Pasti kita sudah tidak asing mendengar kata atau profesi influencer. Iya, saat ini, dengan semakin berkembangnya media sosial, memang makin mudah bagi siapa saja untuk menyebarkan atau mengadvokasi suatu nilai tertentu. Misalnya seseorang yang menjalani gaya hidup ramah lingkungan, maka apa yang biasanya ia tampilkan di media sosial adalah perilaku atau preferensinya dalam menggunakan barang yang mendukung gerakan hidup hijau dalam keseharian. Lain lagi dengan seseorang yang taat beragama. Kita mungkin bisa mendapati ia kerap mengutip suatu ayat atau menampilkan ajaran agamanya dalam sejumlah postingan. Tiap orang pasti memiliki pandangannya sendiri-sendiri dan itu sama sekali tidak salah. Yang masalah adalah, bila kita menjadi pribadi yang kaku, mengkotak-kotakan, dan berusaha memaksa orang lain agar memiliki nilai yang sama dengan yang kita yakini.
Saya memiliki kepercayaan bahwa kita semua bisa memberi pengaruh. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung saling mempengaruhi. Kita diciptakan di dunia ini memang untuk berbagi antar sesama makhluk yang ada, dan saya percaya bila kita bisa memberi pengaruh tanpa memaksa. Apalagi di Indonesia, yang pola kebiasaan masyarakatnya adalah cenderung mengikuti apa yang sedang tren. Oleh karenanya, dalam tanda kutip, apabila kita ingin membuat pengaruh, salah satu strateginya adalah kita membangun tren-nya terlebih dahulu.
Saya memiliki kepercayaan bahwa kita semua bisa memberi pengaruh.
Menciptakan tren bisa dianalogikan sesederhana seperti ketika satu orang menari, lalu ada orang lain yang mengikutnya, lalu dari sini semakin banyaak orang lainnya yang turut bergabung menari, membuat jumlah mereka secara keseluruhan bertumbuh. Secara sederhana, seperti flash mob.
Seorang pemimpin, tidak selalu adalah ia yang menjadi orang pertama yang menari. Namun, ia dapat juga berarti orang yang mengikuti orang pertama atau kesekian yang menari, namun ia justru bisa membuat lebih banyak orang ikut menari karena dirinya. Untuk membangun tren, kita memang perlu seseorang yang menginisiasi sebuah ide pertama kali, seorang maverick yang memiliki pemikiran, energi, dan semangat. Akan tetapi, kita juga membutuhkan orang-orang lain yang mendukung orang pertama ini, sehingga inisiatifnya berkembang menjadi suatu gerakan yang lebih besar lagi.
Berbicara mengenai tren, kita berbicara mengenai esensi manusia sebagai bagian dari komunitas. Karena kembali lagi, manusia pada intinya hanya ingin merasa ‘belong’. Mereka mengikuti tren agar merasa dianggap sebagai bagian dari masyarakat. Apalagi di Indonesia, yang secara data disebutkan behavior change atau mindset change masyarakat ditentukan atas dua hal: rasa bangga (pride) dan rasa malu (shame). Bangga menjadi bagian dari sesuatu, serta malu apabila merasa tertinggal dari suatu hal. Jadi, menciptakan tren adalah tentang menciptakan gerakan awal, menumbuhkan gerakan tersebut menjadi komunitas, hingga pada akhirnya orang melihat, mengetahu, dan mulai mengikutinya.
Manusia pada intinya hanya ingin merasa ‘belong’. Mereka mengikuti tren agar merasa dianggap sebagai bagian dari masyarakat.
Oleh karenanya, untuk memulai suatu gerakan, kita bisa memulainya dari lingkungan terdekat, seperti lingkungan pertemanan. Misalnya dari sembilan orang teman kita, masing-masing tentu memilki lingkungannya sendiri-sendiri, yang apabila kita kumpulkan, secara tidak langsung kita telah membangun sebuah collective networks. Dari sini, dengan berjalannya waktu dan gerakan kita sudah semakin berkembang, kita bsa mulai melibatkan media, buzzer, dan influencer yang memang terkait dengan gerakan kita. Namun, sebelum ini semua terbentuk, tentu saja, objektif dari inti pesan gerakan kita harus benar-benar jelas, dan dapat mudah tersampaikan ke setiap individu yang terlibat. Apa masalah yang ingin kita pecahkan dari gerakan ini? Dan berbicara mengenai tren, sudah pasti tidak bisa terlepas dari situasi sosial, politik, ekonomi, serta lingkungan yang sedang terjadi di suatu waktu, sehingga ini semua akan memberi pengaruh pada gerakan yang dibuat. Lagipula tren dan sebuah gerakan adalah pemikiran yang sangat sistemik, yang berarti kita tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang menjadi tujuan gerakan secara sederhana begitu saja. Namun, apabila kita dapat fokus padanya, konsisten, memberi waktu, serta membuka ruang akses untuk kolaborasi, pada akhirnya tidak menutup kemungkinan gerakan ini akan menjadi besar.