Cukup panjang kalau harus menceritakan perjalananku hingga akhirnya menggeluti dunia tato sehingga memiliki studio tato sendiri di Bali. Aku adalah campuran Belanda-Jawa di mana sedari kecil besar dengan banyak ornamen yang berlainan. Opa yang seorang Belanda seringkali tidak menghiraukan kepercayaan lokal yang justru membuatku penasaran menelusuri budaya Indonesia lebih dalam. Seperti soal wayang dan keris. Waktu kecil seringkali diperingatkan untuk tidak dipegang atau dimainkan sembarangan. Aku kemudian menjadi cari tahu lebih banyak soal itu.
Selama aku tinggal sendiri di Eropa, aku tidak pernah merasa puas meski berbagai mimpi sudah tercapai. Tapi ada yang selalu kurang. Tahu kan perbedaan gaya hidup orang Barat dan Indonesia? Di sana mereka hidup sangat individualis sedangkan di sini sungguh kekeluargaan. Itulah yang aku rasakan. Aku memahami bahwa dimanapun aku bekerja sendiri pasti akan selalu ada yang kurang. Di situ pun aku jadi paham bahwa apa yang ingin aku pelajari ada di sini, di Indonesia. Kalau di Eropa aku belajar banyak hal teknis tapi kalau di Indonesia aku belajar cara hidup. Semua pola dan gambar yang menginspirasi karyaku ada di sini, di Indonesia.
Buatku tato adalah sebuah seni dengan kanvas terumit. Saat menggambar di kertas, sebagus apapun itu tidak akan hidup. Semakin kertas itu menua, gambar tersebut tidak akan hidup. Sedangkan kulit manusia itu kompleks – berubah-ubah – ada bentuknya ada ukurannya. Sehingga kanvas yang ingin aku geluti, ya kulit manusia. Aku percaya tato adalah sebuah penggambaran diri, identitas kita untuk memberitahu dari mana kita berasal. Itulah mengapa karyaku terfokus pada budaya Indonesia dari mana aku berasal dan lahir. Jadi kalau dulu kita bisa melihat pola yang berasal dari Jawa atau Bali di kain, kini bisa dilihat di tangan atau bagian tubuh lainnya. Aku hanya memindahkan mediumnya saja.
Aku percaya tato adalah sebuah penggambaran diri, identitas kita untuk memberitahu dari mana kita berasal.
Apabila harus menjelaskan filosofi karya-karyaku (terutama yang memiliki unsur budaya Jawa dan Bali) sebenarnya dapat diwakili dari arti nama studioku: Sekala 369. Arti kata Sekala adalah dapat dilihat. Sadar kan kalau nenek moyang kita itu meninggalkan begitu banyak budaya dan ritual yang diturunkan dari generasi ke generasi di mana pola dan benda-benda budaya juga termasuk di dalamnya? Nah, itulah yang dapat kita lihat. Selain aku juga ingin tempat ini menjadi tempat yang bukan sekadar tempat untuk membuat tato tapi untuk mereka teman-temanku yang ingin menggambar dan memperlihatkan gambar mereka. Sedangkan 369 itu dapat didefinisikan sebagai karma yang berlipat ganda. Kelipatan 3, 6, dan 9 melambangkan karma kecil, medium, dan besar. Dalam hal ini aku mengaitkannya pada warisan budaya di mana nenek moyang kita sudah mewarisinya pada kita (pada saya), kemudian aku menggembangkannya dalam karya tato yang kemudian aku harap bisa mewariskan pada generasi berikutnya.
Namun memang penerimaan tato di negara kita belum semulus itu. Banyak orang yang masih memiliki stigma negatif soal orang yang bertato, yang dikaitkan dengan pribadi yang buruk bahkan mengarah ke kriminalitas. Banyak juga yang mengaitkannya pada agama di mana beberapa agama melarang memiliki tato. Padahal dalam sebuah tato terdapat sisi spiritual. Ingin mencari tahu diri kita siapa, identitas diri adalah hal yang berkaitan erat dengan spiritual. Itulah juga yang terdapat dalam unsur tato di mana sebenarnya dahulu menjadi sebuah tanda identitas. Sebelum masuknya agama ke Indonesia kita sudah punya budaya sendiri. Pendahulu kita memiliki tato untuk memberitahukan dia keturunan siapa, jabatannya apa. Sehingga kalau mau dipikirkan lebih dalam tato tidaklah negatif. Faktanya meski kita membubuhkan gambar tengkorak di badan, kalau kita berperilaku baik kita akan tetap baik, toh?
Semuanya sebenarnya berasal dari apa yang ada di kepala kita saja. Dulu tato di tanganku berisikan penuh dengan gambaran. Kemudian saya blok hitam semua. Aku merasa semua arti yang ingin aku ingat ada di kepala jadi belum tentu harus aku gambarkan di tubuh. Contohnya dulu saya pernah punya pelanggan yang ingin membuat tato di mana dia dapat menggambarkan dia sayang sekali dengan anaknya. Kemudian saya bilang: “You don’t need to tattoo it, your kid is in your heart, in your brain.” Jadi apapun gambar yang ingin ditunjukkan di sekujur tubuh, artinya tetap ada di otak kita. Meski hanya berupa garis lurus saja. Tato juga sebenarnya menjadi sebuah pengingat hidup kita. Saat kita melihat kembali tato yang ada di tubuh kita mengingat memori saat membuatnya, apa yang terjadi di waktu tersebut, era tersebut. Sehingga saat aku membubuhkan budaya Jawa atau Bali pada gambar tato yang dibuat itu pun akan mengingatkan kita pada apa yang kita ingin percaya atau ketahui tentang budaya tersebut.