Tidak ada dalam kamus hidup saya untuk memboroskan energi. Energi fosil yang kebanyakan ada saat ini sudah selayaknya dihemat, jangan sampai mubazir, sehingga harus digunakan seperlunya. Cara sederhananya, mengonsumsi bahan bakar minyak harus terukur dan disesuaikan betul dengan situasi, rutininas, dan kebutuhan. Di Kota Makassar, jika hanya jarak tempuh yang pendek dan memungkinkan menggunakan sepeda kayuh, atau sepeda motor, maka dua moda itu yang digunakan. Tentu saja alasannya selain hemat adalah menghindari macet. Menggunakan mobil hanya untuk malam hari untuk menghindari bahaya karena sepi.
Isu yang lebih luas lagi, energi fosil memang harus dihemat karena akan ada efek dominonya. Kalau kita bisa berhemat maka beban negara kita untuk beli bahan bakar minyak akan memengaruhi nilai tukar rupiah. Nilai tukar akan memengaruhi harga-harga yang lainnya. Alasan inilah yang kemudian memancing pemikiran bagaimana caranya agar kita tidak jadi konsumtif.
Anak-anak muda zaman sekarang rupaya belum paham hal ini, banyak juga yang masih berkendaraan pribadi hanya karena gengsi. Saya konsen ke lifestyle anak muda yang suka berkendara mobil pribadi hanya sendirian saja, ini pemborosan. Anak muda sekarang masih banyak juga yang eksistensinya diperlihatkan dari apa yang mereka pakai, bukan melalui karya sebagai identitasnya. Genoil sendiri sebagai usaha rintisan anak muda Indonesia berupaya untuk melakukan penghematan dengan cara mengembangkan smart office, baik di kantor administrasi ataupun di pabrik.
Beranggotakan 10 orang kami melakukan penghematan dengan memanfaatkan teknologi. Air yang tidak terpakai akan mati dengan sendirinya, komputer juga akan mati pada jam-jam tertentu. Kami bahkan tidak mengenal lembur kecuali di pabrik. Itupun dibatasi pukul 22.00 waktu setempat. Alhasil dengan daya 5.000 watt dan dengan edukasi terus menerus pada rekan sekerja, kami hanya membayar Rp3 juta untuk listrik dalam sebulan.
Energi Baru Terbarukan (EBT)
Pemakaian energi fosil diperkirakan akan habis hingga 2025 dengan pertumbuhan konsumsi 2-5% setiap tahunnya. Itulah mengapa kami perlu mengolah jelantah menjadi biodisel. Alasannya karena kebutuhan bahan bakar semakin bertambah seiring dengan pertumbuhkan ekonomi dan jumlah penduduk.
Jika kita hanya bergantung pada energi bahan bakar fosil itu sudah tidak mungkin dan akan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup. Kami menilai EBT perlu dikembangkan untuk energi yang berkelanjutan. Memang ada tantangan dalam mengolah EBT. Salah satunya yang terbesar adalah pengolahannya tidak murah.
Ingin rasanya bisa menghadirkan jumlah energi yang besar sehingga bisa substitutif dan efisien. Biaya produksi harus mampu bersaing dengan daya beli pasar.
Di Kota Makassar, sudah ada upaya untuk mengolah jelantah melalui Genoil. Awalnya, kami berusaha melibatkan preman untuk mengumpulkan jelantah dari sisa aktivitas menggoreng warung kaki lima.
Kini, usaha itu meluas. Kami bahkan melibatkan ibu-ibu dan anak sekolah, dengan pola yang sama. Ibu-ibu bukan orang yang sulit untuk diajak bekerja sama. Mereka dengan senang hati berkenan mengumpulkan minyak sisa untuk menggoreng ke mitra bank minyak goreng bekas di tingkat Rukun Tetangga (RT). Minyak yang dikumpulkan sebanyak satu liter kemudian dihargai Rp 2.500 dan bisa ditukar dengan segelas minyak kemasan seharga Rp 3.000. Minyak diganti minyak.
Genoil hanya mampu mengumpulkan dan mengolah minyak jelantah sebanyak 60 ribu liter per bulan. Jumlah ini belum seberapa dibandingkan total jelantah yang dihasilkan Kota Makassar setidaknya sebanyak 1,5 juta liter per bulan.
Inilah yang kemudian diolah kembali untuk menjadi bahan bakar biodisel. Kami ingin, minyak jelantah yang sudah diolah ini menjadi salah satu dari ragam energi alternatif yang terus kami kembangkan.
Berangkat dari pengalaman bekerja sama dengan ibu-ibu rumah tangga, kami kemudian meneruskan gerakan pada anak-anak sekolah. Bisa terbayangkan mereka membawa minyak jelantah ke sekolah di pagi hari? Tapi kami melihat semangat di situ. Anak-anak berseragam menenteng minyak bekas dalam botol dan plastik. Setidaknya ada 30 sekolah di Makassar yang berhasil kami rangkul.
Ada yang sedikit berbeda ketimbang yang dilakukan ibu-ibu. Mereka tidak mendapat minyak baru untuk dibawa pulang. Sebagai imbalannya, secara kolektif, anak-anak sekolah ini akan mendapatkan dana secara tidak langsung untuk kemudian digunakan bagi pembiayaan berbagai kegiatan. Kegiatan itu pun dipilih yang berbasis lingkungan seperti misalnya ekstrakurikuler membuat sampah organik atau menanam pohon bakau. Intinya kami ingin meng-create mental anak-anak sekolah dan mengubah pandangannya pada sampah. Kami ingin mereka melihat sampah menjadi suatu sumber kreativitas dan kami juga ingin anak muda dinilai dari apa yang bisa mereka lakukan pada lingkungan sekitar mereka.