiliki pemikiran seperti ini dan posisi di mana manusia sudah tidak lagi terhubung dengan alam, semuanya menjadi semacam the perfect storm. Manusia menjadi punya pola pikir bahwa kita tak lagi membutuhkan alam. Semuanya seakan menjadi antroposentris dan egosentris – semua tentang manusia. Semakin manusia terputus dengan alam, artinya kita lupa dengan pencipta kita karena kita hanya memikirkan diri sendiri.
Hidup di kota yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit memagari jalan beralaskan aspal keras menjadikan manusia seperti tikus dalam lorong-lorong labirin yang sempit. Kerasnya kehidupan membuat apa yang manusia lakukan sehari-hari hanyalah berjuang – struggle. So we feel like the whole world is about struggle. Perjuangan dalam menjalani hidup ini yang justru menumbuhkan perasaan egois di mana manusia jadi semakin lebih mementingkan dirinya sendiri dibandingkan kehidupan sekitarnya.
Banyak orang yang mengutarakan bahwa kiamat sudah dekat – dari berbagai sudut pandang. Jika memang begitu permasalahannya, semestinya manusia jangan tetap pada jalurnya seperti saat ini yang membawa bumi pada ‘kiamatnya’. Masih belum terlambat untuk kita mengubahnya. Yang kita perlu lakukan hanya berhenti dan mengingat bahwa hidup bukanlah tentang diri sendiri. We are not alone. Masih banyak yang lain yang ada di bumi ini.
Tak sulit sebenarnya untuk bisa kembali terhubung dengan alam. Yang termudah hanyalah meluangkan waktu di alam bebas seperti taman atau hutan. Mungkin bagi kebanyakan manusia modern ini akan menjadi suatu hal yang sulit karena hari-harinya telah tersita oleh berbagai kesibukan. Namun setidaknya cobalah untuk sedikit saja menyisihkan waktu untuk kembali memijak rerumputan atau menyentuh pepohonan. Coba luangkan waktu sejenak untuk melihat alam di sekeliling – daun, reremputan, pohon, dan langit. Lihat dan ingat bahwa ada kehidupan lain di bumi ini selain manusia.
Bagi saya pribadi, cara untuk bisa kembali terhubung dengan alam mungkin terdengar sedikit aneh. Dengan memeluk pohon! Ya, banyak yang menganggapnya gila. Kita sering memanfaatkan kayu untuk berbagai keperluan namun lupa asalnya dari mana: pohon. Dan pohon juga merupakan makhluk hidup yang memiliki energi. Jadi itulah bentuk terimakasih saya kepada alam dan Sang Pencipta yang telah memberi limpahan berkah melalui sebatang pohon.
Sesungguhnya, menghormati alam merupakan bentuk spiritualitas di mana keduanya merupakan hal yang tak terpisahkan. Menghormati alam berarti mengingat kembali peran yang digariskan Tuhan kepada kita sebagai manusia. Menghormati alam berarti menjaga anugerah dari Tuhan. Tidak mungkin bagi manusia untuk dapat dekat dengan-Nya apabila mereka masih menyia-nyiakan apa yang diberi dan dianugerahkan kepadanya.