Begitu banyak stigma yang berkembang di kota Jakarta. Katanya, Jakarta adalah ibu kota yang menjanjikan banyak hal. Katanya, baik surga dan neraka seakan bisa ditemukan di sini. Katanya, Jakarta jadi tempat satu-satunya untuk mencari uang di Indonesia. Lalu, ada juga beberapa stigma yang mencolok di kota urban ini yaitu tentang pergaulan anak Jakarta. Ada seorang teman yang pernah membuat riset kecil-kecilan. Dia pergi ke daerah utara dan selatan untuk mendengarkan orang ngobrol. Ternyata, dalam pergaulan masih banyak orang yang mengkotak-kotakan suku, budaya, dan agama. Masih banyak stereotip yang berujung pada rasisme.
Kenyataannya, tidak semua orang bisa disamakan dan semua orang punya ceritanya masing-masing. Dalam keseharian, saya mencoba untuk membawa tagar #takkenalmakataksayang dalam berbagai diskusi atau seminar yang saya datangi. Tujuannya adalah untuk mengajak lawan bicara untuk mulai menyadari betapa pentingnya untuk tidak cepat-cepat memberikan stigma tertentu pada orang lain.
Sayangnya, saya melihat di era modern dengan begitu banyaknya informasi dan konten yang bisa dinikmati, banyak pihak yang justru memperbanyak stereotip dan stigma. Di Jakarta, terutama. Saya melihat banyak konten yang mulai meresahkan. Pernah saya melihat keponakan yang masih berusia 15 tahun menyaksikan tontonan-tontonan di mana para kreator konten memamerkan harta. Saya cukup resah tayangan seperti itu bisa memengaruhi psikologi anak-anak yang masih dalam proses pengembangan identitas dengan psikologi yang belum stabil. Nyatanya, hidup tidak selalu berjalan seperti tontonan tersebut. Bagaimana mereka ke depannya jika dari usia belia sudah menyerap tayangan seperti itu?
Menurut saya, nasib sebuah bangsa (salah satunya) ditentukan oleh apa yang generasi penerusnya saksikan. Merekalah yang akan pegang tongkat kepemimpinan setelah generasi saya. Kalau sedari kecil mereka sudah mendapatkan momok bahwa hidup itu mudah, pamer adalah hal yang wajar, boleh melakukan prank (lelucon jahil −red.) seenaknya, bagaimana pola pikir mereka bisa berkembang di masa depan? Saya mungkin tidak bisa langsung membelokkan pasar, tapi saya ingin mencoba menghadirkan keseimbangan di antara konten-konten yang banyak menciptakan stigma di masyarakat. Dengan menghadirkan Cretivox, saya mencoba untuk memberikan pandangan lain. Harapannya, mereka yang menonton bisa mendapatkan masukan baru agar bisa merangsang kerja otaknya untuk berpikir lebih obyektif. Tidak cuma berdasarkan asumsi sendiri atau lingkungan saja.
Menurut saya, nasib sebuah bangsa (salah satunya) ditentukan oleh apa yang generasi penerusnya saksikan.
Dengan pembawaan yang kasual dan fokus untuk menghibur, kami mengumpulkan orang-orang dari beragam usia, strata ekonomi, dan agama untuk menyatakan pemikiran atau identitas mereka. Kami juga mencoba untuk merangkum berbagai topik yang tidak hanya terjadi di seputar ibu kota saja tapi juga Indonesia secara keseluruhan. Saat ini, kita dihadapkan dengan dua kelompok umur yang menjadi target audiens utama yaitu generasi milenial dan generasi z. Melihat demografi ini, kami pun mencoba melakukan kurasi konten sehingga dapat diterima oleh kedua lapisan generasi tersebut. Setelah berjalan, ternyata banyak topik yang diangkat cukup familiar dan berkaitan dengan banyak orang.
Walaupun di satu sisi kami ada harapan untuk dapat membicarakan hal-hal tabu di masyarakat, akan tetapi gol kami sebenarnya adalah untuk menjadi penyimbang. Kami ingin menghadirkan konten-konten yang tidak ada kepura-puraan atau mencari sensasi. Saya rasa sudah banyak sekali orang yang sudah lelah dengan konten-konten tidak otentik dengan penuh gimmick.
Oleh karena itu, kami pun mencoba untuk melakukan riset terlebih dahulu untuk membuat sebuah konten. Inilah yang kami lakukan sejak awal Cretivox dibuat. Saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyajikan konten yang tidak asal dan sembarangan sehingga apa yang disampaikan dapat memberikan perspektif baru.