Pada suatu hari, saya baru saja membaca beberapa berita tentang air tanah. Semua rumah yang ada di perkotaan kebanyakan menggunakan air tanah. Terutama di Jakarta. Tidak hanya rumah, gedung-gedung pun menggunakan air tanah. Sayangnya, di ibu kota ini penghijauan kurang dilakukan sehingga permukaan tanah kota ini mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Faktanya, lapisan tanah yang sudah kering seringnya terus dilubangi lagi hingga ditemukan sumber air. Padahal, jika itu dilakukan kita bisa tenggelam sebab air laut yang akan jadi lebih tinggi dari permukaan tanah.
Mengetahui ini, saya pun menceritakannya pada anak-anak sebagai pengantar tidur. Saya bilang, “Kamu kalau cuci tangan, mandi, dan ambil air sumbernya dari tanah. Kalau kamu boros berarti kamu akan ambil air terus dari tanah. Lama-lama tanahnya bisa turun terus. Lalu nanti Jakarta bisa tenggelam.” Tiba-tiba anak saya yang pertama bertanya bagaimana nasibnya ketika sudah dewasa nanti sambil menangis karena berpikir ia akan tenggelam. Saya tidak menyangka mengapa dia bisa berpikir seperti itu. Melihatnya menangis pun saya jadi sedih. Kemudian saya berpikir bahwa selama ini saya sudah mulai melakukan sesuatu meski hanya dimulai dari diri sendiri saja. Memang, terkadang sedih saat datang ke sekolah anak-anak lalu melihat banyak orang tua yang masih belum sadar akan sampah plastik. Mereka masih mengambil plastik dan memakai sedotan plastik begitu banyak. Selama masih disediakan, saya pikir kebiasaan mereka rasanya sulit untuk berubah walau kampanye kurangi plastik sudah ramai disuarakan. Terkadang saya cuma bisa mengelus dada tapi tidak berani bilang apa-apa.
Sampai pada akhirnya terketuk akibat ketakutan anak saya akan nasibnya nanti. Diikuti pernyataan anak saya yang paling kecil bilang, “Ya, perbaiki aja.” Saya pun semakin terheran mengapa bisa anak berusia tiga setengah tahun bisa bilang sesuatu secara sederhana namun tepat sasaran. Saya merasa dia benar. Saya sebagai orang tua tentu saja memiliki ketakutan akan masa depan anak yang tidak cerah. Apalagi tahu kondisi lingkungan di masa depan yang mungkin saja mengusik kehidupan anak-anak. Jadi, saya pun berpikir daripada saya tidak berbuat apa-apa. Hanya menceritakan saja pada mereka dan hanya melakukan kegiatan penghijauan untuk diri sendiri, lebih baik saya melakukan sesuatu. Akhirnya saya berkomitmen pada demi bumi, sebuah inisiatif yang berupaya untuk melahirkan solusi-solusi menyediakan produk yang lebih ramah lingkungan serta informasi-informasi edukatif yang berhubungan dengan isu tersebut.
Kedua anak saya adalah kunci dari segalanya. Saya sebagai orang tua tidak hanya ingin meluangkan waktu untuk mereka dalam aspek akademis atau finansial saja. Tapi juga untuk mengubah masa depan dengan memperbaiki lingkungan jadi tempat yang lebih baik. Banyak orang mungkin hanya berpikir untuk memberikan fasilitas pada aspek akademis anak-anaknya saja. Namun kalau bisa dipikirkan kembali, jika lingkungan di sekitar kita hancur semua akan percuma. Sehingga saya ingin meluangkan waktu untuk itu. Dimulai dengan cara-cara yang paling sederhana seperti mengenalkan mereka kepada alam. Ke mana pun mereka mau pergi, sebisa mungkin mereka harus berdekatan dengan alam. Sebenarnya saya berharap sebagai orang kota kita tidak boleh lupa pentingnya keberadaan alam. Di masa pandemi ini saya pun mulai belajar menanam. Pertama hanya menanam kangkung dan berhasil. Lambat laun tanaman saya bertambah dari bayam hingga kacang panjang. Lalu sekarang sudah banyak jenis sayur-sayuran lainnya sampai saya membuat rooftop garden.
Banyak orang mungkin hanya berpikir untuk memberikan fasilitas pada aspek akademis anak-anaknya saja. Namun kalau bisa dipikirkan kembali, jika lingkungan di sekitar kita hancur semua akan percuma.
Menurut saya, apapun yang ingin kita ubah semuanya harus dijalani dengan konsisten agar dapat menjadi sebuah kebiasaan. Saya merasakan sekali apa yang telah saya “tabur” dampak baiknya telah saya tuai. Semuanya akan kembali lagi ke kehidupan saya. Saat mengolah sampah rumah tangga lalu mengubahnya jadi pupuk, akhirnya saya tidak perlu buang-buang uang untuk beli pupuk. Kemudian pupuk gratis tersebut menyuburkan sayur-sayuran yang nantinya saya makan. Inilah yang sebenarnya ingin saya sebarkan lewat demi bumi juga secara personal. Ketika kita mau mengembalikan apa yang kita makan kepada alam, manfaatnya pasti akan kembali lagi ke kehidupan kita.
Ketika kita mau mengembalikan apa yang kita makan kepada alam, manfaatnya pasti akan kembali lagi ke kehidupan kita.
Selama perjalanan demi bumi, saya juga tidak pernah berhenti belajar. Berbagai acara yang mengundang kami selalu memberikan pengetahuan baru tentang lingkungan. Salah satunya saya pernah mengikuti sebuah seminar di mana ada seorang aktivis penanam pohon asal NTT yang memberikan inspirasi pada saya dalam mengembalikan kembali pada alam apa yang kita konsumsi darinya. Setiap hari ia menghitung berapa banyak konsumsi kita yang berasal dari tanaman dan seberapa banyak yang seharusnya kita kembalikan. Seperti minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit. Jika kita mau hidup berkelangsungan, seharusnya apa yang kita punya langkah untuk mengembalikannya agar sumbernya tidak habis. Menurutnya, dalam satu satu kita seharusnya paling tidak menanam 180 pohon untuk mengembalikan apa yang dikonsumsi. Apa yang dilakukannya? Setiap kali ia makan buah, biji-bijinya dikumpulkan lalu disebar kembali di sekitar rumahnya. Sehingga ia menciptakan hutan sendiri.
Saya pikir ini konsep yang amat bagus. Pulang dari seminar itu, saya pun menerapkannya. Setiap kali makan buah, saya sisihkan bijinya dan saya sebar di halaman rumah. Benar saja, mereka bertumbuh dengan sendirinya. Sampai-sampai ada pohon pepaya yang tumbuh besar dan sudah bisa saya panen. Ketika saya mulai menanam, saya juga menyadari ternyata kegiatan tersebut membuat ekosistem baru. Dulu jarang sekali ada serangga di sekitar rumah saya. Sejak menanam, banyak capung, kupu-kupu, lebah, hingga kepik ada di halam rumah. Tentu saja ini menciptakan rantai makanan baru yang manfaatnya nanti akan berujung kembali kepada kita. Jadi seandainya kita memang mau sadar dan meluangkan waktu untuk ini, kita sebenarnya akan jauh lebih diuntungkan. Menurut saya, banyak orang akan melakukan kalau tahu manfaatnya untuk hidup mereka. Sehingga kegiatan-kegiatan pelestarian harus ditularkan ke lebih banyak orang agar bertambah banyak yang menyadari betapa penting pelestarian lingkungan dan manfaatnya bagi keseharian kita. Utamanya, untuk hidup yang lebih berkualitas.