Tidak pernah ada kata mudah untuk menjadi seorang orang tua tunggal. Terutama untuk para perempuan yang menjadi ibu tunggal. Walaupun tentu saja para bapak tunggal juga memiliki tantangannya sendiri, tapi masyarakat kita cenderung lebih sering memberikan stigma kurang baik pada ibu tunggal. Seorang pria yang bercerai bisa disebut “duda keren” dan dimaklumi jika perceraian terjadi akibat ia selingkuh. Seakan mewajarkan pria memiliki sifat tidak setia. Sementara untuk para perempuan yang menjadi janda, ia seringkali dipandang sebelah mata karena label “janda” yang sering dikonotasikan dengan perempuan genit atau penggoda.
Faktanya, tantangan menjadi ibu tunggal terasa jauh lebih berat daripada bapak tunggal. Pertama adalah tantangan finansial. Ketika mendadak ditinggal meninggal atau bercerai, tentu saja penghasilan keluarga akan berkurang. Apabila ia memiliki anak, finansial bisa menjadi tantangan terbesar seorang ibu tunggal. Terutama jika sebelumnya ia hanya seorang ibu rumah tangga. Ia harus memulai dari nol untuk memikirkan berbagai cara agar bisa terus berjuang menghidupi anak-anak dan dirinya sendiri.
Tantangan selanjutnya adalah soal emosional. Selain harus berjuang mencari nafkah untuk anak-anaknya agar terus bertahan hidup, seorang ibu tunggal di saat yang sama juga harus mengalami patah hati. Ada luka batin dari perpisahan tersebut yang harus dikelola dan disembuhkan. Kasus pernikahan dan perceraian setiap orang pasti berbeda-beda dan kita tidak bisa begitu saja memberikan penilaian subyektif. Akan tetapi, saya percaya bahwa tidak ada satupun orang yang berharap pernikahannya akan berantakan dan berakhir.
Saya percaya bahwa tidak ada satupun orang yang berharap pernikahannya akan berantakan dan berakhir.
Ketiga adalah tantangan mengasuh anak. Terutama ketika kasusnya adalah mantan suami menghilang setelah bercerai. Otomatis, sang ibu tunggal harus menjalankan fungsi orang tua sendirian. Tentu saja bebannya pun bertambah. Ada ketakutan bagaimana cara membesarkan anak sendirian. Belum lagi dengan adanya kekhawatiran akan tumbuh kembang anak tanpa figur seorang ayah. Kemudian tantangan terakhir adalah stigma yang dilekatkan pada para ibu tunggal. Rasanya tiga tantangan pertama yang datang dari dalam keluarga saja sudah berat, apalagi ditambah dengan tantangan dari luar yang tidak jarang mengganggu pikiran.
Di awal perpisahan dengan suami, saya merasakan begitu banyak keresahan. Pertanyaan, “Nanti bagaimana? Apakah bisa berjuang atau tidak?”, selalu muncul di kepala. Itulah mengapa saya mencari komunitas yang dapat membantu saya bangkit kembali. Hingga akhirnya terciptalah Single Moms Indonesia (SMI) untuk mendukung dan membantu para ibu tunggal berdaya. Hadirnya komunitas ini adalah untuk menciptakan satu ruang aman untuk para ibu tunggal saling mendukung dan menguatkan. Paling tidak, mereka tidak merasakan sendirian. Merasa sendiri sangatlah berbahaya karena bisa mengantar seseorang pada depresi. Ketika merasa sendiri, seseorang bisa memikirkan hal-hal yang mungkin mencelakakan mereka karena merasa tidak ada yang mendukung dan tidak lagi sanggup menghadapi kenyataan. Di awal, saya pun memiliki begitu banyak kebingungan. Di sekitar saya tidak ada yang bercerai sehingga saya butuh belajar dari mereka yang mungkin pernah mengalami hal serupa.
Terlepas dari apapun alasan perempuan menjadi seorang ibu tunggal, ia layak didukung. Berada dalam komunitas bisa membuat mereka merasa tidak sendirian, bisa berbagi keluh kesah tanpa takut dihakimi. Paling tidak, ia bisa mendapat inspirasi dari mereka yang sudah pernah melalui. Semisal untuk urusan keuangan. Ada salah satu anggota kami yang saat pertama kali bergabung tidak tahu bagaimana cara berdaya dan menghidupi keluarganya. Oleh karena itu, dalam komunitas ini kami juga mengupayakan berbagai hal untuk memberdayakan para ibu tunggal untuk bisa berdaya. Harapannya agar para ibu tunggal bisa lebih percaya diri dan tidak hilang harapan akan masa depan.
Terlepas dari apapun alasan perempuan menjadi seorang ibu tunggal, ia layak didukung.
Di sini kami banyak mengadakan kegiatan-kegiatan pemberdayaan mulai dari kelas pengelolaan keuangan, parenting hingga emotional healing. Terdapat juga kelas-kelas lain yang bisa mengembankan kemampuan mereka untuk menghasilkan uang tambahan seperti pelatihan membuat sosis homemade, kelas menulis, hingga kelas memulai bisnis kuliner. Pada intinya semua kegiatan kami yang beragam ini punya satu benang merah tujuan sesuai dengan visi misi yaitu pemberdayaan ibu tunggal.
Dalam lingkup masyarakat, kita semua juga sebenarnya bisa mendukung para ibu tunggal dengan cara yang sangat sederhana. Jangan lagi menggunakan status para ibu tunggal sebagai bahan bercanda, terimalah para ibu tunggal seperti masyarakat lainnya yang layak dihormati dan dihargai. Jangan melabel anak-anak para ibu tunggal sebagai anak-anak broken home, apalagi anak haram untuk anak-anak yang lahir di luar ikatan pernikahan. Janganlah memandang rendah para ibu tunggal hanya karena status tersebut tidak mendefinisikan karakter asli seseorang. Banyak ibu tunggal yang berprestasi dan bisa memberdayakan sesama perempuan. Banyak sekali ibu tunggal yang berjuang menjadi tulang punggung sekaligus menjadi ibu yang harus membesarkan anak-anaknya. Jadi, cobalah berempati lebih pada mereka untuk meringankan sedikit bebannya.