Society Planet & People

Mendalami Jiwa Feminisme

Devi Asmarani

@dasmaran @dasmaran

Pendiri & Editor-in-Chief Media Feminis

Ilustrasi Oleh: Pikisuperstar

Bicara soal feminisme adalah bicara tentang sebuah paradigma di mana terdapat pemahaman yang sangat komprehensif sehubungan dengan keadilan berbasis gender. Kesadaran akan feminisme itu sendiri kemudian dijadikan dasar berbagai pemikiran serta kebijakan untuk bagaimana kita berlaku di dunia ini. Lahirnya feminisme berasal dari adanya ketidakadilan, kesetaraan.

Lahirnya feminisme berasal dari adanya ketidakadilan, kesetaraan.

Hingga kini feminisme masih harus banyak diperjuangkan tidak hanya di negara-negara yang kurang maju saja tapi di manapun. Di dunia barat yang sudah jauh lebih maju saja masih banyak negara yang baru memberikan hak untuk memilih pada perempuan. Bila dihitung baru 80 tahun yang lalu, paling lama 100 tahun lalu. Baru satu abad saja. Hingga kini selalu ada perjuangan yang diinisiasikan oleh seorang feminis. Memperjuangkan hak politik seperti memiliki hak suara dalam Pemilihan Umum, menjadi representasi di institusi pemerintahan, memiliki hak yang sama dengan suami di pernikahan, atau memiliki upah yang sama dengan laki-laki Faktanya secara global, perempuan hanya dibayar 70% di bawah laki-laki. Dari fenomena inilah lahirnya feminisme. 

Faktanya secara global, perempuan hanya dibayar 70% di bawah laki-laki.

Gerakan feminisme pada dasarnya sangat positif tapi banyak orang mispersepsi akan terminologi feminisme itu sendiri sendiri. Menurut saya penyalahartian tersebut berasal dari anggapan yang salah tentang feminisme di mana gerakan kesetaraan gender dipertimbangkan sebagai ancaman pada aturan sosial yang sudah ada terutama yang berhubungan dengan kehidupan patriarki. Akhirnya disebarkanlah bahwa perempuan yang feminis adalah perempuan yang hanya ingin menguasai laki-laki atau mengalahkan laki-laki. Padahal dalam pemahaman feminisme tidak ada misi-misi tersebut. Kemudian dikatakan juga bahwa para perempuan feminis benci laki-laki, tidak menghargai feminitas. Tapi itu hanya omong kosong belaka menurut saya. Saya juga bisa berdandan dan pakai rok tapi saya mengakui saya feminis. Jadi banyak fakta yang diputarbalikkan. Kami para feminis anti pada tradisi-tradisi yang merepresi perempuan, prospek-prospek berbahaya yang dapat merugikan perempuan.

Sayangnya dari zaman ke zaman narasi tersebut diulang-ulang, media massa juga tidak semakin pintar, masih banyak yang ikut mendorong pemikiran tersebut. Bahkan masih banyak sekali perempuan yang menyatakan anti-feminis karena mereka berpikir feminisme itu mendobrak hal-hal yang mengangkat harkat perempuan. Banyak yang bilang patriarki itu bagus karena artinya perempuan dilindungi laki-laki. Kalau kita dilindungi kenapa undang-undang penghapusan kekerasan seksual saja belum juga disahkan. Artinya pemahaman anti-feminis ini tidak didukung dengan bukti. Padahal sebenarnya kalau dipikirkan tentang harkat perempuan kenapa masih banyak perempuan yang menerima kekerasan, masih banyak kebijakan yang belum berpihak pada perempuan, pembangunan belum berpihak pada perempuan. Contohnya pembangunan kota, saat membuat jembatan dibuat sangat jauh, panjang, tidak ada lampu, sehingga merasa tidak aman saat lewat situ akhirnya mereka harus putar arah.

