Society Art & Culture

Menggambar Cita-Cita

Sedari kecil, saya ingin menjadi pelukis. Pada saat saya berumur lima tahun, saya utarakan niat tersebut kepada pengasuh saya. Tanggapan beliau tidak positif. Raut pengasuh saya tampak terkejut, dan kemudian ia bertukas, “Aku sedih. Semua saudara-saudara kamu punya cita-cita keren. Ada yang mau jadi insinyur, ada yang kepingin jadi dokter. Mas Galih malah maunya jadi pelukis.”

Saya tidak bertanya lanjut kenapa hal tersebut malah membuat beliau sedih. Tidak pula saya kemudian mengubur cita-cita tersebut dalam-dalam. Toh, itu hanyalah pendapat satu orang. Mungkin, batin saya, akan saya temukan orang lain yang bisa mengapresiasi cita-cita saya.

Saya beruntung. Almarhum Bapak selalu menuntun untuk mengejar cita-cita sesuai yang saya mau. Baik itu menjadi penulis, arsitek, pembuat film, pelukis, atau apapun. Di jenjang pendidikan manapun, saya selalu mengeksplorasi ranah seni sebagai hobi yang tak pernah terputus – kecuali pada saat saya duduk di bangku SMA, di mana sekolah saya tidak memiliki bidang studi seni rupa. Seni langsung menghilang dalam hidup saya pada saat itu, tergantikan dengan hiruk pikuk masa remaja yang gaduh dan tak nyaman.

Ketika melewati usia 20 tahun, barulah saya kembali menggeluti kegiatan menggambar dengan perlahan. Dimulai dari tugas-tugas dari perkuliahan Desain Interior, saya merasakan kembali nikmatnya menggambar. Selepas dari kuliah Desain dan Arsitektur, saya kembali aktif berkarya dalam keseharian.

Saya tidak pernah memiliki tujuan yang spesifik ketika menggambar. Yang saya tahu, menggambar menenangkan batin, membuat saya lebih peka terhadap sekitar, dan meningkatkan kemampuan observasi. Menggambar membuat saya menghargai proses sebagai bagian dari bentuk akhir, dan menyadarkan bahwa ada banyak hal di dunia yang tidak serta-merta harus dihargai oleh materi. Saya menemukan dunia sendiri ketika menggambar yang seperti terpisah dengan hal-hal lain dalam hidup saya pada saat itu.

Pertanyaan dan cemoohan dari lingkungan tak pernah saya indahkan, walau ada beberapa saat saya merasa kecil ketika membandingkan diri dengan teman dan saudara yang tampak ‘mapan’ dengan penghasilan dan gaya hidup mereka.

Ilusi akan kemapanan kerap menghambat kita dari pencarian arti hidup yang sesungguhnya.

Ketika saya sudah aktif mencari uang dengan tangan sendiri, saya merasakan besarnya peluang yang bisa saya dapatkan dari menggambar. Saya sadar, memilih untuk menjalani hidup sebagai ‘tukang gambar’ tidak berarti bahwa hidup kita akan sulit, berliku, dan seret penghasilan. Demikian juga ketika kita memilih untuk terjun ke dunia korporasi ataupun tempat kerja yang menawarkan jaminan berlimpah, tak berarti semua akan mulus tanpa halang rintang.

Semangat ini kami coba teruskan kepada anak-anak di komunitas Kelas Gambar,  di mana saya dan partner membuka kelas-kelas gambar gratis kepada anak-anak yang membutuhkan. Tidak semua sanggar dan yatim piatu menerima Kelas Gambar dengan terbuka. Banyak yang berharap bantuan yang lebih ‘berguna’ – seperti kelas berhitung, kelas masak, kelas menjahit, dan sebagainya. Seiring dengan berjalannya Kelas Gambar, perubahan mulai terlihat di anak-anak peserta. Orang tua mereka cerita, bahwa anak-anak mereka jadi jauh lebih percaya diri, lebih bisa berkomunikasi, dan lebih ekspresif. Perlahan tapi pasti, kepercayaan terhadap kelas kami mulai tumbuh.

Di Kelas Gambar, kami selalu meminta anak-anak untuk menggambar dari objek yang tertera di depan mata mereka, dan untuk selalu menyelesaikan apa yang dimulai. Anak-anak selalu menggunakan media krayon, untuk meminimalisir ketakutan yang kerap terjadi ketika mereka menggunakan media pensil. Kami tidak menyarankan mereka mengganti-ganti kertas, apalagi menggunakan penghapus. Anak-anak diharapkan untuk belajar mencintai karya mereka sendiri. Interupsi dari para fasilitator pun harus seminim mungkin. Membimbing anak-anak untuk menggambar adalah keharusan, tetapi kami tidak pernah ikut mencoret di atas kertas mereka. Proses harus sepenuhnya milik sang anak.

Hampir 30 tahun yang lalu, saya mengutarakan keinginan saya untuk menjadi pelukis. Pada saat itu, reaksi yang saya dapatkan mungkin tidak sesuai dengan harapan. Kini, bersama Kelas Gambar saya berusaha meyakinkan ke anak-anak, bahwa menggambar adalah untuk siapa saja dan di mana saja. Tidak semua orang harus jago menggambar, dan tidak semua orang harus menjadi pelukis. Tetapi pelukis boleh datang dari kalangan apapun di mana pun.

Mimpi dan cita-cita tersebut berhak dimiliki oleh setiap anak, dan selayaknya mereka mendapatkan bantuan untuk mengejarnya.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023