Sekarang ini kita sedang menghadapi masa pandemi dengan pencatatan kasus tertinggi yaitu rata-rata 20.000 kasus per hari. Di gelombang pertama, tidak separah sekarang. Situasi ini diperburuk dengan kurangnya kapasitas kita dalam testing. Kemungkinan besar jumlah kasus itu lebih tinggi dari yang terlihat. Kalau ditanya penyebabnya apa, jawabannya pun bervariasi. Salah satunya adalah varian Delta yang masuk ke Indonesia dan terbukti lebih menular sehingga membuat lebih banyak yang terinfeksi. Belum lagi dengan kepatuhan protokol kesehatan di masyarakat yang masih kurang. Tentu saja, ini juga diikuti juga dengan upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan test tracking, isolasi mandiri hingga pengetatan pembatasan.
Di masyarakat, banyak orang masih sering salah kaprah dalam merespon COVID-19. Rumor soal minyak kayu putih yang dapat mengobati hingga anggapan COVID-19 tidak pernah ada dan semua ini hanya konspirasi politik. Ada pula yang menyebutkan obat-obatan, terapi, atau makanan tertentu yang dapat menanggulangi COVID-19. Padahal sampai saat ini belum ada makanan, suplemen, hingga obat yang memang terbukti bisa mencegah atau mengobati virus COVID-19. Lalu bagaimana? Langkah apa yang efektif untuk merespon pandemi?
Langkah 5M yang dianjurkan pemerintah sejauh ini adalah yang paling efektif: Mencuci tangan, Memakai masker, Menjaga jarak, Menjauhi kerumunan, dan Mengurangi mobilitas. Tapi, menurut saya masih ada yang perlu itu dioptimalkan. Utamanya adalah menggunakan masker dobel dengan menggunakan masker medis di lapisan dalam dan masker kain di lapisan luar. Selain itu protokol kesehatan juga harus diketatkan, jangan banyak pengecualian. Walaupun kenal dari lahir, teman dekat atau kantor, selama berkumpul dengan orang yang tidak tinggal satu rumah, kita wajib memakai masker. Prinsipnya adalah ketika keluar rumah dan berkumpul dengan orang yang tidak serumah, wajib jalani protokol kesehatan ketat dan semaksimal mungkin. Masalahnya, di Indonesia banyak sekali pengecualian. Sekalipun sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa semakin tinggi mobilitas masyarakat, angka kasus pun bisa semakin tinggi.
Langkah 5M yang dianjurkan pemerintah sejauh ini adalah yang paling efektif: Mencuci tangan, Memakai masker, Menjaga jarak, Menjauhi kerumunan, dan Mengurangi mobilitas.
Ironisnya, saat ini yang masih kurang digaungkan adalah penularan virus melalui udara atau airborne. Penularan virus utamanya jika kita kontak erat dengan mereka yang positif di mana droplet dengan kandungan virus bisa melayang di udara dan mudah masuk lewat hidung atau mulut. Jadi kita harus memastikan sirkulasi udara di dalam ruangan baik yaitu dengan membuka jendela, mengurangi penggunaan AC, dan kalau memungkinkan menggunakan air purifier dengan HEPA filter di dalamnya. Walaupun sentuhan juga bisa memberikan risiko untuk terpapar. Oleh karena itu, cuci tangan tetaplah amat penting.
Di samping itu, vaksin juga menjadi poin penting dalam menekan laju penyebaran virus. Saya melihat kini distribusi virus sudah lebih baik dari sebelumya. Kita tidak lagi perlu pakai KTP sesuai domisili untuk dapat vaksin. Walaupun jumlah masyarakat kita yang sudah mendapatkan suntik vaksin lengkap masih di bawah 5% dari total populasi. Jadi distribusi vaksin diyakini harus lebih digencarkan. Yang perlu kita ingat adalah vaksin pasti ada risiko dan efek samping. Tapi tidak berarti semua orang akan terkena efek samping yang berbahaya. Kebanyakan, orang-orang yang menerima vaksin mungkin merasakan meriang atau pegal-pegal di sekujur tubuh. Sementara itu untuk yang memiliki alergi tertentu, suntikan vaksin juga bisa jadi memicu timbulnya alergi tersebut. Oleh sebab itu, orang yang memiliki alergi harus langsung konsumsi obat anti alergi atau sudah mengetahui langkah penanganannya jika terjadi efek samping yang berat. Intinya, kemungkinan risiko vaksin tetap ada tapi sangat kecil.
Saya cukup menyayangkan berbagai rumor yang keliru tentang vaksin. Mulai dari rumor tentang microchip yang membuat tubuh kita memiliki unsur magnet, hingga yang dikaitkan dengan pelanggaran agama. Ada yang percaya bahwa menerima vaksin berarti tidak percaya pada Tuhan yang sudah memberikan sistem imun yang baik. Faktanya, agar imun terstimulasi terdapat dua cara yaitu terinfeksi atau divaksin. Kalau harus terinfeksi dulu, tentu tidak ada jaminan akan lebih sehat atau justru lebih parah. Jadi lebih baik memilih untuk divaksin supaya imun bisa bekerja lebih baik dalam tubuh. Di samping itu, saya juga pernah mendengar tentang kandungan berbahaya dalam vaksin yang bisa berujung kematian setelah dua tahun disuntikan. Rumor ini jelas tidak ada buktinya karena vaksin dijamin aman untuk tubuh. Jadi kita semestinya sekarang bisa lebih kritis menerima informasi dan memilih langkah yang tepat untuk menjaga diri dan orang lain.