Belum lagi sederetan kasus stereotip gender (terutama di Indonesia) yang mempercayai bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih lemah, patut dilindungi. Ya, patut dilindungi karena kaum pria masih sering melakukan hal-hal yang membuat wanita harus dilindungi, melakukan kekerasan. Artinya kalau pria tidak begitu wanita kan tidak perlu dilindungi, wanita bisa melindungi dirinya sendiri. Perempuan masih dilihat dari penampilan dari fisik. Tidak hanya dalam lingkup pribadi tapi sampai di media pun demikian. Ketika menulis tentang perempuan masih diberikan embel-embel cantik atau seksi. Selalu ada objektifikasi. Masih belum ada kesadaran bahwa perspektif gender itu adalah inklusif tidak hanya untuk perempuan tapi semua orang. Contohnya seperti pembangunan jembatan yang saya katakan tadi itu tidak memudahkan semua orang bukan hanya perempuan tapi juga anak-anak, orang-orang dengan disabilitas. Jadi sebenarnya kalau membicarakan tentang feminisme adalah membicarakan keadilan bukan semata-mata mengutamakan perempuan. 

Bicara tentang feminisme adalah membicarakan keadilan bukan semata-mata mengutamakan perempuan. 

Berbeda lagi di era milenial seperti sekarang ini banyak perempuan-perempuan muda yang terekspos lewat media-media populer seperti internet dan media sosial. Mereka mengilhami pengertian feminisme dari para influencer dan selebriti di mana pemahaman mereka tentang feminisme masih dangkal. Tidak salah sih, tapi mereka belum paham apa yang menjadi jiwa feminisme itu sendiri. Feminisme adalah soal kesetaraan, soal keadilan, bukan hanya kita dengan misi personal sebagai wanita, memiliki kebebasan apakah itu kebebasan berekspresi kebebasan seksual atau apapun tapi tentang memiliki solidaritas kepada perempuan-perempuan yang belum memiliki hak-hak yang sama seperti kita. Sebagian wanita yang menyatakan dirinya feminis berpikir bahwa feminisme itu adalah bentuk kebebasan pribadi. Itu adalah salah satu bagian, betul, tapi sebagian kecil saja. Lebih luasnya menjadi feminis adalah membantu menyuarakan kesetaraan untuk mendapatkan solusi. 

Caranya bagaimana? Salah satunya adalah mengakui hak istimewa (privilese) diri kita bahwa tidak semua perempuan lahir dengan keistimewaan yang kita miliki. Semisal saya sendiri. Saya memiliki hak istimewa sejak kecil yang memiliki karakter rebel atau bisa memperjuangkan apa yang saya pikir benar. Saya bisa melakukan hal-hal yang laki-laki lakukan. Saya bisa berpendidikan tinggi dan mengejar mimpi. Nah, hanya perempuan dengan privilese seperti ini saja yang bisa hidup demikian. Masih banyak yang mengalami keterbatasan karena masyarakat kita yang masih patriarkis. Dari pemahaman yang minim para perempuan milenial hanya masuk ke budaya calling out saja di mana mereka hanya berorasi tapi tidak melakukan sesuatu yang benar-benar berdampak pada para perempuan yang tidak diperlakukan secara adil. 

Budaya calling out atau bersuara memang perlu. Kita perlu menyuarakan sesuatu yang salah. Tapi pada waktu yang sama feminisme itu bukan hanya soal bersuara dengan solusi. Tidak hanya marah-marah. Kita masih perlu belajar dari para leluhur feminis. Mereka berangkat dari suatu gerakan untuk mengubah dunia dengan melakukan hal-hal ekstrim yang memberikan dampak. Mereka rela tidak melancarkan mogok makan ketika berdemonstrasi hingga akhirnya didengar oleh lembaga pemerintah. Sedangkan kalau kita hanya berdiam di aspek marah saja, mungkin kita akan menarik perhatian tapi hanya akan membuat orang lelah dengan aspirasi kita dan akhirnya tidak peduli. Contohnya seperti kita terlalu banyak menonton siaran kekerasan sampai kebal. Sehingga bisa berpikir kalau satu orang mati saja tidak akan berpengaruh apa-apa. Sama seperti budaya calling out ini. Tidak akan efektif hanya berada dalam kemarahan itu saja.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023