Bagi orang yang pernah dikarunia pendengaran yang baik kemudian menjadi tidak bisa mendengar tentu saja sangat berat. Kata-kata yang buruk memang tidak pernah mampir ke telinga, tetapi ekspresi yang iba justru melemahkan. Dari situ, doa panjang yang kerap didaraskan dan tidak kunjung dikabulkan berujung pada mengubah harapan.
Perundungan atau bullying kerap kali saya alami – terutama dulu pada masa awal-awal menyandang disabilitas. Pada usia 10 tahun saya mengalami tuna rungu karena suatu penyakit. Yang pada awalnya bisa mendengar dengan baik, dengan kehilangan pendengaran secara otomatis tidak lagi bisa mendengar bullying secara verbal. Namun justru bullying tersebut berubah bentuk melalui tatapan dan ekspresi yang aneh dari orang lain.
Orang lain kadang tertawa saat mendengar jawaban yang tidak 'nyambung'. Kalau tidak tertawa, wajahnya jadi kesal, tentu saja karena pesannya tidak sampai dengan baik. Ini yang kemudian menjadi beban pagi penyandang disabilitas terutama tuna rungu. Ini pula yang membuat kami seolah tidak bisa apa-apa karena mengalami kendala komunikasi – hal yang paling dasar.
Dengan kegagalan komunikasi itu mereka kemudian memberikan umpan balik ekspresi muka. Ekspresi ini tidak bisa bohong karena itu cerminan dari apa yang ada dari pikiran dan hati mereka. Saat mereka merasa emosi, marah, atau iba, semua ekspresi tersebut akan sangat terlihat dengan mudahnya. Pada saat orang lain kasihan dan kesal itulah yang malah membuat kami merasa tertekan dan semakin tidak berdaya. Kami jadi berpikir apakah kami cukup melukai orang lain? Padahal justru orang lain itu yang tidak mau berempati dengan kami.
Kondisi itu terus terang sempat membuat saya cukup tertekan. Beruntung saja ada titik balik yang membuat saya merasa harus bangkit kembali menghadapi hidup. Kisahnya sangat personal dan spiritual; dulu isi doa saya selalu meminta kesembuhan dan kembali seperti semula layaknya orang lain. Namun entah mengapa pada saat menjalani ibadah Umrah, doa saya berubah, "Ya Tuhan, kalau memang saya diciptakan seperti ini, mohon diberi petunjuk atas apa yang harus saya lakukan."
Saat itu saya merasa bahwa kalau tidak bisa sama seperti orang lain, setidaknya bisalah mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan atau ada momentum di mana bisa menikmati hidup ini dengan penuh makna.
Orang bilang bahwa doa punya suatu kekuatan yang besar. Saya membuktikannya. Doa yang dipanjatkan terjawab segera. Sesampai di Tanah Air dari perjalanan Umrah, banyak sekali orang yang mengirimkan pesan melalui berbagai cara dan meminta solusi atas masalah sosial yang menimpa mereka atau sekitarnya. Saya pun tersadar bahwa Tuhan telah memberikan saya ilmu yang tinggi dan ilmu tersebut haruslah dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih baik – memperjuangkan permasalahan sosial yang ada.
Berangkat dari tekad tersebut, saya pun tergerak mendirikan ThisAble Enterprise yang memiliki beberapa program. Salah satunya adalah menyediakan program peningkatan keterampilan bagi para penyandang disabilitas sekaligus bekerjasama dengan beberapa perusahaan untuk menyerap mereka sebagai tenaga kerja. Kini setidaknya sudah ada ribuan penyandang disabilitas yang telah dibantu dan siap untuk bekerja.
Kini saya bisa bahagia karena lewat berbagai inisiatif yang dilakukan, saya bisa belajar banyak hal tentang disabilitas. Disabilitas itu bukan sekadar isu. Dengan belajar tentang disabilitas ternyata mengantarkan berbagai kesempatan ke berbagai negara sebagai perwakilan Indonesia seperti contohnya ke Thailand, Eropa, dan Amerika untuk belajar. Ada ilmu pengetahuan sendiri tentang disabilitas yang kemudian bisa dijadikan tindakan nyata sehingga bisa mengelola isu disabilitas ini secara masif.
Disabilitas ini juga sumber daya yang memiliki potensi dan apabila fokus dengan kelebihan yang dimiliki itu pasti akan menjadi SDM terdidik yang sebenarnya bisa melalukan pada saja. Mereka berhak punya cita-cita. Disabilitas itu bukan hanya penerima manfaat tapi juga berhak diberi kesempatan untuk berjuang bersama. Kita harus berusaha tidak ada jurang yang tinggi antara yang normal dan disabilitas.