Adalah wajar jika kita memiliki sisi kepahlawanan yang ingin membuat sebuah perubahan. Apalagi jika memang kita sering melihat episode-episode kehidupan yang masih jauh dari kata adil, harmonis, dan sejahtera. Mungkin kita tidak menindaklanjuti secara nyata, tapi hasrat itu kerap hadir dalam diri sebab bayangan menjadi seorang pahlawan bisa jadi sangat memuaskan. Entah untuk tujuan yang tulus atau tidak, keinginan kita membuat perubahan dan menjadi sosok “pahlawan” bagi orang lain sangat mungkin dipengaruhi oleh narasi-narasi kepahlawanan yang telah tertanam dalam keseharian.
Selama ini definisi “pahlawan” seringnya mengerucut kepada satu sosok saja. Seolah menghapus kontribusi orang-orang di sekitarnya yang sebenarnya mendukung aksi kepahlawanan tersebut. Faktanya, banyak sekali orang-orang yang secara kolektif dan kolaboratif melakukan perubahan dengan kadar yang sama besar namun tidak mendapat pengakuan. Saya menduga ini terjadi karena “memudahkan” penulisan wacana kesejarahan. Tentu saja menuliskan satu orang akan jauh lebih mudah daripada menjabarkan sekelompok orang dengan aksi yang serupa. Kita dapat lebih mudah membayangkan satu sosok pahlawan dengan segala sifat yang disematkan ketimbang satu kelompok orang dengan sifat yang berbeda-beda.
Faktanya, banyak sekali orang-orang yang secara kolektif dan kolaboratif melakukan perubahan dengan kadar yang sama besar namun tidak mendapat pengakuan.
Pengerucutan kriteria seorang pahlawan juga sering terjadi di narasi teks kesejarahan. Kita hanya mengenal orang-orang yang ditulis di dalamnya saja seakan hanya deretan nama tersebut saja yang pantas disebut orang yang berjasa. Contohnya nama Kartini. Narasi yang kita tahu tentang Kartini kebanyakan berasal dari era orde baru di mana seolah kehadiran pahlawan wanita dipaparkan secara terbatas. Padahal di zaman Kartini dan sebelumnya hidup sederetan nama pahlawan wanita lainnya dengan aksi perjuangan yang berbeda. Jadi sampai sekarang saat mengingat pahlawan wanita, kita terus merujuk pada nama Kartini. Sementara contoh nyata yang ada di sekitar kita saat ini adalah Greta Thunberg yang seakan mendapat label “pahlawan” untuk memperjuangkan isu krisis iklim. Padahal terdapat sejumlah aktivis muda lainnya dari negara-negara non-barat seperti di India, Nepal, atau masyarakat asli Amerika Serikat. Namun, nama mereka tidak pernah muncul di permukaan karena sorotan media fokus pada Greta sehingga mempermudah bayangan kita untuk merujuk ke satu isu tersebut.
Menurut saya, tindakan-tindakan sosok kepahlawanan bisa diartikan lebih luas. Saya membayangkan sosok pahlawan adalah orang-orang yang berani mempertaruhkan kehidupan atau posisinya ketika situasi menuntutnya. Dalam upayanya memperjuangkan kebenaran dan keadilan mereka memiliki keberanian untuk mengambil risiko demi bisa beraksi dan berbicara. Berkata begini, sosok pahlawan bagi saya tidak terbatas pada satu orang melainkan merujuk kepada perjuangan yang bersifat kolektif dengan tujuan memberikan kebaikan untuk khalayak ramai. Sebab kalau kita pikirkan kembali, jika label pahlawan hanya diberikan kepada orang-orang yang dianggap memenuhi kriteria saja, bagaimana dengan mereka yang dalam kesehariannya membawa perubahan pada kehidupan tapi namanya tidak tersorot? Apakah orang-orang tersebut tidak layak dihormati dan mendapat pengakuan?
Menurut saya, tindakan-tindakan sosok kepahlawanan bisa diartikan lebih luas.
Pertanyaan tersebutlah yang mendasari Jakarta International Literary Festival mengusung tema "Heroes (Re)making History" sebagai langkah memulai diskusi tentang karya sastra yang bertemakan kepahlawanan. Kami percaya bahwa sebuah diskusi selalu diawali dengan sebuah pertanyaan. Terlepas dari pemahaman saya sendiri mengenai makna pahlawan, kami berharap lewat diskusi ini masyarakat dapat terpanggil untuk mencari tahu apakah sebenarnya kita perlu untuk menata ulang arti kata pahlawan. Apakah kita perlu memaknai kembali siapa yang sebenarnya bisa kita akui sebagai sosok berjasa? Selain juga untuk merespon pada pertanyaan-pertanyaan: Kenapa kelompok-kelompok yang pada kenyataannya berjasa tidak muncul di permukaan? Dan bagaimana kita bisa menyoroti mereka yang berkontribusi dalam sebuah perjuangan namun dilupakan hingga kini?
Sebab kalau kita pikirkan kembali, jika label pahlawan hanya diberikan kepada orang-orang yang dianggap memenuhi kriteria saja, bagaimana dengan mereka yang dalam kesehariannya membawa perubahan pada kehidupan tapi namanya tidak tersorot?